Kembali ke Wastra Pewarna Alam
Wastra yang menjadi simbol budaya Nusantara terlihat lebih indah dengan pewarna alam.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F03%2Ff221ec51-c25a-4875-ba8b-ffe98702b98f_jpg.jpg)
Desainer Ghea Panggabean menghadirkan songket palembang dan songket lintau tanah datar dalam acara “Pesona Wastra Warna Alam”, di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Wastra, kain tradisional yang bermakna dan jadi simbol budaya Nusantara sejatinya dibuat dari benang kapas dengan pewarna alam lewat proses pembuatan tak mudah. Keindahannya tak tergantikan oleh kain dari benang dan pewarna sintetis.
Itulah yang tampak pada peragaan busana bertema ”Pesona Wastra Warna Alam”, Kamis (2/3/2023), di Hotel Sultan Jakarta. Acara diadakan Rumah Pesona Kain, perkumpulan perempuan pencinta kain Indonesia yang ingin melestarikan dan meningkatan apresiasi ataswastra.
Para model yang memakai kain tenun, songket dan batik berkombinasi bahan lain karya para desainer menunjukkan betapa elok dan kaya bangsa Indonesia. Patutlah jika pencinta budaya Indonesia terus menampilkan warisan para leluhur tersebut.
Desainer Ghea Panggabean menampilkan songket Lintau dari Tanah Datar, Sumatera Barat, dan songket Palembang. Blus-blus yang jadi padanan songket bergaya klasik, tetapi ada juga yang ditampilkan secara modern. Untuk atasan kain songket Lintau yang bercorak dasar garis, kotak dalam warna tanah, coklat, biru muda, hitam, abu, Ghea memilih menggunakan model baju kurung dengan panjang bervariasi.
Lewat karyanya, desainer yang sudah berkarya 44 tahun tersebut mengingatkan khalayak kepada cara perempuan Minangkabau berbusana era dulu yang tampil elegan, unik, dan khas.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F03%2Ff5c10336-f91e-4337-b22e-81bac94ffd79_jpg.jpg)
Desainer Ghea Panggabean menghadirkan songket palembang dan songket lintau tanah datar dalam acara Pesona Wastra Warna Alam, di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
”Tingkuluak”
Selain setelan kain songket berpadu baju kurung, ia juga menunjukkan tutup kepala model tingkuluak tanduak berbentuk menyerupai tanduk kerbau dari kain songket, serta tingkuluak balenggek. Modelnya hampir sama dengan tingkuluak tanduak, tetapi tanduknya bertumpuk dua.
Tingkuluak tanduak tak hanya indah dipandang dari depan, tetapi juga memperlihatkan kekhasan tutup kepala tradisi Minang yang indah. Pada bagian belakang tingkuluak menampakkan ujung songket yang menutup leher dengan jumbai songket seolah memberi tahu keberadaan kalung lebar yang terpasang di punggung pemakai busana tersebut.
Tingkuluak balenggek dipakai model yang mengenakan setelan songket Lintau berwarna hitam dengan baju kurung berwarna senada. Tingkuluak dari logam warna emas tampak serasi dengan hiasan berupa sulaman di ujung baju kurung dan ujung lengan baju tersebut. Aksesori berupa gelang besar dan kalung di dada dari logam keemasan makin menambah chic tampilan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F03%2F2becdadf-284c-490d-9c30-4e91380f3f89_jpg.jpg)
Desainer Ghea Panggabean menghadirkan songket palembang dan songket lintau tanah datar dalam acara “Pesona Wastra Warna Alam”, di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
”Tutup kepala dan perhiasan itu koleksi saya,” jelas Ghea yang sudah puluhan tahun mempelajari seluk beluk busana perempuan Sumatera Barat.
Guna menampilkan koleksi itu, Ghea butuh waktu delapan bulan untuk menyiapkannya. Ia bekerja sama dengan ahli tekstilAtitje Arryman. Selain membutuhkan kain songket, Ghea minta artisan perajin songket Lintau membuatkan kain warna polos dari katun dengan pewarna alam. ”Itu percobaan untuk membuat kain polos pesanan saya karena kain Minang biasa ada gold,” ujar Ghea.
Untuk atasan bagi kain songket Palembang dari UKM Nurmala Palembang, ia juga memesan kain polos dengan pinggiran bermotif bagian dari songket.Motif pucuk rebung tetap muncul, tetapi Ghea menempatkannya secara tepat sehingga tampilan koleksinya makin indah.
