Letupan Padu Padan dari Semarang
Padu padan wastra Nusantara dan rancangan tata busana berkesinambungan serta ramah lingkungan diyakini akan jadi formula tepat yang mampu mengantar Provinsi Jawa Tengah, terutama Kota Semarang, jadi kota ”fashion” dunia.
Setelah vakum beberapa tahun akibat pandemi, pergelaran busana tahunan Semarang Fashion Trend (SFT) 2022 kembali digelar. Lebih dari 100 perancang dan siswa sekolah mode ikut terlibat memamerkan karya-karya terbaik mereka di acara ini.
Tak hanya dari Kota Semarang dan sekitarnya, para peserta juga datang dari beberapa daerah lain, seperti Jakarta, Malang, bahkan Aceh. Masing-masing mewakili setiap chapter Indonesia Fashion Chamber (IFC).
Sejumlah nama desainer yang sudah punya nama turut meramaikan. Mereka antara lain Olif Kinanthi, Agied Dertha, Inge Chu, Bramanta Wijaya, dan Elkana Gunawan Tan, Devy Ros, Hannie Hananto, Monika Jufri, dan Tuty Adi asal Solo. Tuty dikenal sebagai perancang busana muslimah langganan ibu negara Iriana Joko Widodo.
Sejumlah jenama aksesori ternama juga terlibat di pergelaran kali ini, antara lain produsen tas kulit Rorokenes dan produsen sepatu Biondi Shoes. Seperti namanya, SFT 2022 diselenggarakan pihak tuan rumah, IFC Chapter Semarang. Walau terdengar ambisius, Ina Priyono dari IFC Chapter Semarang berharap pergelaran sekarang mampu mengangkat dan mendorong kawasan Jawa Tengah bisa mengglobal lewat produk-produk modenya.
Dia membayangkan, nantinya Jateng dengan Kota Semarang sebagai ikon, bisa sejajar dengan kota-kota mode global, seperti Paris, Milan, New York, dan Tokyo. Hal itu bukan tak mungkin terwujud apalagi mengingat ada banyak desainer lokal yang memiliki banyak karya dengan kekhasan kuat, termasuk yang menggunakan beragam wastra Nusantara.
Belum lagi kepedulian para desainer, terutama dari kalangan muda, yang sangat besar terhadap konsep busana berkelanjutan (sustainable fashion). Wastra Nusantara dan busana berkelanjutan kerap disandingkan dan dipadupadankan menjadi karya-karya dan rancangan busana berkarakter kuat, termasuk pada parade SFT 2022 kali ini.
Terdapat sembilan parade busana pada SFT 2022, yang berlokasi di Fashion Runway Hall, Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BBPVP) Kota Semarang, Jawa Tengah. Selain parade, juga digelar kompetisi rancangan busana, baik dari kalangan alumni program pelatihan BBPVP dan desainer umum.
Belasan perancang busana menampilkan karya-karya rancangan masing-masing per parade, sepanjang masa pameran, 4-6 Agustus 2022. Selain parade busana, pada hari ketiga pameran digelar seminar membahas prakiraan tren mode setahun ke depan. Prediksi tren tersebut akan dijadikan acuan seluruh pihak yang terlibat dalam ekosistem busana Tanah Air.
Benang merah
Sejumlah rancangan busana siap pakai (ready to wear) berkonsep kaya wastra dan mengusung isu tata busana berkelanjutan dominan muncul di acara ini. Karya-karya seperti itu seolah menjadi semacam benang merah penanda kembalinya acara rutin SFT.
Menurut pihak penyelenggara SFT 2022, Provisi Jateng punya banyak kekayaan khazanah mode yang sangat potensial untuk dikembangkan. Kekayaan dan kekhasan karya tadi bisa memperkuat daya saing Provinsi Jateng sehingga tak kalah dari provinsi-provinsi lain.
”Beberapa kelebihan itu adalah tampak dari keberagaman hasil wastra Nusantara, seperti batik, tenun, sulam, bordir, ecoprint, yang sekaligus menjadi kekuatan dan menjadikan Jateng sebagai pusat destinasi wisata belanja produk ready to wear craft fashion,” ujar Ina.
Pendapat senada itu juga ikut diamini Ketua Dekranasda Provinsi Jateng Siti Atikoh Ganjar Pranowo. Siti hadir pada hari pertama pergelaran SFT 2022, Kamis (4/8/2022). Pada hari kedua penyelenggaraan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah juga hadir dan turut meresmikan SFT 2022.
Sejumlah desainer senior ternama asal Provinsi Jateng, khususnya Semarang, bahkan sudah sejak lama dikenal lewat karya-karya rancangan kaya wastra dan menerapkan konsep mode berkelanjutan. Hal sama dilakukan sejumlah desainer muda asal beberapa sekolah mode di Provinsi Jateng, yang tampil pada parade mode hari pertama.
Salah satunya beberapa desainer asal Program Studi Tata Busana Universitas Negeri Semarang, di bawah bendera Sekar Ayu, yang menurunkan dua tema rancangan dengan teknik pewarnaan ramah lingkungan.
Rancangan pertama koleksi busana siap pakai mereka menggunakan teknik pewarnaan kain Shibori sementara di koleksi kedua dipakai teknik pewarnaan ecoprint natural.
