Non-fungible token atau NFT yang menjadi tren kini bisa bertalian dengan beragam hal di kehidupan nyata. Sejumlah kolektor meyakini hal ini menjadi era selanjutnya dari NFT.
Prasajadi, kolektor non-fungible token (NFT) harian Kompas, berfoto dengan koran harian Kompas yang dikoleksinya dalam bentuk NFT saat berkunjung ke Pusat Informasi Kompas di Jakarta, Selasa (6/9/2022). Para kolektor #NFTKompas ini berkesempatan untuk bertemu dan mengetahui lebih jauh terkait proses pengarsipan koran dan rapat redaksi untuk menentukan berita di harian Kompas.
Eksistensi non-fungible token atau NFT yang menjadi tren kini tidak lantas berhenti di dunia digital. Dalam sejumlah kondisi, benda digital di jejaring rantai blok (blockchain) ini pun bisa bertalian dengan hal di kehidupan nyata. Sejumlah kolektor meyakini hal tersebut menjadi era selanjutnya dari NFT.
Pertalian NFT dengan dunia nyata itu salah satunya terjadi pada kesempatan temu kolektor NFT "Indonesia dalam 57 Peristiwa" dari harian Kompas, Selasa (6/9/2022). Sejumlah kolektor mendapat kesempatan berbagi cerita dengan wartawan Kompas, mengunjungi dapur redaksi, hingga mendatangi dokumentasi surat kabar lawas yang telah diarsipkan di Pusat Informasi Kompas, di Jakarta.
Dari serangkaian agenda pertemuan itu, sejumlah kolektor mengakui sangat menunggu saat-saat bertemu dengan halaman utama koran versi asli dari yang mereka miliki di blockchain. Sebelumnya, NFT perdana harian Kompas ini telah ludes di OpenSea, lokapasar pada jejaring blockchain Ethereum.
Rio Indiratama, kolektor NFT untuk edisi Supersemar tahun 1966, kagum saat menjumpai versi asli arsip halaman utama koran itu. Dia sebelumnya sulit membayangkan arsip yang ada di tahun 1966 dari surat kabar masih terdokumentasi dengan baik hingga sekarang.
"Senang banget ketika lihat versi asli arsip itu. Enggak menyangka, arsip tahun 1966 yang saya koleksi di blockchain itu bentuknya kayak gimana di dunia nyata. Setelah lihat, ternyata masih ada dan tersimpan. Dan ketika ngelihat langsung, jadi semacam ada ikatan lebih lagi ke arsip itu," kata kreator Web3 yang juga tergabung di komunitas Utopia NFT Club ini.
Para kolektor NFT (singkatan dari non-fungible token) harian Kompas, antusias mengikuti kunjungan dan menyaksikan bentuk fisik koran Kompas yang salah satunya menjadi koleksi mereka dalam bentuk NFT di rantai blok (blockchain) di Pusat Informasi Kompas di Jakarta, Selasa (6/9/2022).
Bertemu arsip
Ancha MK, kolektor NFT Kompas edisi G30S tahun 1965, juga menikmati momen bertemu arsip lama Kompas. Pengalaman menyentuh langsung arsip lama itu menjadi perdana baginya. Hal tersebut sesuai ekspektasi awalnya, yang mengenali Kompas sebagai surat kabar terlebih dahulu.
Salah satu pengalaman menarik bagi Ancha adalah saat ikut di rapat redaksi. Dari rapat redaksi itu, dia baru tahu kalau koran ataupun e-paper yang dia baca adalah hasil proses panjang produksi berita hingga penyuntingan.
"Jujur kalau kemarin-kemarin baca koran cuma untuk dapat informasi berita, tapi sekarang beda. Gue berusaha untuk lebih menghargai, bahwa ini juga prosesnya panjang dan lumayan detail," ucap Ancha yang juga Web 3.0 Director di Animal3, creative agency yang tengah merintis untuk proyek-proyek Web3.
Ancha memandang apa yang didapat dari koleksi NFT Kompas, mulai dari acara temu arsip, temu redaksi, hingga sejumlah cenderamata dan langganan Kompas itu sudah melebihi dari apa yang diharapkan. Manfaat-manfaat yang didapatnya dari NFT Kompas, menurut dia, juga mengubah cara pandang saat mengoleksi NFT. Eksplorasi manfaat di dunia virtual dan dunia nyata dari NFT itu adalah yang dia cari.
"Pengalaman NFT ini agak mengubah mindset saya saat koleksi NFT. Benefit yang dihadirkan di dunia nyata kayak sebelumnya, seperti Karafuru, atau Superlative Secret Society, itu juga menarik untuk dikoleksi. Kompas pun kayaknya menempuh jalur yang hampir serupa di dunia nyata," jelas kreator NFT di Fxhash dan Objkt, lokapasar jejaring blockchain Tezos.
Ancha, kolektor NFT (singkatan dari non-fungible token) edisi perdana harian Kompas, berfoto dengan koran harian Kompas edisi perdana dalam pertemuan para kolektor #NFTKompas di Harian Kompas di Jakarta, Selasa (6/9/2022). Sebanyak 57 arsip berita halaman depan harian kompas dalam bentuk NFT dikoleksi oleh para kolektor di dalam rantai blok (blokchain).
