Memakai lungsuran baju dari ibu atau kakak seolah ketinggalan zaman. Padahal, mode selalu berputar. Tren busana akan kembali lagi. Daripada terus membeli baju baru, mengapa tidak memakai lungsuran?
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO, WISNU DEWABRATA, RIANA A IBRAHIM
·6 menit baca
Memakai lungsuran baju dari ibu atau kakak adalah sikap modern. Sebab, mode selalu berputar. Tren lama menjadi baru. Daripada terus membeli baju baru, ada baiknya memakai lungsuran. Selain ramah lingkungan, juga efektif memperpanjang kenangan.
Aktivis lingkungan Nadine Chandrawinata punya kebiasaan memakai lungsuran. Hal yang sama dilakukan mamanya sejak lama. Nadine selalu menyimpan pakaian dan aksesori yang sudah tidak ia pakai untuk dilungsurkan kepada anak-anaknya. Anak pertama Nadine dan Dimas Anggara, Nadi Djiwa Anggara (4 bulan), kini mewarisi pakaian, sepatu, juga mainan bayi yang dulu dipakai Nadine.
Salah satunya adalah gaun yang Nadine kenakan saat dibaptis di usia balita. Hampir 40 tahun kemudian, gaun bayi itu dikenakan Djiwa saat dibaptis. Di atas gaun tertulis tanggal pembaptisan keduanya dalam bentuk bordiran. Nadine dibaptis 26 Agustus 1984, sementara Djiwa tanggal 21 Mei 2022.
Saat menikah dengan Dimas, Nadine mengenakan gaun pengantin milik mamanya di acara pesta pernikahan. Menurut Nadine, gaun pengantin itu memang sudah lama disimpan oleh ibunya, Elfriede Fortmann, dengan sangat baik.
”Mamaku itu benar-benar goodkeeper. Pakaian-pakaian tertentu disimpannya dengan baik. Beberapa dirombak sebelum dilungsurkan. Di-upcycle,” ujar Nadine, Rabu (29/6/2022).
Menurut Nadine, mamanya terbilang sangat hati-hati menyimpan barang-barang lungsuran itu. Beberapa pakaian, seperti gaun pengantin sang mama, disimpan dengan memasukkannya ke dalam kemasan kedap udara. Barang lainnya disimpan di dalam lemari yang kelembaban udaranya dijaga. Sesekali barang-barang itu diangin-anginkan sekaligus diperiksa agar tidak rusak akibat kelembaban udara atau jamur.
Selain gaun pernikahan, Nadine juga mengenakan baju maternity saat mengandung Djiwa. ”Sekarang ini giliran Djiwa yang juga memakai baju-baju, sepatu, dan mainan bayi dari lungsuranku.”
Gunakan ulang
Kebiasaan sang mama menyimpan dan meng-upcycle barang mode lama sesuai dengan prinsip 3R, yakni reuse (menggunakan kembali barang lama), reduce (membatasi pembuangan barang lama), dan recyle (mendaur ulang barang lama agar bisa dipakai lagi). Sekarang ditambah dengan upcycle, memproses menjadi barang baru yang lebih berkualitas dan bernilai seni. Prinsip ini banyak dijalankan oleh warga urban yang sadar untuk membatasi konsumsi barang mode demi mengurangi sampah tekstil yang berpotensi mencemari lingkungan dalam jangka panjang.
Nadine menceritakan, sedari kecil ia telah diajarkan ibunya menjahit dan memadupadankan pakaian, jaket, atau celana lama dengan tambahan hiasan. Hiasan-hiasan tersebut bisa juga diambil dari pakaian atau aksesori lama yang sudah tidak terpakai.
Ia mencontohkan, salah satu jaket berbahan denim miliknya ia tambahi beberapa aksesori diambil dari kaus-kaus lama. Gambar-gambar lucu dan menarik dari kaus-kaus bekas itu kemudian dijahitkan di atas jaket denim tadi sehingga menjadi jaket yang seolah baru.
Sejak lama Nadine memang menyukai barang-barang lama alias vintage yang, menurut dia, punya nilai sentimental dan sejarah tersendiri.
Lungsuran bertingkat
Penyuka lungsuran tak sebatas orang dewasa. Grace Abelizy Nivaro Gea (16), warga Yogyakarta, juga gemar memakai baju lungsuran dari budenya, Nirmala Yanuartini (56). Apalagi mode yang selalu kembali berulang memberi kesempatan ia bergaya dengan baju lungsuran.
