Suntikan Energi Seni Kontemporer
Inilah konsistensi 10 perupa perempuan dalam memberikan infus bagi seni rupa kita agar tetap bugar. Konsistensi para perupa berpijak pada persoalan kehidupan dan kemanusiaan.
Sama halnya infus untuk menyuntikkan sesuatu yang dibutuhkan tubuh. Pameran bertajuk ”Infusions into Contemporary Art”, yang menampilkan karya 10 perempuan perupa senior, menyuntikkan energi penting untuk tubuh seni rupa kontemporer kita.
Di situ ada daya cipta sebagai esensi seni, ditunjang metafora sebagai bahasa seni dengan konteks kekinian yang cukup lugas. Ini bisa kita tengok dari karya peserta Bibiana Lee (66), yang diberi judul, ”I Am Not A Virus (Aku Bukan Virus)”.
Bibiana memajang empat samsak tinju. Lapisan karungnya diberi warna kuning. Setiap samsak tertuang huruf-huruf menjadi kata dalam bahasa Inggris yang mengiaskan kata terkait judul, ”Aku Bukan Virus”.
Bibiana membuat personifikasi samsak kuning sebagai orang Asia yang menjadi korban kekerasan rasisme belakangan ini di Eropa, Australia, atau Amerika Serikat (AS). Penyebabnya karena virus Covid-19 diduga berasal dari China (Asia), atau virus itu muncul dari orang Asia sebagai pendatang di Eropa, Australia, atau AS.
”Kebetulan saya memiliki kolega di Inggris yang menjadi korban kekerasan rasisme seperti itu. Ia dipukuli dan harus pulang untuk dirawat, sampai pula harus dioperasi matanya di Singapura,” kata Bibiana, perupa asal Jakarta, Kamis (31/3/2022), di Jakarta.
Karya Bibiana berikutnya, ”The Human Race”, berupa teks digital berjalan. Di situ Bibiana bertanya kepada publik, jika akan dilahirkan, warna kulit apa yang hendak dipilih.
Karya berikutnya berjudul, ”A Nation Divided”. Ini lukisan yang dicetak digital di media aluminium. Bibiana di situ mempersoalkan sejarah kekerasan rasisme terhadap keturunan China sejak peristiwa Geger Pecinan di Batavia pada 1740 hingga pada masa Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) mencalonkan kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2017.
Baca juga: Tarian Warna Lena Guslina
Bibiana adalah salah satu peserta pameran Indonesian Women Artists (IWA) #3 : Infusions Into Contemporary Art di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran berlangsung 29 Maret hingga 24 April 2022.
Pameran ini menampilkan 32 judul karya seni rupa kontemporer dari 10 peserta, meliputi Arahmaiani (62), Bibiana, Dolorosa Sinaga (70), Dyan Anggraini (65), Indah Arsyad (57), Melati Suryodarmo (53), Mella Jaarsma (62), Nunung WS (74), Sri Astari Rasjid (69), dan Titarubi (54).
Para peserta ada di rentang usia 53 sampai 74 tahun. Menurut salah satu kurator pameran ini, Carla Bianpoen, keikutsertaan mereka dinilai dari keaktifan berkesenian setidaknya dalam dua dekade atau 20 tahun.
”Pameran ini menyuntikkan karya para perempuan perupa kita ke dalam sejarah perkembangan seni rupa kontemporer. Karya mereka selama ini sering terlupakan untuk dicatat sejarah,” ujar Carla, di samping dua kurator lainnya, Inda Citraninda Noerhadi dan Citra Smara Dewi.
Pameran ini menyuntikkan karya para perempuan perupa kita ke dalam sejarah perkembangan seni rupa kontemporer. Karya mereka selama ini sering terlupakan untuk dicatat sejarah.
Lingkungan hidup
Indah Arsyad membawa isu lingkungan hidup dengan tampilan video animasi berdurasi 6 menit 43 detik. Karya yang diberi judul ”The Ultimate Breath” itu menyoal suplai oksigen dari fitoplankton di laut yang menyumbang sekitar 70 persen oksigen di bumi ini.
”Saya meriset fitoplankton lewat kerja sama dengan peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional),” ujar Indah, yang mengambil sampel penelitian air laut di pantai Teluk Jakarta, pantai Cirebon, dan di tengah perairan Laut Jawa.
Indah menemukan kesimpulan, pada waktu-waktu tertentu tingkat pencemaran air laut di tiga wilayah tersebut melebihi nilai ambang batas. Pencemaran itu kemudian mematikan fitoplankton dari berbagai jenis yang ada.
Kumpulan fitoplankton yang mati di antaranya ada yang berdampak toksik atau beracun. Indah meneliti pula dengan mikroskop. Ia menengarai adanya paus-paus yang melintasi Laut Jawa, kemudian terdampar, dimungkinkan terpengaruh oleh fitoplankton mati dan toksik itu.
”Dampak berikutnya, dari banyaknya fitoplankton mati, maka ketersediaan oksigen makin berkurang. Ini yang kemudian mengganggu keseimbangan alam,” ujar Indah.
