Kebaya nan Tak Lekang Oleh Zaman
Kebaya bertransformasi dari masa ke masa, tetapi tidak terlalu banyak perubahan. Ini menandakan kebaya, secara estetika, selalu relevan. Para desainer mengeksplorasi kebaya, memodifikasi dari segi aplikasi dan santai.
Kebaya bukan semata busana. Ia menjadi istimewa karena memendarkan identitas keindonesiaan. Berbagai versi asal-usulnya pun mewakili perjalanan kisah tentang indahnya bauran kemajemukan negeri ini.
Kebaya coklat muda bermotif bunga-bunga merah biru itu langsung menarik perhatian. Paduannya jarik atau kain batik sogan. Siapa pun yang melihat, kurang lebih akan memiliki impresi yang sama: sosok nenek kita.
Kebaya model Kartini tersebut merupakan koleksi desainer Didiet Maulana yang dipamerkan di House of Hadiprana dalam rangkaian Romansa Kisah Kebaya pada 22 April-23 Mei 2021. ”Seluruh tampilan kebaya ini punya tempat istimewa di hati saya. Semua elemennya punya cerita yang mengingatkan saya kepada Eyang Uti,” tutur Didiet, saat pembukaan pameran, Kamis (22/4/2021).
Nenek Didiet memiliki kebaya itu sejak tahun 1930-an. Bahannya sifon, halus dan ringan sehingga nyaman dikenakan.
Sejumlah model kebaya juga dipamerkan, seperti kebaya beludru merak, yakni kebaya panjang berbahan beludru dengan motif payet gim berbentuk merak. Model kebaya ini sering kita lihat dalam upacara pernikahan Jawa.
Model lain adalah kebaya kutu baru klasik warna merah muda berbahan lace Perancis berlengan 7/8. Ada pula kebaya kutu baru modern warna putih dari lace dipadukan bordir halus serta hiasan kristal dan manik-manik yang anggun.
Belum lama ini Didiet merilis buku berjudul Kisah Kebaya yang memuat riset dan pengalaman seputar kebaya. Dalam buku ini, dia membahas seluk-beluk kebaya, seperti langgam, filosofi, pakem, hingga teknik mencipta kebaya, termasuk cara pemakaian dan padu padan kebaya.
”Kita melihat kebaya bertransformasi dari masa ke masa, tetapi tidak terlalu banyak perubahan. Ini menandakan kebaya, secara estetika, selalu relevan,” ujar Didiet.
Dia menyebutkan, kebaya adalah busana berbentuk dasar blus dengan bukaan kerah depan ditutup kancing, bros, atau peniti. Panjang lengan dan pakaian bervariasi. Kebaya yang kita kenal sekarang pada dasarnya tidak berubah dari kebaya di masa lalu. Modifikasi terjadi pada panjang pendek skala, juga material kebaya. Bentuknya dari dulu tetap seperti itu.
Didiet membaginya menjadi empat bentuk, yakni kebaya panjang dengan panjang sampai dekat lutut, kebaya pendek yang panjangnya sampai pinggul, kebaya Kartini yang kedua sisi kerahnya bertemu dari dada ke pinggul, dan kutu baru yang kerahnya dijembatani panel persegi panjang dari dada hingga pinggang atas.
Adapun Biranul Anas dalam Seri Buku ke-10: Indonesia Indah ”Busana Tradisional” (1998) membaginya dalam tiga langgam, yakni Jawa, peranakan, dan Eropa. Kebaya Jawa kebanyakan dari katun untuk rakyat biasa dan bahan beludru atau sutra untuk bangsawan.
Kebaya peranakan khas dengan sulaman dan bordir di sepanjang tepi kerah hingga bagian bawah kebaya. Kebaya Eropa menampilkan material yang lebih mewah dengan lace atau renda.
Lambat laun
Bagaimana kebaya ini bisa hadir di Indonesia, banyak versi yang mengisahkannya. Yang paling banyak dikenal adalah versi Denys Lombard yang tertuang dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya 2. Di situ disebutkan, kemunculan kebaya terjadi secara lambat laun sejak abad ke-15 sampai abad ke-16.
Berdasarkan etimologinya, menurut Lombard, kebaya mengacu ke sebelah barat Samudra Hindia. Dalam catatan kaki di buku tersebut, dia memberi keterangan: mengenai kebaya, kamus Hobson-Jobson (pada kata cabaya, cetakan ulang tahun 1969, halaman 137), berpendapat bahwa kebaya berasal dari bahasa Arab kaba, artinya pakaian. Namun, diperkenalkan melalui bahasa Portugis.
Peneliti batik Rens Heringa dalam tulisannya Batik Pasisir as Mestizo Costume (1996) menduga istilah kebaya berhubungan dengan kata cambay. Sebetulnya kata ini lebih merujuk pada nama cita (kain kapas bermotif bunga) yang diimpor dari Pelabuhan Cambay, India. Cambay menjadi sebutan untuk blus longgar bukaan depan yang dipakai perempuan dan laki-laki pada abad ke-15 (Kompas, 22 April 2007).
Menurut dosen Tata Busana di Universitas Pendidikan Indonesia, Suciati, yang disertasinya membahas tentang kebaya, kebaya lahir di Indonesia, khususnya di Jawa pada era Kerajaan Majapahit. Kebaya lalu menyebar ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku. Kebaya juga dipengaruhi beragam budaya, seperti China, Arab, Persia, India (Gujarat), hingga Portugis dan Belanda. Hubungan dagang dengan China sudah terjalin sejak zaman Majapahit pada abad ke-7.
