Melalui pergelaran busana tahunan bertajuk ”Bedtime Stories”, perancang Didi Budiardjo membawa pada pengembaraan mode melintasi masa dan era berbeda tanpa kehilangan jangkar pada masa kini.
Oleh
DWI AS SETIANINGSIH
·4 menit baca
Melalui pergelaran busana tahunan bertajuk ”Bedtime Stories”, perancang Didi Budiardjo membawa pada pengembaraan mode melintasi masa dan era berbeda tanpa kehilangan jangkar pada masa kini. Sebuah koleksi multidimensi yang memberi beragam tawaran, berangkat dari kesadaran bahwa seorang perancang bukanlah seorang diktator.
Tidur, dalam kacamata Didi Budiardjo, adalah perihal yang amat kompleks dalam daur hidup manusia. Sepertiga hidup manusia konon dihabiskan untuk tidur. Begitu pula dengan masa menjelang tidur. Ada kalanya orang tak bisa begitu saja memejamkan mata atau bahkan terserang insomnia.
Itulah ”Bedtime Stories” (cerita-cerita menjelang tidur) yang menjadi tajuk pergelaran busana tahunan Didi Budiardjo yang berlangsung pada Rabu (20/7/2022) di Grand Ballroom Hotel Mulia, Jakarta. Dalam koleksi ”Bedtime Stories”, Didi menghadirkan 55 rancangan busana yang terdiri dari busana sehari-hari (day wear), busana malam (evening dress), dan gaun koktail (cocktail dress).
”Koleksi ’Bedtime Stories’ saya persiapkan menjelang pandemi Covid-19. Waktu itu belum pandemi malahan. Dalam benak saya adalah bagaimana ketika orang akan tidur butuh satu cerita. Dan, yang penting bukan tidurnya, tetapi bagaimana kita bangun dari tidur itu mendapatkan sesuatu yang lebih baik,” kata Didi.
Ada gaun sifonbermotif bunga-bunga yang ringan melayang, setelan piyama sutra motif bunga-bunga yang klasik, hingga setelan dengan jaket-jaket panjang yang penuh aksen. Ada pula gaun-gaun bermaterial jacquard yang simpel, jumpsuit berumbai nan glamor, gaun-gaun bervolume yang mewah, serta gaun-gaun feminin yang menonjolkan detail-detail ornamen, seperti manik-manik, diamante, dan renda guipure.
Jika disimak, semuanya menggambarkan keragaman gaya bak penjelajahan mode dari masa dan era yang berbeda. Rasa lampau dan klasik berkelindan dengan rasa kekinian nan modern, diikat dalam nuansa glamor dan romantis yang menjadi karakter rancangan-rancangan Didi sejak dulu.
”Berbagai gaya busana ini, yang ingin saya garis bawahi adalah setelah pandemi ini saya sadar bahwa sebagai desainer, kita tidak bisa terlalu memaksakan kehendak. Fashion designer is not dictator, jadi saya mengusulkan beberapa tawaran dan itu jawabannya terserah pilihan konsumen. Saya ingin orang melihat ini sebagai koleksi yang lebih multidimensional,” tutur Didi.
Dua sosok yang menjadi inspirasi Didi untuk koleksi ”Bedtime Stories” adalah Holly Golightly, karakter yang diperankan aktris Audrey Hepburn di film Breakfast at Tiffany’s, serta karakter Eloise di film Eloise at The Plaza. Selain sebagai seorang aktris yang popular di era 1950-an, Hepburn juga dikenal sebagai ikon mode dengan gayanya yang klasik dan chic. Breakfast at Tiffany’s menjadi salah satu filmnya yang terkenal.
”Holly itu karakter wanita yang awalnya tidak mengetahui siapa dirinya hingga dia menemukan jati dirinya. Kalau Elois ini lucu sekali. Ada dalam satu adegan Elois digambarkan berlari-lari sepanjang lorong pakai seprei. Makanya ada gaun-gaun panjang,” kata Didi.
Kain lama
Selain menggunakan material kain yang biasa digunakan dalam rancangan-rancangannya, salah satu yang pantas dicatat adalah untuk koleksinya kali ini Didi menggunakan kain-kain lama (dead stock fabrics) yang sudah tidak dipakai. ”Ada beberapa yang dari dead stock fabric. Jadi, dari bahan-bahan yang tidak terjual selama beberapa dekade, saya mencoba mempergunakannya kali ini. Seperti yang saya katakan, saya ingin berkelana melewati waktu, jadi itu yang ingin saya kemukakan,” ujar Didi.
Menurut Didi, kain-kain lama memiliki keindahan tersendiri. Didi selalu tertarik mengolahnya. Sejak dulu, sesuatu yang tidak diinginkan orang lain justru selalu menarik perhatian Didi.
”Dulu ketika pergi ke pasar mencari wastra sekitar tahun 1999 untuk membuat koleksi Bali, saya justru memilih kain yang tidak laku, yang paling bawah. Sampai penjualnya bilang buat apa, itu kain enggak laku. Tetapi, buat saya, itu sesuatu yang menarik,” ujar Didi.
Di sisi lain, Didi berpendapat kualitas kain-kain produksi perusahaan kain lama sangat baik, bahkan tidak bisa lagi dikerjakan oleh pabrik-pabrik kain yang ada saat ini. ”Kalau dibuat ulang, harganya akan terlalu mahal,” katanya.
Didi mendapatkan kain-kain lama tersebut dari beberapa pabrik kain yang ada di Italia dan Perancis yang saat ini sudah tutup melalui berbagai referensi. ”Saya cari sendiri. Ada yang sudah dibeli beberapa tahun lalu. Tetapi, ada juga yang saya beli merupakan koleksi lama,” kata Didi.
Beberapa di antaranya kain sutra motif bunga-bunga yang diproduksi tahun 1980-an dan digunakan oleh beberapa desainer dunia yang saat ini telah wafat. Ada juga sifon yang disulam, lalu juga jacquard, dan sulaman-sulaman tangan dari India yang diproduksi tahun 1960-1970-an. Setidaknya, 40 persen dari koleksi ”Bedtime Stories” menggunakan kain-kain lama tersebut.
Satu-satunya kesulitan dalam mengolah kain-kain lama tersebut, Didi harus menguji terlebih dahulu apakah kain tersebut layak pakai dan tidak rapuh saat dikenakan sebagai material busana. Selebihnya tidak ada perlakuan khusus.
Didi berharap, melalui penggunaan kain-kain lama tersebut, dapat menyadarkan bahwa keberlanjutan (sustainability) merupakan isu penting bagi dunia mode. Tidak bisa dimungkiri, industri mode adalah penyumbang polusi terbesar nomor dua di dunia.
”Jadi saya tahu, ketika menggunakan dead stock fabric itu bisa mengurangi emisi karbon,” kata Didi. Melalui penjelajahan mode melewati masa dan era, ”Bedtime Stories” adalah potret kreativitas tanpa batas di tengah pandemi Covid-19 sekaligus wujud kepedulian pada masa depan dunia mode yang lebih baik.