Beberapa tahun ini, kemeja hingga gaun santai dengan motif beraneka warna digandrungi kembali. Berbagai jenama ternama pun berlomba mengeluarkan ragam pilihan motif dan paduan warna yang eksentrik. Beruntung bagi Grace karena ia tak perlu repot membeli kemeja seperti itu lagi. Ia menemukan kemeja lungsuran keluaran Contempo milik budenya, Nirmala, yang sempat dilungsurkan kepada ibu Grace. Kemeja itu lalu dilungsurkan ibunya kepada Grace.
Kemeja lungsuran tersebut lantas dipakai Grace untuk sesi pemotretan buku tahunan SMP, dan ia tampak keren. ”Sekarang jadi buat aku. Dulu (kemeja itu) dikasih ke mama. Enggak cuma ini, masih ada banyak lagi,” ungkap Grace.
Nirmala mengatakan, kemeja yang kini dipakai keponakannya umurnya sekitar 35 tahun. ”Kemeja itu saya pakai waktu saya umur 20-an. Itu saya berikan ke mamanya Grace karena kebetulan, kan, beda usia kami sekitar 9 tahun. Mamanya Grace masih SMA waktu itu. Anak muda, kan, suka ganti-ganti baju, daripada beli baru lebih baik pakai baju lama saya yang masih saya simpan,” tutur Mala, panggilan akrab Nirmala.
Adik Nirmala atau ibu Grace ternyata piawai memodifikasi pakaian lama. Ini menjadi berkah tersendiri. ”Mamanya Grace pintar utak-atik. Baju lama, ada sobek sedikit, bisa dia permak lagi atau modelnya dibikin jadi lebih menarik,” ujar Mala.
Grace seperti menemukan harta karun dari kebiasaan bude dan ibunya itu. ”Mama dan bude itu sering upcycle baju atau celana jins. Kalau aku, padu padanin (baju lungsuran) dengan baju yang lebih modern,” kata Grace.
Bagi Mala, pakaian yang bisa diwariskan ini seperti merawat ingatan. Dia pun menerima warisan baju dari ibu mertuanya. Pakaian suaminya pun diturunkan ke putra tunggalnya. ”Tiap baju itu punya cerita. Untuk yang saya suka dan penuh cerita, saya suka menyimpannya, karena seperti menyimpan memori,” ucapnya.
Kursus "upcycle"
Untuk memberi nilai tambah pada pakaian lama dan memperpanjang usia pakaian, kini bermunculan banyak tempat kursus upcycle. Penyelenggara kursus antara lain Setali Indonesia dan Afif Mustopha, pemilik merek Control New yang pegiat upcycle.
Intan Anggita Pratiwie, Co-Founder Setali Indonesia, menjelaskan, pihaknya membuka lokakarya upcycle yang dapat menghasilkan pakaian, tas, hingga perhiasan. Sementara itu, Afif mengajarkan teknik menyulam dengan tangan, upcycle barang lama dan perca.
Ia bekerja sama dengan pihak lain seperti pegiat lingkungan di Bogor dan kawannya yang mengajak warga gereja Katolik di Kota Tangerang untuk mengikuti kelas upcycle yang diampu Afif. Setiap kali membuka kursus, pesertanya lebih dari 50 orang sehingga kelas harus diadakan dua kali. ”Setidaknya aku bisa menyumbangkan sedikit kemampuan untuk menyelamatkan bumi lewat upcycle,” kata Afif.
Kelas yang diadakan Setali juga cukup diminati, tetapi Intan membatasi peserta. Untuk kelas kecil, maksimal enam peserta. Kelas besar, bisa 15 orang. Biayanya beragam, bisa Rp 250.000-Rp 270.000. Salah satu pengajarnya, dosen Binus University, Indita Karina, yang mengajar mata kuliah mode berkelanjutan.
Berbagai macam tema dihadirkan, mulai merangkai bunga, upcycled shirt, membuat totebag, perhiasan, celemek, hingga lokakarya untuk ibu dan anak. Durasi pelatihannya sekitar 2,5 jam. ”Harapannya peserta bisa melakukan pola hidup berpakaian yang lebih bijak dan paham dasar sustainable fashion,” jelas Intan.
Salah satu peserta kursus, seorang penyiar radio, Feli Sumayku (32). Ketertarikan Feli ikut kursus itu sederhana, agar lemarinya tidak lagi penuh. ”Enggak pengin menuh-menuhin lemari. Kalau upcycle, kan, bajunya muter lagi, tapi beda rasanya. Bisa bantu penjahit rumahan juga. Walau belum bisa berkomitmen seutuhnya, paling enggak sudah coba memulai,” katanya.
Selain mendapat sarana berkreasi sesuai keinginan, dengan tetap mempertahankan baju lamanya, memori yang tersimpan pada pakaian lama juga lekat di benak. Lebih penting lagi, sampah tekstil bisa dikurangi. (SIE)