Meniti Bromo dengan Subaru Forester
SUV ukuran sedang Subaru Forester punya kemampuan mumpuni menjelajah tak terbatas aspal. Kompas membawanya ke kawasan Gunung Bromo di Probolinggo, Jatim. Tikungan dan tanjakan di ketinggian 2.200 mdpl dilibas tuntas.
Kembalinya Subaru ke pasar otomotif Indonesia patut dirayakan. Sebab, merek ini punya tempat khusus di hati para penggemar otomotif. Konfigurasi mesin boxer dan penggerak empat roda di seluruh varian amat mengesankan. Kompas mencoba model pertama yang dimasukkan, Subaru Forester, ke Gunung Bromo.
Pilihan tujuan Bromo bukan tanpa alasan. Kawasan taman nasional dengan elevasi sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini adalah tujuan wisata populer dengan populasi SUV terpadat—ada sekitar 1.000 unit Toyota Land Cruiser FJ dipakai sebagai mobil wisata. Membawa Subaru Forester yang berjenis SUV ke tempat ini seolah mengenalkannya ke habitat semestinya.
Bukan kebetulan, pada 22-23 Juli 2022 digelar pula perhelatan Jazz Gunung Bromo di Jiwa Jawa Resort, Kabupaten Probolinggo. Resort itu terletak di kaki Gunung Bromo. Jadilah Kompas berangkat ke perhelatan itu dengan Subaru Forester 2.0i-S EyeSight yang dipinjamkan PT Plaza Auto Mega, sebagai distributor resmi merek ini di Indonesia.
Kami berangkat dari Palmerah, Jakarta, Rabu (20/7/2022), sekitar pukul 17.00 ketika lalulintas sedang padat. Tangki bahan bakar berkapasitas 63 liter nyaris penuh dengan bensin beroktan 98. Karena baru berangkat sore, kami menetapkan akan bermalam di Kota Semarang.
Kesan pertama ketika melihat unit berwarna hitam, atau Crystal Black Silica, itu, mobil ini tampak kekar. Garis-garis bodinya tak berlebihan sehingga jauh dari kesan arogan. Keberadaan Anda tak mencolok di jalan, apalagi warnanya hitam. Kami langsung membuka pintu bagasi untuk memasukkan dua tas ransel dan dua koper. Barang bawaan itu terkesan terlalu sedikit bagi bagasi berukuran 500 liter itu.
Kesan kekar makin terasa begitu duduk di jok kemudi. Kap mesinnya terlihat menonjol di kedua bagian sampingnya. Ini memudahkan membaca ruang samping kiri dan kanan, terutama jika memilih posisi duduk agak rendah.
Semua posisi duduk terasa ergonomis karena setirnya bisa disesuaikan maju atau mundur, serta tinggi atau rendah. Semua bagian badan tersangga dengan baik di jok kulit dengan paduan warna hitam dan coklat itu. Sandaran kepalanya bahkan bisa dimaju-mundurkan sesuai kebutuhan. Ini cocok sekali untuk perjalanan jauh.
Perjalanan menuju timur itu kami tempuh melalui jalan Tol Transjawa. Sebelum memasuki jalan bebas hambatan itu, kami harus berjibaku dulu di jalan tol dalam kota yang padat merayap. Fitur Adaptive Cruise Control amat meringankan kerja kaki karena bisa otomatis mengikuti laju mobil di depan. Mobil akan mengingatkan kalau kendaraan di depan sudah maju. Tinggal injak sedikit pedal gas, lajunya akan mengikuti lagi mobil yang dikuntit.
Jalan tol layang MBZ yang sambungan antar ruasnya naik-turun jadi arena menguji kenyamanan mobil. Forester generasi kelima ini melintasinya dengan kecepatan 80 kilometer (km) per jam tanpa memberi efek limbung di kabin. Suspensi yang cenderung kaku ditambah karakteristik penempatan mesin boxer yang rendah menambah daya gigit semua roda pada aspal. Titik pusat gravitasi mobil jadi rendah.
Perjalanan ke Semarang ditempuh dalam waktu sekitar 7 jam dengan kecepatan rata-rata 70 km per jam. Sesekali menyalip mobil lain dengan memainkan tuas paddle shift di balik setir, untuk menambah akselerasi. Mesin 4 silinder berkapasitas 1.995 cc pada mobil ini menghasilkan tenaga puncak 156 PS pada putaran mesin 6.000 rpm yang disalurkan melalui transmisi CVT secara simetris ke empat roda. Karakternya, daya tarik mesin agak berat di putaran mesin bawah. Namun jika mesin digeber pada putaran 6.000 rpm, atau garis merah takometer, lajunya sedap sekali.
Keesokan harinya, tangki bensin kembali diisi penuh di KM 429 di Ungaran, Kabupaten Semarang hingga penuh. Kami menambah 44,24 liter. Jadi, jarak tempuh sejauh sekitar 454 km itu, konsumsi bahan bakar Forester ini sekitar 10,26 km per liter, dengan rute dan elevasi yang bervariasi.
Perjalanan lewat jalan tol masih panjang. Kami keluar di gerbang tol Probolinggo Barat, atau sekitar 860 kilometer sejak bertolak dari Palmerah.
Baca juga : Salam Kembalinya Subaru ke Tanah Air
Tak terasa menanjak
Sepanjang perjalanan di jalan tol yang begitu-begitu saja itu, kami dihibur musik yang disemburkan pelantang keluaran Harman/Kardon. Kekedapan kabin yang baik ditambah kualitas pelantang membuat Eric Clapton yang diputar lewat Apple CarPlay seolah-olah berpentas di atas dasbor.