Selain itu, peserta asal SMKN 1 Tengaran, Oxidane b0s by XSATA juga menggarap koleksi rancangan busana mereka berbahan kain perca. Menurut perwakilannya, Akila Permataputri, mereka sengaja memanfaatkan kain-kain sisa yang ada untuk dijadikan busana nol sampah.
Hal sama juga dilakukan salah satu desainer senior asal Kota Semarang, Elkana Gunawan Tan, yang mengaku mulai serius menggarap desain busana berbahan kain perca saat pandemi melanda Tanah Air. Awalnya dia coba menggarap sisa-sisa bahan kain yang ada menjadi masker, yang sempat langka, lalu menjadi totebag, outer, dan vest.
Tak disangka produk yang tadinya hanya menjadi semacam ”sampingan” itu justru berkembang menjadi lini dan brand sendiri. Produk olahan kain percanya bahkan dibawa ke Eropa sebagai cendera mata dan bisa mendatangkan minat konsumen tersendiri, yang bahkan punya kemampuan ekonomi dan daya beli jauh lebih mapan dibandingkan konsumen dari lini utamanya.
Sekarang sudah jadi lini dan brand kedua yang diberi nama Runtahstyle. Runtah artinya sampah dalam bahasa Banyumasan. ”Lucunya konsumen (lini) baruku bilang aku buka harga terlalu murah. Ternyata costumer-ku yang alirannya ke kain perca ini golongannya beda dengan costumer (lini) sebelumnya dengan kemampuannya (daya beli) lebih tinggi lagi,” ujarnya.
Salah satu ciri khas utama Elkana lainnya adalah penggunaan kain-kain wastra Nusantara, terutama batik jenis tulis maupun cap, atau tenun dari alat petenun nonmesin. Perpaduan kain wastra dan perca tersebut tampak dalam sejumlah karya busana, yang dia tampilkan di parade busana hari pertama.
Mengambil tema ”Upheksa”, dalam bahasa Sansekerta berarti keseimbangan dan ketenangan pikiran, Elkana menampilkan sembilan koleksi baju dan kain sarung padu padan rancangannya. Semua koleksi busana yang ditampilkan kali ini terdiri dari potongan perca kain etnik tenun Troso dan lurik Tlingsing.
Sisa-sisa bahan kain itu diolah menjadi patchwork untuk material pembuat busana. Patchwork sendiri adalah seni menyusun dan menggabungkan potongan perca, yang memiliki motif dan warna berbeda, untuk dijadikan bentuk baru. Rangkaian busana unisex dominan warna coklat itu hadir dalam bentuk kimono outer, kemeja panjang, long coat.
”Busana ini menghadirkan total look unik, antiribet, serta nyaman dipakai saat dipadukan dengan sarung modifikasi. Sarung is my new style,” ujar Elkana.
Harus cermat
Tantangan serta kerumitan memadumadankan bahan perca juga dibenarkan Widya Andhika, desainer asal Semarang di bawah bendera produk ritel Dhievine. Menurut dia, upaya memadupadankan dan menggabungkan bahan kain perca yang ada menjadi karya baru sangatlah tricky, apalagi jika menggunakan bahan antarwastra.
Jika tak hati-hati dan kurang cermat hasilnya, justru bakal jadi buruk dan terlihat murahan. Apalagi jika hasil patchwork-nya tidak rapi ditambah antarwarnanya juga tidak ”nyambung”. Pemadupadanan juga membutuhkan waktu lama lantaran prinsip kehati-hatian tadi.
”Kalau enggak nyambung hasilnya jadi bubar. Itu benar-benar enggak mudah, apalagi terkait warna. Namun kalau bagus, peluangnya juga sangat banyak. Kalau berhasil dipadupadankan justru hasilnya jadi terlihat fresh,” ujar perancang yang berspesialisasi kebaya kekinian, recycle, upcycle dari barang-barang thrift ini.
Dalam parade mode di hari kedua Widya menampilkan sejumlah rancangan, yang terinspirasi sosok imajiner, Arkadewi. Sosok perempuan muda urban, mandiri, cerdas, yang mencintai wastra tradisional Indonesia, sekaligus peduli pada konsep mode berkesinambungan.
Baca juga:Berkelana Melewati Waktu
Oleh Widya sosok itu diterjemahkan dalam rupa desain busana bergaya romantic feminine dengan sentuhan classic elegant. Widya mendaur ulang beberapa bahan denim jaket dan memberikan napas baru dengan tambahan detail patchwork. Selain itu, dia juga bermain-main dengan rancangan kebaya, rok mini, boyfriend ripped pants, skort berdetail envelope, dropped shoulder blazer, serta dress yang unik serta riang.
”Saya me-recycle produk-produk Dhievine Batik lama kami, seperti dari kain batik lasem, yang belum laku terjual. Semua bahan kami padupadankan dengan kain perca, bordiran, serta denim. Akan ada banyak detail kebaya dan jarik namun mudah dipakai dan ringkas. Saya pakai potongan-potongan batik tulis yang kalau beli utuh harganya sekarang semahal beli emas, ya,” gurau Widya.