“Saya jadi bisa mengetahui sejarah di balik berita itu langsung dari pelaku dan saksinya langsung saat ini,” kata Chandra Halim, seorang kolektor edisi Pilkada DKI tahun 2012, yang juga hadir dalam kesempatan itu.
Chandra sudah dua tahun mengoleksi NFT. Biasanya, ia mengoleksi dengan tujuan untuk dijual kembali. Sekadar spekulasi, menurut Chandra. Namun, dengan NFT Kompas, untuk pertama kali ia menyimpan NFT yang sifatnya historis.
“Saya udah pernah beli NFT dari yang enggak ada fungsinya. Tapi sekarang saya cari NFT yang punya utility, jadi enggak asal mengoleksi aja. Kebetulan utility di balik koleksi edisi ini cukup menarik. Saya sebagai pengoleksi merasa jadi ada value lebih untuk menyimpan koleksi ini,” kata pegawai perusahaan perdagangan aset kripto di Jakarta ini.
Redaktur pelaksana Harian Kompas Adi Prinantyo (kiri) memberikan penjelasan terkait rapat redaksi harian Kompas kepada para kolektor #NFTKompas di Menara Kompas, Jakarta, Selasa (6/9/2022).
“Phygital”
Popularitas NFT tidak lepas dengan fungsinya yang dapat menjadi semacam sertifikat penanda otentisitas terhadap barang digital. Hal ini yang pada akhirnya dapat memunculkan konsep scarcity atau kelangkaan terhadap sebuah benda digital. Selama ini, kelangkaan benda digital tidak bisa diwujudkan karena dimungkinkannya penggandaan copy-paste yang identik.
Meski demikian, ternyata, konsep ini tidak mampu memperpanjang umur sensasi NFT di pasar. Setelah booming pada 2021 lalu, NFT memang mulai mengalami pendinginan pasar dan memasuki masa lesu bear market.
Menurut laman pelacak pasar NFT, Non-Fungible.com, pada puncak popularitas NFT di paruh kedua 2021, jumlah transaksi NFT dapat mencapai 1,27 juta kali per hari dengan nilai transaksi mencapai Rp 28,6 triliun.
Kini, jumlah transaksi telah menyusut menjadi hanya 18 persen dari angka puncak atau sekitar 228 ribu transaksi. Nilai total transaksi harian pun turun 96 persen.
Pengunjung menyaksikan karya NFT, singkatan dari non-fungible token di gerai kopi di kawasan Bintaro, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (24/8/2022). Pameran kolektif NFTetangga ini diikuti oleh tujuh orang kreator yang tinggal dan berkarya di Bintaro. Pemeran akan berlangsung hingga 22 September 2022.
Sandra Ro, CEO dari lembaga nonprofit Global Blockchain Business Council, dalam wawancaranya dengan Financial Times, menilai NFT perlu memberikan utilitas dalam bentuk fisik bagi pemiliknya.
Lalu hadirlah, NFT ‘phygital’, yang merupakan penggabungan dari kata physical dan digital. Sebuah NFT phygital menyertakan akses terhadap suatu benda fisik di samping aset digital itu sendiri.
Dengan kata lain, sebuah NFT phygital dapat menjembatani celah antara benda digital ke dunia nyata, dengan harapan, NFT menjadi lebih menarik bagi masyarakat luas.
Konsep penggabungan benda digital dengan benda fisik ini menjadi satu dianggap sebagai salah satu solusi menghadapi skeptisisme masyarakat terhadap kegunaan NFT di dunia nyata.
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo (kanan) bersama Commercial Development Harian Kompas Helman Taofani memperlihatkan salah satu plat karya NFT, singkatan dari non-fungible token harian Kompas di acara pertemuan para kolektor #NFTKompas di kantor Harian Kompas di Jakarta, Selasa (6/9/2022). Pada kesempatan tersebut, para kolektor #NFTKompas diajak berkunjung ke pusat informasi Kompas untuk melihat langsung lembaran halaman depan koran harian Kompas yang NFT nya mereka koleksi.
Salah satu proyek NFT paling terkenal, Bored Ape Yacht Club (BAYC), mungkin dapat menjadi salah satu contoh NFT yang memiliki kegunaan dunia nyata. BAYC bermula sebagai sekadar NFT berbentuk gambar. Namun kini, NFT BAYC menjadi tiket masuk untuk pesta eksklusif.
Berkaitan dengan fenomena NFT ‘phygital’, Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, pengalaman temu redaksi hingga temu arsip adalah masukan ekspektasi dari para kolektor NFT Kompas. Hal tersebut adalah bagian dari eksplorasi NFT yang seakan tanpa batas di era Web3.
“Kami mendengar masukan serta ekspektasi dari kolektor soal NFT Kompas. Karena kami pun tidak ingin sekadar mengoleksi lalu selesai. NFT ini baru tahap awal dari Web2 ke Web3, ada pula kanal Kompas.id. Itu yang kami coba kembangkan,” jelasnya.