Barang Buangan Jadi Menawan
Gerakan mendayagunakan barang bekas dan kain perca yang biasa jadi barang buangan menjadi barang baru nan menawan makin marak. Individu dan komunitas berupaya menyehatkan bumi dengan menekan pembuangan sampah tekstil.
Gerakan menyulap barang bekas dan kain perca menjadi barang baru nan menawan (upcycle) belakangan kian marak. Lewat gerakan ini, para pegiatnya ingin menyehatkan Bumi dengan cara mengurangi sampah tekstil.
Tiga pegiat upcycle, Nagawati Surya (58), Afif Musthapa (28), dan Intan Anggita Pratiwie, sama-sama terantuk-antuk saat terjun ke dunia upcycle. Akan tetapi, saat ini kengototan mereka mulai membuka kesadaran orang untuk melakukan hal sama: memperpanjang usia pakaian dengan bermacam cara.
Nagawati, yang akrab disapa Hana (58), mengolah limbah perca kain, spanduk bekas, dan karung goni bekas kopi. Usahanya yang bernama Threadapeutic dimulai sekitar delapan tahun lalu tanpa sengaja. Awalnya, ia ditawari proyek membuat cendera mata untuk Indonesia Fashion Week (IFW) 2014 oleh Direktur IFW 2014 Dina Midiani, sepupu Hana. Hanya, bahan yang digunakan adalah spanduk bekas dan perca kain.
”Cuma boleh pakai (bahan) banner dan perca. Di situ saya coba memadukan kedua barang itu untuk menghasilkan produk yang kuat,” tutur Hana di kawasan Pulomas, Jakarta Timur, Rabu (29/6/2022).
Pagi itu, Hana dan timnya berjumlah delapan orang bahu-membahu mengerjakan produksi kain dari hasil olahan perca-perca sumbangan yang menyesaki gudang bengkel kerjanya. Ada yang menjahit kain dengan teknik jelujur, membuat alas peralatan makan (coaster), menyikat kain sehingga tampak lebih berbulu dan bertekstur dengan teknik faux chenille.
Hana bisa dikata nekat karena ia tak punya latar belakang desain. Kemampuan menjahit pun sebatas menjahit dengan tangan. ”Waktu itu aku masih baru mengenal apa itu sustainability, tapi masih ngawang,” ujarnya.
Ia mencoba mengolah material limbah. Dia banyak dibantu para penjahit yang awalnya bekerja dengan Dina serta keponakannya. ”Kita gali semuanya sendiri sampai tali pun kita bikin sendiri dari gabungan perca dan spanduk. Benang juga sisa-sisa garmen yang kami beli. Semuanya trial and error, yang penting bisa jahit. Tekniknya ditemukan sendiri sambil jalan,” ujar Dina.
Tak dinyana, produk yang dihasilkan berupa tas dan dompet terjual dengan harga ratusan ribu rupiah. Hana pun jadi ketagihan. Ada keseruan saat mengolah material limbah. Terlebih, Hana merasa apa yang ia lakukan bisa berkontribusi dalam mengurangi limbah tekstil. Ia terus menggali cara untuk mengolah bahan perca menjadi barang yang keren.
Di sisi lain, dia melihat pasar untuk produk olahan limbah ternyata ada meski memang tidak terlalu besar. Setidaknya ada masa depan di sana.
Pada tahun pertama Hana tekor terus karena pasar yang masih kecil. Tetapi, ia tidak mundur. Dia menantang dirinya untuk terus maju, terus belajar, dan menemukan teknik dan cara-cara baru dalam mengelola limbah. Dalam perjalanannya, ia jadi makin paham dengan beragam teknik manipulasi kain. Salah satu yang kemudian dia terapkan adalah teknik faux chenille.
Selain memproduksi tas dan dompet, coaster, dan sarung bantal, tahun 2019 Hana juga melebarkan diversifikasi produknya menjadi tapestry. Untuk produk-produknya, Hana memberikan jaminan apabila terjadi kerusakan. Harapannya, produk yang dibeli bisa dipakai selama mungkin sesuai makna keberlanjutan atau sustainability.
Selama pandemi, Hana dan timnya juga menggarap proyek panel dinding yang menantang, tetapi secara ekonomis harga jualnya juga tinggi. Bisa sampai ratusan juta rupiah.
Jins bolong
Afif Mustapha (28) sejak empat tahun lalu mengolah kain perca dan sisa potongan baju. Pemilik merek Control New ini membuat topi, tas, dan jaket dari limbah tekstil itu.
