Sejauh apa pun melangkah pergi, kampung halaman selalu di hati. Itu yang melandasi perancang busana Ria Miranda dalam berkarya. Tema dan detail yang berkaitan dengan ranah minang selama 10 tahun ini.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Desainer Ria Miranda menggelar pameran mini perjalanan satu dekade Minang Heritage di Pondok Indah Mall, Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Sejauh apa pun melangkah pergi, kampung halaman selalu di hati. Kiranya, itu yang melandasi perancang busana Ria Miranda dalam berkarya. Tema dan detail yang berkaitan dengan ranah minang yang merupakan tempat kelahiran dan bertumbuh lekat dalam ragam desain yang diolahnya sepanjang satu dekade ini.
Meski telah menjejak di dunia mode Indonesia sejak 2009, keberaniannya untuk mengangkat budaya minang yang mendarah daging pada dirinya baru tercetus ketika 2012 di panggung Pekan Mode Jakarta. Koleksi Minang Heritage menjadi pembuka guliran koleksi lainnya yang mengolah kekayaan budaya Sumatera Barat hingga kini telah berusia 10 tahun.
”Sudah 10 tahun mengangkat tema minang ini dan mencoba terus konsisten untuk mengangkat tema dari budaya asal. Setelah 2019 kemarin mengadakan 10 tahun berkarya, untuk yang ini tepat 10 tahun pengin ada perayaan juga. Lagi pula banyak yang belum digarap karena budaya minang itu kaya sekali,” tutur Ria ketika peluncuran koleksi barunya sekaligus gelaran pameran mini perjalanan satu dekade Minang Heritage di Pondok Indah Mall, Jakarta, Selasa (14/2/2023).
KOMPAS/PRIYOMBODO
Minang Dekade Ria Miranda
Koleksi anyar sebagai penanda perjalanan selama satu dasawarsa Minang Heritage ini diberi tajuk Minang Dekade. Ukiran rumah gadang yang diaplikasikan melalui teknik lukis tangan atau hand painting menjadi keunikan yang ingin ditonjolkan dalam 27 jenis busana dari koleksi kali ini. Ada blus, tunik, luaran, celana lebar, rok lipit, hingga scarf segi empat yang bisa dikenakan sebagai jilbab.
Perempuan lulusan Esmod ini menjelaskan ukiran kayu di rumah gadang itu terdapat berbagai macam bentuk yang layak diejawantahkan menjadi motif di atas kain. Beberapa detail bentuk ukiran yang diadopsinya, seperti Daun Puluik-Puluik, Tupai Managun, Caraso Kanso, Singo Mandongkak Jo Takuak Kacang Goreang, Siriah Gadang, dan Bunga Panca Matahari Jo Rantak Malam.
”Sesungguhnya masih banyak lagi. Namun, sesuai dengan konsepnya yang tetap modern dan simpel, pilihannya jatuh yang sederhana dan dibuat lebih abstrak dengan tetap mempertahankan lekukan aslinya. Sebab, satu lekukan pun punya arti. Tantangannya saat diaplikasikan melalui hand painting,” ujar Ria yang spesifik mengambil jenis ukiran dari desa Koto Gadang sekaligus perajinnya.
Tidak hanya dengan teknik lukis tangan, motif ukiran rumah gadang ini juga diimplementasikan melalui bordir dan rajut. Apabila ukiran rumah gadang identik dengan warna terang dan mencolok, Ria pun memodifikasi warnanya sesuai dengan kekhasan karyanya, yakni warna lembut bernuansa pastel.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Minang Dekade Ria Miranda
Dominasi biru dan putih mewarnai aneka bahan yang digunakan, seperti organza, sifon, satin, dan katun. Meski warnanya sengaja dibuat monoton, Ria bermain dengan detail lain, seperti lipit, renda, manik-manik, dan payet. Siluetnya pun beragam dari layer (berlapis), bertumpuk, dan A-line.
