Pameran Seni Bertali dengan NFT
Pameran seni gencar mengadopsi ”non-fungible token” yang bertaut pada teknologi rantai blok (”blockchain”). Hal ini jadi solusi bagi dunia seni yang kerap terkendala akan rusaknya sertifikat keaslian sebuah karya seni.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F28%2F977e1691-eb5f-4ecc-bf4a-b6ea3b68b022_jpg.jpg)
Sejumlah karya seni yang dipamerkan dalam pameran Rekam Masa yang digelar Artopologi di Museum Nasional, Jakarta, Jumat (28/10/2022). Pameran ini mengemas konsep gelar karya seni yang terintegrasi dengan blockchain sehingga bisa dimiliki para pengoleksi dalam bentuk NFT. Pameran berlangsung hingga Minggu (6/10/2022).
Pameran seni kian gencar mengadopsi teknologi non-fungible token yang bertaut pada ekosistem rantai blok (blockchain). Adopsi itu untuk beragam tujuan, mulai dari mendigitalkan sertifikat keaslian karya seni hingga karya seni itu sendiri.
Non-fungible token atau NFT yang sejatinya adalah tanda kepemilikan atas benda digital dan tercatat di jejaring blockchain belakangan memang menjadi perbincangan hangat. Sejumlah pameran seni turut menampilkan deretan karya seni digital sebagai NFT. Karya berwujud NFT itu juga kerap menarik kunjungan orang yang menggemari teknologi.
Seperti pada Sabtu (29/11/2022), ada Manaf (30) yang menyempatkan diri datang ke Museum Nasional di Jakarta. Pegawai bidang teknologi informasi ini datang untuk pameran bertajuk ”Rekam Masa” yang mengintegrasikan karya seni dengan blockchain. Hal yang paling menarik minatnya adalah bagaimana NFT dan blockchain itu bisa diimplementasikan untuk karya seni.
Manaf menengok deretan karya seni di sana dan sempat memindai kode respons cepat (qr code) yang terpasang beriringan di tiap karya. Qr code kemudian mengarah ke tautan di situs artopologi.com yang lebih lanjut menjelaskan tentang karya tersebut berikut nominalnya dalam Rupiah.
Baca juga: NFT, Dunia Digital Rasa Analog
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F28%2F53606684-5bec-444e-82bd-d504c2e6da30_jpg.jpg)
Karya seni yang turut dalam pameran Rekam Masa yang digelar Artopologi di Museum Nasional, Jakarta, Jumat (28/10/2022). Pameran ini mengemas konsep gelar karya seni yang terintegrasi dengan blockchain sehingga bisa dimiliki para pengoleksi dalam bentuk NFT. Pameran ini berlangsung hingga Minggu (6/10/2022).
Selain dari situs artopologi.com, Manaf pun sempat melihat-lihat laman Artopologi di lokapasar OpenSea. Dari situ, dia melihat sejumlah karya di pameran yang hadir dalam format sertifikat keaslian digital. Lukisan bertajuk ”Pesan dari Laut” karya Catur Nugroho, misalnya, Manaf temukan dalam laman OpenSea di jaringan blockchain Polygon, bertuliskan ‘certificate of authenticity, blockchain registered by Artopologi’.
”Saya penasaran. Kebetulan, tadi pagi saya juga ikut seminar tentang blockchain. Jadi seharian ini bisa dibilang blockchain day-lah, saya pengin tahu aplikasinya lebih lanjut,” ungkap pria yang tinggal di bilangan Jakarta Selatan ini.
Manaf hanyalah satu dari sebagian pengunjung yang mendatangi pameran Rekam Masa dengan rasa penasaran terhadap blockchain dan NFT. Pameran yang berlangsung mulai 28 Oktober hingga 6 November mendatang ini memang mengusung format ekshibisi seni yang berintegrasi dengan blockchain.
Artopologi, penyelenggara pameran Rekam Masa, berperan sebagai platform lokapasar karya seni fisik yang berintegrasi dengan blockchain. Integrasi yang dimaksud yaitu setiap karya fisik yang dijual di situs artopologi.com memiliki NFT berupa sertifikat keaslian digital di blockchain. Saat karya seni terjual, NFT berupa sertifikat keaslian itu juga akan diberikan oleh kolektor. Adapun sertifikat tersebut dicatat dalam blockchain Polygon.
Baca juga: Dari NFT ke Dunia Nyata
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F03%2F3a5839a0-6a6d-4cd7-9ac5-1fb4d45fb9f8_jpg.jpg)
Sertifikat keaslian karya seni berjudul “Pesan dari Laut” dari seniman Catur Nugroho dapat ditelusuri di lokapasar non-fungible token (NFT) OpenSea, Kamis (3/11/2022). Karya seni ini adalah bagian dari Rekam Masa, pameran seni terintegrasi blockchain yang diselenggarakan oleh Artopologi. Pameran berlangsung pada 28 Oktober-6 November 2022.
