Pertarungan Warung Kelontong Madura
Bagaimana warung kelontong madura bisa berkembang biak dengan cepat dan berani menantang jaringan minimarket waralaba?
Seperti virus, warung kelontong madura menyebar dengan cepat di berbagai kota. Di wilayah Jabodetabek, warung-warung madura bahkan telah mengepung jaringan minimarket waralaba yang jenamanya dimiliki para konglomerat. Bagaimana warung-warung madura yang dikelola oleh para perantau dari desa itu bisa berkembang biak sedemikian rupa?
Jalan WR Supratman di Ciputat, Tangerang Selatan, panjangnya hanya 4-5 kilometer. Di sepanjang jalan itu, setidaknya ada 17 warung kelontong madura. Artinya, setiap 200-300 meter, rata-rata ada satu warung madura. Masuk sedikit ke Jalan Kertamukti, di depan Rumah Sakit Hermina Ciputat, bahkan terdapat lima warung madura yang jaraknya masing-masing hanya berkisar 5-10 meter saja. Tidak jauh dari situ ke arah selatan, bermunculan pula warung-warung madura di antara minimarket waralaba seperti Lawson, Alfamart, dan Indomart.
Warung kelontong madura mudah dikenali lewat penanda khasnya. Biasanya, di depan warung ada rak berisi bensin dalam botol atau kotak Pertamini. Beras diletakkan dalam kotak kaca mirip akuarium agar pembeli bisa langsung melihat kualitasnya. Rokok dari beragam merek ditata rebah di etalase terdepan. Di ruang dalam roko, terdapat rak dengan kotak-kotak ukuran sekitar 30 x 30 cm yang penuh dengan aneka dagangan. Langit-langit toko dipenuhi aneka produk dalam kemasan saset. Kadang ada celurit digantung atau diselipkan di sekitar rak bagian dalam, sebagai simbol kebanggaan sekaligus kewaspadaan orang Madura.
Tidak hanya di Ciputat, di hampir semua wilayah Tangerang Selatan, warung kelontong madura bermunculan hingga ke ujung-ujung gang perkampungan. Warung serupa juga tumbuh dengan tidak kalah masifnya di Depok, Bogor, Bekasi, Jakarta, dan kota-kota lain seperti Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. Sebagian besar pemiliknya adalah orang-orang Madura dari Sumenep. Tetapi, kini perantau dari Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan pun ikut membuka warung kelotong dengan penataan yang sama.
Warung-warung dengan wajah serupa itu berbiak secara sangat masif sekitar satu dasawarsa terakhir ini. Meski sebenarnya, sejumlah Sumenep mulai membuka warung kelontong sejak era 90-an di kawasan Tanjung Priok, Jakarta. Kini, kemanapun kita melangkah di wilayah Jabodetabek, dengan mudah kita temukan warung madura. Sebagian besar warung itu hadir di tepi jalan yang ramai, pertigaan atau perempatan jalan, sekitar kampus, kawasan permukiman buruh, dan di jantung permukiman padat.
“Saking banyaknya warung madura, sekarang kami kesulitan cari lokasi strategis untuk warung baru. Saya sudah punya dua warung di Ciputat. Rencananya mau membuka dua warung lagi di tempat lain. Saya sudah survei lokasi sampai ke pojokan Puncak Bogor. Bahkan, di ujung kampung di Puncak pun sudah ada warung madura,” ujar Wahyudi (23), perantau asal Pamekasan, terbahak-bahak, Kamis (10/11/2022).
Baca juga: Kaki Bergoyang, Duit Datang
Dulu, lanjut Wahyudi, ia mendengar ada semacam kesepatan tak tertulis di antara perantau Madura yang mengatur jarak antara sesama warung madura. “Katanya minimal jaraknya dua tiang listrik (sekitar 50 meter). Sekarang aturan itu nggak berlaku lagi. Orang bisa buka di mana saja, bahkan di sebelahnya. Mungkin juga karena jarak antar tiang listrik di kota-kota sekarang makin dekat ha ha ha,” tambah Wahyudi yang tergolong pemain baru di bisnis warung kelontong madura.
Abdul Hamied (43) punya cerita lain terkait soal jarak antar warung madura. Dulu ia dan para pemilik warung madura patuh pada kesepakatan tak tertulis untuk menjaga jarak antar warung minimal 1 kilometer. “Kira-kira, tiga tahun lalu (berkurang) jadi 500 meter. Dua tahun lalu, makin pendek lagi jadi 150 meter. Kalau di pinggir jalan raya, malah jadi 50 meter saja,” ujar Hamied terjun ke bisnis warung kelontong sejak 2012.
Ia membuka warung pertamanya di Pamulang, Tangerang Selatan. Waktu itu, lanjut Hamied, warungnya adalah warung madura satu-satunya di sana. Hanya dalam beberapa tahun, warung madura muncul di mana-mana. Hamied sendiri kini telah memiliki 12 warung kelontong di Tangerang Selatan, Depok, dan Bogor. Ia mengelola sendiri satu warung kelontong di Cinangka, Sawangan, Depok, Jawa Barat. Sisanya dikelola orang-orang kepercayaannya.
Warung madura berbiak begitu cepat lantaran bisnis ini dinilai sangat menjanjikan. Satu warung madura yang dianggap lumayan, omsetnya sehari bisa Rp 3 juta. Padahal, banyak warung madura yang omsetnya jauh di atas itu. Tidak heran jika para perantau Madura seperti berlomba-lomba membuka warung kelontong di mana-mana. “Bahkan, ada satu orang Sumenep yang punya 40 warung. Yang punya dua sampai empat warung itu banyak sekali Mas,” ujar Wahyudi.