Sebelumnya, pada koleksi Nagari yang diluncurkan pada 2021, Ria pernah memasukkan motif dari unsur atap rumah gadang yang berujung lancip serupa tanduk kerbau yang disebut gonjong. Ria pun punya alasan kuat untuk masuk lebih dalam rumah gadang dan menyuguhkan ukirannya yang memiliki makna.
”Ukiran pada rumah gadang tidak hanya sebagai hiasan, tetapi simbol. Ukiran ini berdasar dari konsep alam takambang jadi guru, yaitu segala sesuatu yang tersaji di alam semesta ini merupakan anugerah Tuhan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam tatanan hidup bermasyarakat,” ujar Ria.
Pameran mini yang digelarnya juga tak lepas dari tempat tinggal khas warga Sumatera Barat ini. Konsep rumah gadang dijadikan wahana etalasenya yang diletakkan di atrium Pondok Indah Mall sejak 13-19 Februari lalu. Di dalamnya ditampilkan beberapa tampilan dari koleksi bernuansa minang sebelumnya, seperti Minang Heritage, Daro, Takana, Nagari, hingga yang terbaru.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Minang Dekade Ria Miranda
Jika warna dalam busananya tetap dipilih nuansa pastel, untuk pameran mininya warna merah dan kuning tetap dipertahakan. Sebab, dua warna ini melambangkan rasa kekeluargaan dan hangatnya kebersamaan. ”Di satu rumah gadang itu bisa beberapa keluarga yang kumpul dan tetap guyub. Kebersamaan kuncinya,” ujar Ria.
Bangga kembali ke akar
Bagi Ria, penjelajahannya bermuara lagi pada budaya asalnya setelah menemukan songket milik ibunya yang berwarna pastel. Umumnya, songket memiliki warna terang menyala. ”Sedangkan, aku itu ya begini orangnya, lebih suka yang kalem-kalem. Apa-apa suka yang pastel, yang lembut warnanya. Kaget saat lihat ada songket yang warna pastel. Jadi, kepikiran untuk mulai dikembangin,” ucap Ria.
Untuk itu, sejumlah koleksi yang spesifik bertema minang pun menyuguhkan songket dengan tema budaya minang dari rumah gadang, rempah-rempah khas, sampai suntiang yang digunakan ketika pernikahan. Akan tetapi, Ria menyadari, para pengguna busananya juga mencari pakaian kasual yang dapat dipakai dalam keseharian, seperti ke kantor atau bersantai. Dari sini, ia mengeluarkan juga lini baju siap pakai dengan potongan yang lebih ringan dan bahan yang nyaman untuk sehari-hari.
Bahkan, di koleksi lain yang sengaja mengusung konsep modern pun tersisip motif khas minang yang dibaurkan lebih dinamis. ”Motif Minang Heritage telah menjadi identitas dari brand Ria Miranda. Budaya Minang juga tidak akan habis selain tenun songket. Nama dan motif Minang Heritage ini juga telah terdaftar oleh Hak Kekayaan Intelektual sebagai bentuk keseriusan untuk terus melanjutkan karya ini,” kata Ria.
Sepanjang kariernya, Ria sebenarnya juga mengeksplorasi beberapa budaya dan wastra dari sejumlah daerah di Indonesia. Seperti koleksi Dedare yang mengangkat tenun Lombok.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Minang Dekade Ria Miranda
Kemudian koleksi Wastra yang mengambil pendekatan budaya dari sejumlah wilayah di Indonesia seperti Aceh, Medan, Padang, Jambi, Pekanbaru, Jakarta, Bandung, Solo, Semarang, Yogyakarta, Lombok, Palembang, Lampung, Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda, Malang dan Surabaya. Ada juga koleksi Aksara yang terinspirasi dari aksara jawa.
Namun seperti lirik lagu daerah yang legendaris, ”Kampuang Nan Jauh di Mato”: rasa mangimbau-ngimbau den pulang/ den takana jo kampuang.
Ingatan Ria pada kampung halaman pun mewujud rancangan yang menjaga jejak budaya asalnya.