Otentisitas
Di dunia seni, rekam keaslian atau otentisitas suatu karya kerap menjadi pergumulan tersendiri. Seiring berjalannya waktu, sertifikat keaslian suatu karya seni yang umumnya bersifat fisik dalam bentuk kertas bisa dengan mudah rusak atau hilang sehingga mengaburkan validitasnya.
Kerawanan itu memunculkan isu besar seputar perlindungan hak di industri seni selama ini, baik bagi seniman yang bersangkutan maupun perlindungan nilai atau aset bagi kolektor. Kehadiran teknologi blockchain yang bersifat kekal (tidak bisa diubah), transparan, dan terdesentralisasi diyakini dapat meretas persoalan tersebut.
CEO Artopologi Intan Wibisono memandang, riwayat asal-usul atau rekam jejak data (provenance) sebuah karya seni dapat terekam dan terlacak dengan baik dalam jaringan blockchain. ”Teknologi blockchain bisa jadi solusi untuk banyak masalah di dunia seni, dari isu otentisitas sampai rekam jejak. Diciptakan oleh siapa, pernah dibeli dan dikoleksi siapa saja, pencatatan ini penting karena itu yang akan menentukan value dari suatu karya,” tuturnya, akhir pekan lalu.
Selain berangkat dari kegelisahan para pegiat industri seni, Intan juga berkaca dari pengalaman pribadinya sebagai seorang kolektor seni. Ia pernah kehilangan sertifikat keaslian dari lukisan ”Hentakan Penari” karya pelukis Putu Sutawijaya, yang merupakan koleksi seni pertamanya.
”Sertifikat kertas bisa hilang, kebanjiran, terbakar. Kalau didaftarkan di blockchain, sifatnya jadi kekal. Perpindahan karya tinggal mengikuti, semua tercatat dan terlacak. Untuk kasus saya, kebetulan Pak Putu masih ada, bisa ditanyakan langsung. Kalau senimannya sudah tidak ada, itu yang sulit, dan masalah seperti ini sering terjadi,” kata Intan.
Baca juga: Seni Berhasrat Merayakan NFT
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F28%2Fc5842333-a3a4-46ec-a1dd-b1336f1a2f2f_jpg.jpg)
Sejumlah karya seni dipamerkan dalam pameran Rekam Masa yang digelar oleh Artopologi di Museum Nasional, Jakarta, Jumat (28/10/2022). Pameran ini mengemas konsep gelar karya seni yang terintegrasi dengan blockchain sehingga bisa dimiliki para pengoleksi dalam bentuk NFT. Pameran ini berlangsung hingga Minggu (6/10/2022).
Pameran seni yang bertali dengan NFT bukan pertama kalinya bagi Intan. Dia juga menggarap festival seni bertajuk ”Indo NFT Festiverse” yang melibatkan 238 kreator NFT di Galeri Katamsi, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, April 2022. Dengan NFT, karya seni saat itu dapat terdistribusi dengan mudah secara digital di dalam blockchain.
Pameran Rekam Masa menampilkan beragam karya seni fisik meliputi lukisan, fotografi, patung, instalasi, hingga karya mode dari berbagai seniman senior. Adapun sejumlah seniman itu, antara lain, Teguh Ostenrik, Galam Zulkifli, dan Dipo Andy.
Selain karya seni fisik, ada pula karya seni digital yang ikut dipamerkan dari sejumlah seniman. Ada pula koleksi NFT Kompas yang telah dirilis di blockchain Tezos dan Ethereum, juga rilisan ”Mata Dasawarsa”, yakni tujuh foto peristiwa yang menandai tiap dekade perjalanan Indonesia.
Baca juga: Mata Dasawarsa, Catatan Sejarah Bangsa Indonesia
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F31%2F6a505f0e-024b-4716-ab15-fa0222332402_jpg.jpg)
Besaran harga awal lelang karya-karya foto jurnalistik Mata Dasawarsa yang dipamerkan di Pameran Rekam Masa oleh Artopologi di Museum Nasional, Jakarta, Sabtu (29/10/2022).
Tema ”Rekam Masa” diambil untuk menggambarkan perjalanan seni kontemporer yang terus berpadu dengan perkembangan masa dan kemajuan teknologi. Makna ”Rekam Masa” juga mengacu pada stempel waktu (time stamp) yang menjadi karakteristik utama dari blockchain.