Arus balik “perlawanan”
Fenomena merebaknya warung kelontong madura mengingatkan kita pada penetrasi jaringan minimarket waralaba milik para konglomerat seperti Indomart, Alfamart, Circle K, dan 7Eleven sejak dasawarsa pertama tahun 2000-an. Jaringan minimarket yang kinclong dan serba tertata itu merangsek hingga ke kampung-kampung dan membuat warung kelontong milik orang-orang jelata mengalami kemunduran bahkan mati. Kini, terjadi semacam arus balik. Warung kelontong madura justru yang merangsek ke mana-mana dan mengepung jaringan minimarket waralaba.
“Kalau melihat perkembangan sekarang, saya yakin warung kelontong madura jumlahnya sudah lebih banyak daripada Alfamart dan Indomart. Setidaknya di Tangsel,” ujar Wahyudi.
Bagaimana warung-warung madura berani bertarung menghadapi kekuatan besar itu? Hamied menjelaskan, orang Madura percaya rezeki setiap orang sudah diatur oleh Tuhan. “Rezeki semut enggak bakal dimakan gajah. Di depan SPBU saja, orang Madura berani jual bensin botolan.”
Keyakinan soal rezeki itu diikuti dengan kecerdikan melihat celah. Warung madura, misalnya, buka 24 jam sepanjang tahun. Sampai-sampai muncul anekdot, warung madura cuma tutup pas kiamat saja. Menurut Wahyudi, sehebat-hebatnya minimarket waralaba, mereka tidak akan sanggup buka 24 jam. “Paling lama mereka buka sampai jam 11 malam. Nah, orang-orang yang perlu rokok dan lain-lain pas tengah malam, warung madura yang melayani.”
Warung madura juga menjual apa saja mulai rokok, sembako, sabun mandi, alat tulis, token listrik, pulsa, sampai, bensin. Istilah slang-nya, palugada, apa lu mau gua ada. “Saya malah sedang menjajaki kemungkinan jualan minuman es teh manis dan mie bakso di depan warung saya,” ujar Fadlali (44), pemilik Toko Kaizar, di kawasan Cijingga, Cikarang Selatan, Jawa Barat, Kamis (10/11).
Agar bisa bersaing dengan minimarket waralaba, warung madura memasang harga lebih murah. “Kalau mereka jual Rp rokok sebungkus Rp 28.000, saya jual Rp 26.000. Dan, di warung madura, pembeli nggak perlu bayar parkir motor,” ujar Herman, pengelola warung madura di Jalan Tarumanegara, Ciputat yang berjarak 100-an meter dari minimarket waralaba.
Fadlali bahkan tidak menghitung minimarket waralaba sebagai saingan. Saingan warung madura yang sebenarnya, menurutnya, adalah warung-warung kelontong milik orang Kuningan dan Batak. “Jaringan warung batak saya akui punya kelebihan tersendiri yang belum bisa kami saingi. Salah satunya, mereka berbelanja barang dagangan dengan cara berserikat alias patungan ke distributor langsung sehingga harga dagangannya bisa lebih murah.”
Meski begitu, selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan di tengah persaingan yang ketat dengan minimarket waralaba, warung kelontong madura, dan antara warung madura sendiri. Pengelola warung madura Ilya Jaya yang ada di belakang tembok kampus UIN Jakarta, misalnya, menjangkau mahasiswa pelanggannya di balik tembok itu dengan memasang bel. Mahasiswa yang ingin membeli sesuatu, tinggal naik ke drum kecil lantas memencet bel itu. Si penjaga warung akan keluar dan menghampiri dari balik tembok. Transaksi berlangsung dengan menceploskan uang dan barang melalui celah jeruji besi di atas tembok itu. Karena itulah, warug itu dijulki “warbel”, warung dengan bel.
Jadi Priyayi
Raedu Basha, budayawan asal Sumenep, menjelaskan, fenomena maraknya warung kelontong sebagai bagian dari kisah perjalanan para perantau Madura. Menyitir temuan Prof Kuntowijoyo, lanjut Readu, orang Madura umumnya punya pandangan yang tidak berorientasi pada tanah (land etich), tapi pada moral ekonomi berorientasi pada kerja (labour etich). Kenyataannya, perantau Madura memang bisa bekerja di mana saja dan bagaimana pun keadaannya, mulai jadi pengemis, pengasong, pedagang kaki lima, pegawai, hingga pejabat tinggi sekelas menteri. Belakangan, sebagian perantau Madura mencari penghidupan dengan membuka warung atau toko kelontong.
Pada masanya, lanjut Raedu, mereka yang noko (buka toko) mendapat penghargaan dari masyarakat karena bisa membantu saudara dan tetangga yang nganggur, bisa punya rumah dan kendaraan, mampu menggelar acara adat, atau membantu pembangunan tempat ibadah. “Biasanya, setelah mereka memiliki toko di rantau dan pulang ke Madura, mereka kini (dihargai) bagaikan priyayi di lingkungannya.”
Tidak mengherankan, banyak pasangan suami istri baru dan melihat noko sebagai pilihan ideal untuk mencari penghidupan dan penghargaan. “Siswa baru lulus sekolah menengah atau sarjana yang baru diwisuda juga kini mulai melihat noko lebih menjanjikan daripada mengejar karier lain yang ribet,” kata Raedu.
Begitulan, banyak pergeseran yang terjadi seiring fenomena maraknya warung kelontong madura baik di tanah rantau maupun di kampung halaman. (Mohammad Hilmi Faiq)