Indah mendapatkan beraneka citra tangkapan preparat fitoplankton yang mikroskopik. Perihal keseimbangan alam pun memantik Indah untuk mengaitkannya dengan mitologi masyarakat Jawa.
Keindahan mikroskopik fitoplankton dipadu mitologi Jawa tentang Batara Surya, Batara Kala, dan sosok-sosok mitologi lainnya menjadi karya video animasi. Video inilah yang dihadirkan sebagai karya seni rupa kontemporer Indah yang berbasis riset ilmiah tentang fitoplankton.
Melalui karya ini, (saya) sesungguhnya ingin mengingatkan kita akan pencemaran air laut yang kita lakukan terus- menerus.
”Melalui karya ini, (saya) sesungguhnya ingin mengingatkan kita akan pencemaran air laut yang kita lakukan terus- menerus. Pada masa-masa sekarang pun sudah menimbulkan gangguan keseimbangan alam,” ujar Indah.
Dengan cara berbeda, Arahmaiani mengembangkan seni berbasis komunitas yang diwujudkan sebagai karya ”Installation Flag Project (Proyek Bendera)”. Arahmaiani lebih banyak menyoal isu lingkungan hidup berbasis masyarakat lokal. Proyek Bendera menjadi simbolisasinya.
”Sudah ada empat versi bendera yang dibuat, yaitu versi Global, Arab Pegon, Nusantara, dan Eurasia. Ini dikerjakan bersama berbagai komunitas di Indonesia dan di luar negeri,” kata Arahmaini.
Keberagaman tradisi juga menjadi titik tolak karya Sri Astari Rasjid. Ia menampilkan karya yang diberi judul ”9 Pearls from Heaven (9 Mutiara dari Surga)”. Gagasan itu diwujudkan dalam bentuk sembilan boneka golek setinggi 2 meter dengan atribut kain dari beberapa daerah di Nusantara.
Peserta berikutnya, perupa Titarubi, mengulik persoalan sejarah. Ia membuat instalasi beberapa kapal yang terbuat dari kayu. Di atas kapal-kapal itu, Titarubi meletakkan jubah-jubah unik keemasan.
Karya itu bermula sejak 2011 Titarubi mencari bentuk kapal Aceh pada abad ke-16. Pada 2012, ia melanjutkan perjalanan ke Ternate-Tidore. Di Ternate-Tidore itulah Titarubi menemukan pohon-pohon pala yang mencengkeram tanah begitu kokoh.
Dari sinilah muasal karya Titarubi yang kemudian diberi judul ”History Repeats Itself”. Ia mengumpulkan sebanyak 12.000 butir pala. Kebetulan pala itu diambil dari perkebunan di Maluku dan Sulawesi Utara. Biji pala itu dikeringkan dan dilapisi tembaga, nikel, dan tembaga lagi. Kemudian setiap biji disepuh dengan lapisan emas 24 karat dan 18 karat.
Baca juga: Merawat dan Menghidupi Imajinasi
Biji-biji pala bersepuh emas itu kemudian dirangkai membentuk jubah. Dari sinilah Titarubi mengunggah kekayaan Nusantara pada masa lalu. Kenyataan ini melahirkan pertanyaan, akankah kekayaan sebagai bagian dari sejarah Nusantara itu akan berulang?
Peserta-peserta berikutnya dengan cara masing-masing menuangkan gagasan ke dalam wujud karya yang tidak kalah menarik. Tidak mudah untuk menerjemahkan kedalaman makna setiap karya. Untuk menikmati kedalamannya, publik mungkin harus berbekal pengetahuan proses karya setiap perupa.
Visi kemanusiaan
Kurator Carla Bianpoen mengingatkan, ada konsistensi perupa yang mudah dipahami dalam mewujudkan gagasan ke dalam karya masing-masing. Pada dasarnya, konsistensi para perupa berpijak pada persoalan kehidupan dan kemanusiaan.
”Bagi mereka, berkarya tidak hanya berdasar pada estetika atau 'flash of the moment’ sebagai kilasan peristiwa. Mereka merujuk jauh ke dalam makna kehidupan dan kemanusiaan,” ujar Carla.
Visi kemanusiaan menjadi esensial dan futuristik. Carla menyebut contoh, Arahmaiani pernah menciptakan karya lukisan Lingga Yoni pada 1994 untuk memperjuangkan nilai kesetaraan. Karya ini sebelumnya dicibir banyak kalangan. Sekarang, karya ini mulai banyak didengar gagasan kesetaraannya.
Demikian juga Proyek Bendera yang ia bangun dengan komunitas sejak 2006 sampai sekarang. Aktivitas di balik simbolisasi bendera itu ingin mewujudkan dialog demi meraih solusi masalah lokal ataupun internasional.
”Kini, proyek serupa muncul di Proyek Bendera-nya Rockefeller Foundation, sebuah yayasan berbasis di New York, AS, yang banyak peduli dengan memberi bantuan kemanusiaan,” kata Carla.
Pameran para perempuan perupa senior, yang menurut Carla jarang tercatat sejarah, ini, benar-benar menjadi infus atau suntikan semangat. Seni rupa kontemporer di tangan perempuan perupa Indonesia semestinya bisa bergema.