Setiap karya yang dipamerkan otomatis sudah disertai dengan sertifikat keaslian digital (certificate of authenticity/COA) yang terdaftar di rantai blok. Sertifikat digital itu otomatis terkirim ke dompet kripto seniman bersangkutan serta kolektor yang nantinya membeli karya seni tersebut. ”Jadi peran kami di sini sebagai fasilitator yang mengoneksikan ekosistem dunia seni, antara seniman dan kolektor, serta mencarikan solusi teknologi untuk menjawab isu-isu penting di industri seni,” ujar Intan.
Baca juga: Kepingan Sejarah Indonesia di Dalam "Blockchain"
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F31%2F6d49d898-f700-45a1-97d6-b706c9e78c7f_jpg.jpg)
Foto Joko Widodo saat kemenangan dalam pemilihan suara presiden tahun 2014 yang mewakili kurun masa tahun 2010 hingga 2020 dalam rangkaian Mata Dasawarsa yang dipamerkan di Pameran Rekam Masa oleh Artopologi di Museum Nasional, Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Menggunakan fiat
Meski blockchain kental diasosiasikan dengan aset kripto, Artopologi masih menggunakan mata uang fiat dalam bertransaksi. Intan menjelaskan, ke depan, tidak tertutup kemungkinan Artopologi akan menggunakan aset kripto.
”Ini karena Artopologi tidak memperjualbelikan karya digital. Barangnya ada bentuk fisik, dengan harga dunia nyata. Selain itu, kripto juga belum diregulasi di Indonesia. Tapi berikutnya, kalau aturan sudah membolehkan, bisa saja (menggunakan kripto),” ujarnya.
Di sisi lain, disrupsi teknologi blockchain ke ranah seni juga dipandang perlu dilakukan bertahap. Kurator Pameran Artopologi Sudjud Dartanto mengatakan, saat ini belum semua seniman memahami, bahkan terbuka, dengan penggunaan blockchain. Ada pula pegiat seni yang masih mengkhawatirkan kaitan dampak teknologi baru itu ke lingkungan.
”Seniman boleh tidak setuju dengan ini dan memilih menggunakan cara-cara yang organik, itu pilihan. Tapi, saya meyakini, sistem ini akan menjadi kebutuhan ke depan untuk menjawab berbagai masalah di industri seni,” tuturnya.
Sudjud menilai, edukasi akan menjadi salah satu tantangan terbesar untuk mengenalkan insan seni pada blockchain. Ia mengibaratkan ”disrupsi” blockchain di ranah seni saat ini seperti peralihan surat-menyurat manual menuju surat elektronik (surel).
”Hanya butuh 5-10 tahun untuk kita meninggalkan surat dan beralih ke e-mail. Jadi, kalau saat ini blockchain masih dipandang sebagai hal baru yang asing, dalam waktu 5-10 tahun ke depan, mungkin ini bakal jadi hal yang mudah dan jadi bagian dari keseharian kita,” katanya.
Baca juga: "Bear Market" Aset Kripto, Akhir dari NFT?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F28%2F70e4571b-f706-48b4-9874-873681e2316f_jpg.jpg)
Sejumlah karya seni yang dipamerkan dalam pameran Rekam Masa yang digelar oleh Artopologi di Museum Nasional, Jakarta, Jumat (28/10/2022). Pameran ini mengemas konsep gelar karya seni yang terintegrasi dengan blockchain sehingga bisa dimiliki para pengoleksi dalam bentuk NFT. Pameran ini berlangsung hingga Minggu (6/10/2022).
Harapan
Adopsi NFT dan blockchain di ranah seni menjadi harapan bagi para pelaku seni. Galam Zulkifli (51), pelukis kontemporer yang juga hadir di Rekam Masa, berharap teknologi ini dapat mengatasi masalah kerentanan pada sertifikat keaslian karya seni. Sebab, dia pernah mengalami masalah yang menyebabkan sertifikat keaslian terduplikasi.
”Adopsi ini mungkin adalah keniscayaan. Sertifikat yang ada di blockchain akan mengatasi permasalahan secara jangka panjang, apakah sertifikatnya rusak dan hilang di masa mendatang,” ujar Galam, yang berbasis di Yogyakarta ini.
Stefany Zevanya (31), pelukis yang juga mengisi pameran Rekam Masa, berharap pendistribusian karya seni jadi lebih transparan dan aksesibel dengan blockchain. ”Harapannya, perkembangan seni rupa konvensional bisa seiring dengan teknologi yang ada sekarang. Senimannya juga harus bisa adaptif dengan teknologi ini,” tutur perupa asal Bogor, Jawa Barat, ini.
Adopsi blockchain diharapkan menjadi solusi atas kerentanan di ranah seni. Adaptasi bagi para pelaku seni pun menjadi keniscayaan agar otentisitas karya seni ikut terjaga.