Sapto Djojokartiko menampilkan koleksi musim semi/musim panas 2023 secara langsung. Ada harapan dan rasa optimis yang ingin disampaikan dari karyanya.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Kecemasan masih berkecamuk di sekitar kita meski pandemi terasa surut. Namun, harapan dan rasa optimistis terus dipupuk. Dari pengalaman sepanjang dua tahun berhadapan dengan sesuatu yang tak pernah disangka-sangka, justru melahirkan keberanian dan perspektif baru untuk terus bergerak tanpa ragu beradaptasi.
Peragaan busana tunggal perancang busana Sapto Djojokartiko yang kembali diselenggarakan langsung di Gedung Filateli, Jakarta, Selasa (27/9/2022), membuktikan ketangguhan dan keoptimistisan sang perancang. Setelah dua tahun berturut-turut mengalihkan peragaan melalui presentasi film pendek secara daring, karya Sapto untuk edisi musim semi/musim panas 2023 kembali menyapa langsung.
Sebanyak 70 tampilan busana untuk perempuan dan laki-laki disuguhkan pada koleksi kali ini. Ini merupakan hasil kontemplasi dari Sapto yang merefleksikan kemampuan beradaptasi dan semangat optimisme setiap manusia seiring menghadapi berbagai tantangan yang sudah lewat ataupun yang akan datang.
”Kalau berkaca dari pandemi, rasanya mulai longgar memang, tapi kemudian muncul perang dan banyak krisis yang sedang terjadi sekarang. Itu ternyata ngefek untuk karya kali ini. Penginnya semua memang back to normal, tetapi nyatanya masih banyak kecemasan. Untuk itu, perlu rasa optimis untuk bisa terus bergerak,” ujar Sapto saat berbincang, Rabu (28/9).
Pergelaran dibuka dengan sederet busana bersiluet longgar yang nyaman dengan motif salur. Ada yang dibuat satu stel atasan dan bawahan. Namun, ada juga yang berupa atasan tanpa lengan dipadukan dengan celana gelembung sehingga menampilkan kesan santai dan bebas.
Meski aktivitas kembali banyak dilakukan di luar rumah, Sapto menyadari orang-orang kadung nyaman dengan busana serba longgar yang menjadi andalan kala berada di rumah saja sepanjang pandemi. Untuk itu, ia memilih untuk membaurkan aneka tampilan pada koleksi saat ini, dari yang longgar serba rileks hingga pas badan dengan detail dan siluet megah.
Ragam pakaian yang dikenakan 49 model dan berlalu lalang di landas peraga yang berliku-liku seperti labirin ini terdiri dari atasan tak berlengan, singlet, celana boxer, celana berpipa lebar, luaran longgar, boxy top, tunik, blazer, jas, gaun musim panas, hingga gaun dengan rok lebar menjuntai.
Akan tetapi, kekhasan Sapto dengan detail bordir dan motif yang kompleks tetap dipertahankan. Bahkan, beberapa motif bordir yang dihadirkan pernah muncul juga dalam koleksi sebelumnya, seperti motif klasik Penara, motif Darpana yang berbentuk ulir, seperti pada bingkai cermin, ukelan ron yang membentuk rangkaian daun, ukelan sekar, dan seligi yang menyerupai tombak.
”Karena ini seperti momen kembali, jadi kami juga mereka ulang yang pernah kami buat sebelumnya. Tapi, tetap ada teknik baru yang ditemukan dari mereka ulang ini. Biasanya memang selalu seperti itu,” ujar lulusan Esmod ini.
Salah satu teknik baru yang dijajalnya adalah sulaman tangan dengan benang aneka warna untuk membentuk motif kawung yang diaplikasikan pada sebuah luaran. Jika dilihat dari jarak dekat dan saksama, motif kawung itu terlihat bertekstur padat. Selain itu, Sapto juga menjajal teknik rajut pada sejumlah tampilan dalam koleksi ini.
Fringe atau rumbai-rumbai yang pernah ditawarkannya pada 2013 juga kembali muncul di sini dengan teknik yang dikembangkan dari teknik laser cut. Detail tumpuk, manik-manik, lipit-lipit, dan patchwork juga menyeruak pada koleksi ini. ”Ini juga ingin menunjukkan Sapto enggak sekadar embroidery dan yang menerawang aja,” ucapnya.
Jiwa muda
Menyaksikan karya Sapto yang berseliweran siang itu seperti merasakan spirit Sapto yang bertransformasi setelah pandemi. Apabila selama ini pakaian yang diciptakannya terkesan serius dan rasanya hanya sesuai untuk acara formal dengan rentang usia pengguna yang sudah matang, kali ini Sapto menunjukkan sisi kasual dan ceria yang dimilikinya.
Yang langsung menerpa mata adalah munculnya warna-warna, seperti merah muda neon, kuning, toska, hijau neon, hingga merah. ”Awalnya memang ingin tetap warna netral, tapi kan mau memberikan semangat untuk optimistis yang juga relevan buat anak muda. Jadi, dipilih warna-warna terang juga di samping warna-warna pastel,” ujarnya.
Lagi, pengalaman pandemi membuatnya sadar banyak anak muda yang juga tertarik dengan busana besutannya. Akan tetapi, siluet yang dipilih memang cenderung berbeda. Begitu pula dengan padu padannya yang diakui Sapto cukup sulit dan menjadi tantangan tersendiri dalam menata gaya yang bisa masuk untuk anak-anak muda.
Namun, hasil yang ditampilkan berakhir menarik. Gaun-gaun menerawang khas Sapto dengan bordir yang rumit dan khas dikombinasikan dengan inner wear yang menyalurkan jiwa muda dan keberanian. Antara lain, berupa tank suit, bralette, sports bra, legging, hingga bicycle pants.
Langkah menciptakan sesuatu yang berjiwa muda ini dicobanya pada 2019. Bahkan, ia menggandeng kelompok musik .feast saat itu. Meski sempat ragu, rupanya karyanya memperoleh sambutan baik dari anak muda. ”Karena itu, aku mau konsisten aja bikin dan orang melihat kalau Sapto juga punya lho yang enggak cuma untuk ibu-ibunya, tapi anak-anaknya juga bisa pakai,” ujar pria asal Solo ini.
Pemilihan lokasi acara yang kerap disambangi anak muda juga seakan kebetulan. ”Susah memang mencari tempat yang pas, Udah ketemu, tapi perizinan susah. Sampai ketemu yang terakhir ini walau sempat ragu ruangannya akan siap tepat waktu karena pas dilihat pertama kali itu masih berantakan,” tuturnya.
Pada satu titik, perubahan memang suatu yang pasti. Tidak akan ada yang selalu sama. Sapto memperlihatkannya dengan mau beradaptasi dan mengembangkan sudut pandangnya lewat karyanya yang kini menyentuh lintas generasi untuk membangkitkan optimisme.