Pada koleksi kain songket Palembang, ia menampilkan ikat pinggang dari lempengan logam ciptaannya puluhan tahun lalu. Sama seperti untuk atasan kain songket Lintau, Ghea membuat atasan model kebaya berhias ikat pinggang logam.
Untuk variasi dan terlihat lebih modern, alumnus Chelsea Academy of Fashion, London, tersebut,menyelipkan selendang ke dalam ikat pinggang. Di bagian belakang, ia biarkan selendang menjuntai hingga lantai. ”Idenya dari busana penari perempuan Thailand. Itu sebenarnya membuat kita enggak ribet dengan harus memegang selendang supaya tak jatuh saat kita bergerak,” ujar Ghea.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F03%2F68ce94c9-037f-40a2-9b63-bf97238cf864_jpg.jpg)
Desainer Ghea Panggabean menghadirkan songket palembang dan songket lintau tanah datar dalam acara Pesona Wastra Warna Alam”, di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Tantangan
Desainer Chossy Latu yang berkarya dengan songket Puri Agung Saraswati Klungkung, Bali, memisahkannya dalam dua kreasi. Untuk songket berbahan sutera ia menampilkannya sebagai bawahan, tetapi menambahkan atasan putih dengan model bervariasi dan aksen. ”Sayang bila harus memotong songket itu. Akhirnya kutampilkan utuh, tetapi saya pilih warna putih untuk atasan songket,” ujarnya.
Model lawas seperti Sarita, Danny Dahlan dan Okky Asokawati yang mengenakansongket warna kemerahan dan ungu tampil dengan anggun. Jika Danny memakai blus model baju kurung polos dengan kalung mutiara panjang, Sarita mengenakan blus lebih pendek dengan aksen tambahan potongan kain melebar di bagian tangan.
Tak ingin hanya menampilkan koleksi untuk perempuan yang sudah matang, ia membuat pula gaun dari songket Puri Agung Saraswati dalam warna cerah. ”Busana warna-warni itu menjadi pilihan untuk anak muda dan agar ada pilihan bagi pembeli dewasa,” ujar Chossy yang memilih songket warna terang seperti biru, merah bata, oranye.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F03%2F0bfb4d00-e29f-4443-8484-2cf54edfb337_jpg.jpg)
Chossy Latu menghadirkan songket Puri Agung Klungkung Bali “Pesona Wastra Warna Alam”, di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Chossy yang juga desainer kawakan memadukan songket berpewarna dari aneka bunga, kulit pohon atau akar. Namun, bisa berwarna terang dengan menambah hiasan dari benang berwarna. Songket warna oranye umpamanya. Dibuatnya jadi terusan berhias benang warna hijau dan ditutup luaran (outer) warna senada, tetapi bagian dalam luaran ia lapisi kain warna hijau sama seperti warna benang hiasan.
Bagi Chossy, membuat busana dari wastra seperti songket dengan ukuran pendek dan tidak cukup lebar memberinya tantangan. Ia sempat kesulitan melakukannya tetapi daya kreasinya membuat ia bisa mengatasi keadaan.
Ia menyebut, misalnya, songket dari katun dengan panjang kurang dari satu meter, lebar hanya 30-an sentimeter. Belum lagi warna satu songket dan lainnya berbeda. “Sebenarnya sulit tetapi kan itu wastra asli kita, ya, pandai-pandai saja membuatnya jadi baju. Bagaimana pun saya senang bisa berkreasi dengan wastra kita yang tak bisa dibandingkan dengan busana buatan Dior sekalipun. Wastra kita jauh lebih bernilai,” katanya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F03%2F2ba654ea-beef-4174-af35-709468334c08_jpg.jpg)
Didiet Maulana menghadirkan tenun single ikat Geringgsing dan tenun rangrang Nusa Penida, Bali, di acara Pesona Wastra Warna Alam, di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Selain Ghea dan Chossy, tampil pula desainer lain. Ada Didiet Maulanayang membuat busana dari tenun Single Ikat Gringsing dan tenun ikat Rangrang Nusa Penida, Bali, Denny Wirawan membuat baju dari batik semarang, Poppy Dharsono berkarya dengan eco-batik serat biji kapas Yogyakarta, sertaAuguste Soesastro dengan songket Lombok, Nusa Tenggara Barat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F03%2Faca0c9cd-75de-49d0-b431-2e15ac68bd1d_jpg.jpg)
Didiet Maulana menghadirkan tenun singel ikat Geringgsing dan tenun rangrang Nusa Penida, Bali di acara Pesona Wastra Warna Alam, di Jakarta, Kamis (2/3/2023).