Mengemudi makin seru selepas gerbang tol itu. Perjalanan menuju Jiwa Jawa Resort masih sekitar 40 kilometer lagi. Jalanan menyempit. Lalu lintas ditingkahi pengguna motor yang relatif banyak di sore yang cerah itu. Secara perlahan, tanpa disadari benar, rute mulai menanjak.
Tingkat elevasi terpampang di layar 6,3 inci yang terletak di atas head unit, tepat di tengah dasbor. Jika tak ada angka penunjuk kemiringan, nyaris tak sadar jalanan mulai menanjak karena putaran mesin di kisaran 1.600 sampai 2.000 rpm saja, seperti di permukaan rata.
Memasuki daerah Sukapura, barulah tanjakan terlihat mata, sesekali dilengkapi tikungan tajam. Tanjakan sekitar 9-10 derajat, berdasarkan angka di layar, sungguh bukan hambatan bagi mobil berpenggerak empat roda ini. Beberapa mobil lain berhasil disalip dengan meyakinkan. Torsi 196 Nm membuat daya tanjak Forester terasa mulus.
Menjelang matahari terbenam, kami tiba di Jiwa Jawa Resort. Perjalanan pada hari kedua itu menempuh jarak sekitar 447 kilometer dengan waktu sekitar enam jam. Badan tak terlalu penat meski menuntaskan perjalanan jauh itu. Posisi duduk yang baik dan kenyamanan jok berlapis kulit rasanya berpengaruh.
Di malam hari ketika hendak merapikan parkir mobil di penginapan, kami merasakan manfaat kamera belakang yang terpancar di layar infotainment, lengkap dengan garis arah kemudinya. Gambar proyeksinya terbilang jelas untuk keadaan sekitar yang gelap.
Menuju kaldera
Keesokan paginya, kami memutuskan membawa Forester lebih dekat ke kawah Gunung Bromo yang masyhur itu. Tanjakannya semakin menantang. Kali ini, penghuni mobil bertambah, yakni lima laki-laki dewasa, ditambah peralatan kamera di bagasi.
Rute perjalanan sepenuhnya mendaki. Di beberapa titik, seperti tertera di layar, menunjukkan angka 15 derajat. Lagi-lagi, tanjakan dengan kemiringan sedemikian enteng saja dilahap. Rasanya menyenangkan sekali mengendalikan Forester di tanjakan dengan tikungan curam. Tak sedikit pun ada rasa khawatir mobil bakal kekurangan tenaga, bahkan dengan AC menyala sekalipun.
Titik tertinggi yang bisa kami capai adalah di bibir kaldera Bromo, tepatnya di depan Lava Hill Resort. Ketinggiannya 2.294 mdpl. Pagi yang cerah itu membuat kami bisa melihat puncak Bromo dengan amat jelas. Sayangnya, kami tak bisa turun ke lautan pasir Bromo karena aturan yang dikeluarkan Taman Nasional Gunung Bromo Tengger Semeru. Hanya jip Land Cruiser FJ milik warga sekitar yang boleh mengangkut wisatawan ke sana.
Padahal, Forester ini punya fitur berkendara di lautan pasir bernama X-Mode, yang bisa menyesuaikan traksi ke roda yang membutuhkan. Namun tak apa, larangan itu patut diindahkan demi kelestarian ekosistem taman nasional ini.
Kesempatan keluar dari aspal baru kami rasakan di hari terakhir setelah rangkaian acara Jazz Gunung Bromo tuntas. Kami membawa mobil seharga Rp 695,5 juta (on-the-road Jakarta), ini, ke perkebunan di Desa Sapikerep. Jalanannya campuran antara tanah dan bebatuan, serta sedikit mendaki.
Tenaga yang tersalurkan ke empat roda secara simetris membuat rintangan itu tak berarti apa-apa. Penumpang pun tak terlalu berguncang-guncang ketika melibas bebatuan dengan kecepatan sekitar 50 km per jam. Ada sebuah tikungan patah di ujung tanjakan yang dibatasi gerbang selebar pas ukuran mobil. Kami memanfaatkan kamera yang terletak di bagian bawah spion kiri untuk memantau posisi roda. Pas betul. Tak satu pun bagian mobil menyentuh gerbang kecil itu.
Hawa sejuk Bromo dan keramahan warga Tengger harus kami tinggalkan meski masih betah di sana. Perjalanan kembali ke Jakarta menyinggahi lagi Kota Semarang sebagai tempat menginap. Keesokan malam, kami sampai di Jakarta setelah menempuh perjalanan pulang sejauh 955 km—terpampang di layar informasi. Konsumsi bahan bakar perjalanan pulang itu 8,7 liter per 100 km, atau 11,49 km per liter dengan gaya menyetir bervariasi; santai dan sesekali agresif.
Pengalaman selama lima hari dengan Subaru Forester sangat membekas. Mobil dengan dimensi panjang 4,6 meter dan lebar 1,8 meter ini amat menyenangkan dibawa di jalur tak biasa; tanjakan ekstrem dan jalanan nonaspal. Sementara di jalan bebas hambatan perlu sedikit ketekunan menghela tenaga maksimalnya. Habitatnya mungkin memang bukan di jalan tol.
Baca juga : Toyota dan Subaru yang Menderu