”Awalnya waktu kuliah, aku lihat kawan mahasiswa pakai jins dengan tambalan di dengkul. Tambalan dari potongan kain perca. Ternyata jinsnya memang bolong, tapi bagus, ya,” tutur alumnus Program Studi Seni Rupa Murni Universitas Brawijaya, Malang, itu, Rabu (29/6/2022), di rumahnya di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Semula ia mengalami kesulitan, bahkan kegagalan memadupadankan potongan kain menjadi barang berseni yang indah dipandang mata. Afif bersama penjahit sepakat membongkar jahitan, mengulang membuat yang baru.
Kesalahan demi kesalahan membuat dirinya terus berkembang. Jika pada awalnya ia membuat lukisan di jaket bekas pakai, kini pembuatan karya seperti itu hanya untuk memenuhi pesanan. Kain perca, baju bekas ia jadikan tas laptop, tote bag, tas selempang, tas kerja, topi dengan padu padan potongan dan warna serta memberi aksen khas Afif dari hasil jahitan tangan dengan teknik sashiko asal Jepang.
Karyanya menghiasi kreasi upcycle. ”Sulaman aku padukan dengan bentuk dan warna bahan. Hasil kuliah sangat membantu pekerjaanku ini,” ujar Afif yang mulai mengembangkan teknik sikat dan gunting pada karya-karyanya.
Selain membuat desain untuk barang upcycle, Afif juga menerima pesanan pembuatan aneka barang dari kain perca dan baju bekas. Salah satu pelanggannya, seorang dokter kandungan, meminta ia menghiasi kausnya dengan kain perca. Afif menuangkan kreasinya sehingga tampilan kaus itu semakin apik.
Perjalanan Intan Anggita Pratiwie, Co-Founder Setali Indonesia, penuh liku mengingat pengetahuan terkait mode berkelanjutan yang masih terbatas di Indonesia. Yayasan itu semula mengumpulkan dan berdonasi pakaian dan barang bekas kepada masyarakat.
Walakin, banyak baju yang disumbangkan nyatanya sebagian sudah tidak layak pakai sehingga menumpuk di gudang. Gagasan melakukan daur ulang kain sisa pakaian pun tebersit. Bekerja sama dengan penyanyi Andien, aksi daur ulang ini terus berjalan. Pada 2019, Salur Indonesia diperkenalkan menjadi Setali Indonesia.
”Metodenya upcycle dengan menjadikannya sesuatu yang lebih baik dan tepat guna. Ada juga metode downcycle, dipotong-potong menjadi perca kecil yang nanti bisa diaplikasikan lagi,” jelas Intan.
Lewat cara tersebut Intan berharap dapat berkontribusi mengurangi limbah tekstil yang menyesaki dunia, termasuk Indonesia. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI 2021 menunjukkan, sampah tekstil di Indonesia mencapai 1,7 juta ton per tahun dari 292 kabupaten.
Setali melalui program dan aksi yang dijalankan bersama lebih dari 30 kolaborator setidaknya mampu mengumpulkan dan mendaur ulang lebih dari 10 ton sampah tekstil. Hasil olahan Setali yang berkolaborasi dengan banyak pihak mewujud menjadi baju, jaket, sepatu, kaus kaki, celana, totebag, ragam aksesori seperti kalung gelang, hingga karpet dan hiasan dinding. Karya dari pakaian bekas bertajuk ”Barang Lama Bersemi Kembali” dipamerkan di Ashta District 8, Jakarta, 28 Mei-26 Juni 2022.
”Kami tidak berjualan atau menjual hasil itu. Lebih sering membuat produk internal dengan kolaborator yang tertarik ikut program zero waste. Ada memang brand Signfromtheearth yang dikerjakan juga dan sewaktu-waktu berjualan saat akan ada misi, seperti saat Jeda Wastra,” tutur Intan.
Uniqlo, Modena, hingga Electrolux adalah beberapa nama besar yang pernah berkolaborasi dengan Setali. Kolaborasi juga menjamah berbagai kalangan. Salah satunya memberdayakan para penjahit keliling untuk ikut dalam programnya.
”Peminatnya makin banyak memang. Tidak hanya anak muda. Tetapi, semua ini tidak akan pernah selesai dan akan terus berproses,” ujarnya.
Mengenai upaya upcycle, National Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma menyatakan IFC sudah menggaungkannya sejak tahun 2015 ke seluruh anggota dan komunitas se-Indonesia. IFC mengadakan sosialisasi, kursus untuk mengurasi konsumsi bahan berlebihan atau dengan cara membuat produk multifungsi atau unisex. Harapannya, desainer bisa menjadi lebih mudah menerapkannya pada desain mereka.
”Dampak negatif limbah fashion yang begitu besar menjadikan sustainability sebagai keharusan,” ujar Ali.
Sebagai desainer, ia sadar memang perannya kecil, tetapi pihaknya menjadi inspirasi bagi pengusaha besar yang menjalankan produksi jauh lebih besar yang dampaknya akan jauh lebih buruk kalau mereka tidak benar teknis memproduksinya.