Kolaborasi antara Javara dan The Dharmawangsa Jakarta, mengeksplorasi gastronomi dan kebugaran fisik-jiwa. Sumber utama pengetahuan bahan pangan adalah relief Candi Borobudur.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Candi Borobudur ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Jebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 1991. Memasuki usia 12-13 abad, Borobudur masih terus memberi pengetahuan melalui reliefnya, kali ini tentang keanekaragaman pangan.
Jamuan makan malam di The Dharmawangsa Jakarta menawarkan hal berbeda. Meja panjang kayu dihiasi dedaunan, buah kelapa, bulir padi, sukun, dan pisang dalam tandan. Ada beberapa batang tebu disandarkan di dinding.
Tajuk jamuan makan malam yang dihadiri Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pada Jumat (19/8/2022) malam itu adalah ”Jelajah Kuliner Nusantara. Borobudur Heritage: From Relief to Table”. Ini adalah kolaborasi antara Javara dan The Dharmawangsa Jakarta, mengeksplorasi gastronomi dan kebugaran fisik-jiwa. Sumber utama pengetahuan bahan pangan adalah relief Candi Borobudur.
Relief candi Buddha terbesar di dunia itu menyimpan tidak hanya ajaran Buddha, tetapi juga cerita kehidupan, termasuk keberlimpahan bahan pangan di sekitar candi, bertutur mengenai kuliner, seni menyiapkan, memasak, dan menyajikan makanan.
Lebih dari 20 jenis bahan pangan yang diterakan relief candi diolah menjadi santapan. Sebagian bukan tanaman asli dari sekitar Borobudur dan Indonesia. Hal ini menyiratkan perdagangan dengan wilayah-wilayah lain di luar Nusantara sudah berjalan lama mengingat Borobudur dibangun pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi.
Hadirnya buah kelapa, sukun, padi, juwawut, pisang, dan tebu bukan sekadar hiasan. Executive sous chef Ignatius Julio mengolahnya dengan kreatif untuk enam hidangan.
Dimulai dari kletikan keripik kluwih dan sukun. Pearl Kwok, istri Duta Besar Singapura untuk Indonesia, mengaku suka sekali dengan kletikan yang sebenarnya camilan sehari-hari, tetapi diangkat ke aras lebih tinggi ketika disajikan dengan saus salsa daging buah lontar.
Berikutnya kudapan icip-icip (amuse bouche) dari tuna sirip kuning asal Jailolo, Halmahera. Tuna premium ini disertai salsa dari mangga, kemangi, cabai jawa, jeruk kalamansi, dan kerupuk singkong jetkolet, dipijat (ditekan) adonan singkong akan ngolet alias menggeliat.
Umpan tekak menggugah selera dalam sajian lobster yang dipadu dengan juwawut, mangga muda, selada akar teratai, dan saus cuka aren yang memberi rasa masam samar.
Sup yang mendapat pujian dari Nadiem dibuat dari ikan beong (sejenis lele). Menurut pendiri Javara dan wirausahawati sosial keanekaragamanhayati, Helianti Hilman, ikan beong merupakan ikan endemik kawasan sekitar Borobudur. Chef Julio menyajikan kari beong asap yang dipadu mi lethek dari pati singkong.
Burung dara panggang menjadi hidangan utama; juga daging sapi yang dibumbui asam jawa dan gula kelapa, talas rebus, tumis daun genjer, pakis dan pucuk labu; serta kepiting air tawar (yuyu) goreng yang dipadu sambal tomat dan daun kemangi. Sebagai sumber karbohidrat ada nasi dari beras hitam dan beras putih. Beras hitam pada masa lalu konon hanya disajikan untuk para raja.
Hidangan penutup terdiri dari panna cotta manggis, makarun kelapa dengan saus kelapa, serta setup pisang dan nangka. Untuk melengkapi, ada kopi Bukit Menoreh dan wedang terbuat dari rempah-rempah sekitar Borobudur. Lalu, dodol khas Borobudur, krasik, yang dibuat dari ketan.
Menghidupkan kembali
Jamuan makan malam ini membangkitkan kekayaan kuliner dan bahan pangan Nusantara. Kali ini fokusnya Borobudur. Helianti menyebut, di desa-desa sekitar Borobudur masih ditemui bahan makanan yang terdapat pada relief candi. Hanya saja, sebagian bahan pangan tersebut tidak lagi sering digunakan penduduk.
”Kami ingin warga sekitar Borobudur memanfaatkan kembali bahan pangan yang ada, mengolahnya dengan lebih baik. Mengikuti selera masa kini,” kata Helianti.
Warisan pengetahuan ini akan didokumentasikan bersama Kemendikbudristek serta disebarkan kepada masyarakat sekitar Borobudur dan masyarakat umum. Kemenparekraf digandeng untuk menjadikan pangan sekitar Borobudur sebagai tujuan wisata minat khusus budaya dan kuliner.
Filolog Sugi Linus dan pembaca manuskrip kuno membantu menjelaskan peradaban di sekitar candi yang melahirkan Borobudur. Salah satunya adalah banyaknya relief mangga di candi. Ternyata dalam manuskrip kuno mangga dianggap sebagai rajanya buah, menyimbolkan kemakmuran dan harapan.
Dengan demikian, meskipun menyajikan ajaran Buddha Mahayana yang berasal dari India kuno, konteks lokal sangat kuat. Untuk jamuan ini, pengetahuan diambil dari panel Lalitavistara dan Karmawibanggha. Kemampuan menginterpretasi juga penting. Menurut Helianti, ikan beong tidak eksplisit digambarkan di relief. Interpretasi muncul dari relief yang menggambarkan aktivitas di pasar dengan alat penangkap ikan dan penjual ikan. Saat ini untuk menangkap beong bisa ke Kali Progo di mana ikan ini suka bersembunyi di balik batu.
Semangat zaman
Pada akhirnya, makan bukanlah asal kenyang. Semangat zaman menghendaki makanan harus sehat, menyejahterakan petani dan nelayan sebagai produsen, memberi nilai tambah bagi warga sekitar, dan sedapat mungkin nol dalam jejak karbon. Helianti yakin, apabila masyarakat melihat kembali kebun dan pekarangan mereka, seharusnya tidak terjadi stunting.
Kawasan Borobudur menyediakan sumber makanan nabati dalam bentuk umbi, seperti talas, singkong, ubi; bijian-bijan, seperti padi dan juwawut; buah berumur pendek, seperti pisang; buah dari tanaman tahunan, seperti nangka, kluwih, kelapa dan aren; tanaman air, yaitu teratai. Sumber pangan hewani ada mamalia, seperti sapi, kambing, kerbau; burung; ikan; dan jenis-jenis krustasea, seperti kepiting dan udang air tawar.
Bahan pangan lokal sekitar Borobudur memenuhi kebutuhan makan sehat dan dengan jejak karbon hampir nol. Hal yang masih perlu didorong adalah mengolah bahan pangan itu untuk mendapat nilai tambah yang menyejahterakan petani dan warga.
Bantuan juru masak akan membawa rasa, tampilan, dan sajian pangan lokal memenuhi selera saat ini. Menjadikan petani, nelayan, dan warga sekitar menjadi wirausaha akan melahirkan inovasi pangan dari bahan baku lokal.