”Hubungan dagang itu memengaruhi penyerapan budaya, termasuk cara berbusana kaum wanita. Kebaya dianggap interpretasi lokal terhadap kimono atau jubah China, yaitu busana sepanjang mata kaki berbukaan depan, berlengan panjang agar longgar, dan memiliki kelepak yang biasa digunakan perempuan China,” kata Suciati.
Referensi lain menyebut kebaya diperkenalkan pada abad ke-12 oleh para pembawa syiar agama Islam. Busana kebaya dan kerudung yang berfungsi sebagai penutup aurat perempuan lantas berkembang. Konon, kebaya berasal dari bahasa Arab habaya atau abaya, yang berarti busana panjang berbelahan depan. ”Penggunaan kemben di Jawa mulai tergeser dan kebaya berfungsi sebagai busana luar,” tambahnya.
Pada setiap era, kebaya merepresentasikan identitas pemakainya, seperti status sosial, tingkat ekonomi, jenis pekerjaan, keturunan. Ini terlihat saat era kerajaan hingga era kolonial. Semakin kemari, kebaya makin melekat dengan citra perempuan Indonesia karena dipakai dalam gaya berbusana tokoh-tokoh nasional dan pejuang perempuan. Semua ibu negara Indonesia dari masa ke masa juga selalu memakai kebaya.
Penetapan kebaya sebagai busana nasional Indonesia diatur antara lain dalam Keppres RI Nomor 18 Tahun 1972 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Busana Nasional dalam Keprotokolan. Secara konvensi, kebaya menjadi lebih populer sebagai busana nasional karena dianggap menampilkan femininitas perempuan Indonesia, seperti berlekuk, pas badan, elegan.
Eksplorasi
Atas dasar inilah banyak kalangan tergerak untuk melestarikan kebaya. Para desainer Tanah Air mengeksplorasi kebaya, memodifikasi dari segi aplikasi dan siluetnya menjadi lebih variatif, bebas, dan santai. Sekadar menyebut ada Iwan Tirta yang memperkenalkan kebaya modifikasi tahun 1980-an, Edward Hutabarat, Ghea Panggabean, Anne Avantie, juga Josephine Komara atau akrab disapa Obin.
Edo, sapaan Edward Hutabarat, mulai eksplorasi kebaya tahun 1992. ”Bayangkan, dari 29 tahun lalu, desain dan tampilan itu sebagian masih saya ulang lagi, tetapi tetap trendi. Artinya, kebaya itu long-lasting,” katanya.
Saat Festival Mode Indonesia tahun 1996, Edo mengejutkan pencinta mode dengan menampilkan kebaya renda dipadu kain songket Jambi. Ketika itu, barang impor mode sedang marak. ”Yang saya pikirkan, bagaimana kebaya bisa berdampingan dengan Dior atau Donna Karan, tetapi tetap punya aura kuat. Salah satu kuncinya adalah simplicity, yang justru membuat kebaya menjadi mode global,” imbuhnya.
Kebaya pun, menurut Edo, jadi naik kelas. Tahun 1997 banyak orang mulai melirik kebaya dan menjadikannya semakin berkibar. Tahun 1999 Edo meluncurkan buku Busana Nasional Indonesia. Berkat karya-karyanya, Edo menerima Satya Lencana Kebudayaan tahun 2004 dari Presiden Megawati Soekarnoputri karena membuat kebaya diminati lagi oleh perempuan Indonesia.
Namun, kini Edo tak lagi mengeksplorasi kebaya. ”Filosofi kebaya itu buat saya anggun, juga sophisticated. Kalau bahasa tubuh, istilahnya ’sumeh’. Nah, sekarang banyak kebaya saya lihat seperti ’terbahak-bahak’. Padahal, sumeh itu yang membuat kebaya mendunia,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Didiet. Sebelum memodifikasi kebaya, sebaiknya kita tahu rancangan asli dan pakemnya sehingga arahnya jelas. ”Ekosistemnya harus dijaga karena kebaya akan hidup di sana dan menjadi relevan. Sama halnya dengan kimono yang tetap lestari karena relevan,” katanya.
Kecintaan serupa pula yang mendasari Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) menggelar Kongres Berkebaya Nasional (KBN) secara virtual pada 5-6 April 2021. Dalam kongres itu, mereka memantapkan langkah untuk mendaftarkan kebaya sebagai warisan tak benda asal Indonesia ke UNESCO dan memperjuangkan lahirnya Hari Berkebaya Nasional.
Kecintaan para anggota PBI terhadap kebaya kental terasa saat perbincangan bersama beberapa anggotanya, yakni Atie Nitiasmoro, Sitawati Ken Utami, dan Lana T Koentjoro. Mereka kompak mengenakan kebaya kutu baru.
”Kami terus mengumpulkan data terkait kebaya, antara lain dengan mengadakan kongres, membuat video dari masa ke masa, merangkul semua komunitas pencinta kebaya,” kata Lana, yang juga Ketua Panitia KBN 2021.
Pendaftaran kebaya ke UNESCO diperkirakan memakan waktu hingga 1,5 tahun. PBI berencana mendaftarkan kebaya kutu baru atau kebaya kartini. Sitawati menyebut kebaya kutu baru lebih mungkin untuk didaftarkan karena sangat khas Indonesia.
Tak hanya soal sejarah dan budaya, pendaftaran kebaya ke UNESCO harus dibarengi syarat kebaya bisa menggerakkan perekonomian masyarakat lokal. Yang paling penting, seperti diutarakan desainer Musa Widyatmodjo, kebaya harus bisa menjadi gaya hidup.
”Jika jadi identitas nasional, harusnya secara otomatis menjadi gaya hidup,” ujarnya.