Mencari Jodoh dalam Aplikasi
Aplikasi kencan memungkinkan orang mendapatkan pasangan. Di sisi lain, tak semua niat baik bisa terpenuhi dari aplikasi ini. Seperti membeli kucing dalam karung, kita tak pernah tahu seperti apa orang yang akan ditemui.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F3b529c39-1203-4731-8e25-a4a6656a1d53_jpg.jpg)
Seseorang menunjukkan aplikasi kencan daring untuk mencari rekan kencan semalam. Foto diambil di Jakarta, Minggu (16/2/2020).
Relasi personal di aplikasi kencan daring sangat dinamis. Pengguna seperti membeli kucing dalam karung saat berinteraksi dengan orang yang dikenal dari aplikasi ini. Apabila beruntung, hubungan bisa berlanjut ke tingkat lebih serius. Sebaliknya, ada pula pengguna yang mendapat teror setelah merasa tidak sreg dengan kenalan di aplikasi ini.
Mawar (27), nama samaran, awalnya memasang aplikasi Bumble untuk membuka kemungkinan kembali menjalin hubungan dengan mantan pacar. Perempuan yang bekerja di salah satu perusahaan konsultan komunikasi di Jakarta ini mendapat informasi bahwa mantan kekasih punya akun Bumble.
Baca juga: Pacaran Sehat Harus Bersih dari Racun
Di antara rasa penasaran itulah, Mawar ikut memasang aplikasi untuk mencari pasangan daring itu. Ia mencoba peruntungan untuk bisa bertemu mantan pacar sekaligus membincangkan kemungkinan untuk rekonsiliasi hubungan. Begitu harapannya waktu itu.
”Temanku yang juga pengguna Bumble pernah menemukan mantanku di aplikasi itu. Aku kepo sejak itu,” katanya, Kamis (14/12/2020).

Suasana di kantor PT Magna Digital Lab, pengembang aplikasi Cinlok, Traktiran Romantis di kawasan Pancoran, Jakarta, Rabu (16/8). Cinlok adalah sebuah aplikasi digital di Indonesia dalam mencari teman kencan.
Alih-alih bertemu mantan, Mawar malah bersua sejumlah orang baru. Setelah memasang Bumble sejak akhir November 2020, Mawar berkenalan dengan sejumlah pria. Ia bahkan pernah bertemu muka dengan tujuh orang di antaranya.
Dari tujuh pria itu, ada satu orang yang bermasalah. "Awalnya memang kuladeni dia nge-chat segala macam. Aku memang salah, agak flirting gitu, mancing-mancing. Nah, tiba-tiba aku merasa kawan ini sudah terlalu dekat sementara aku enggak ada rasa apa-apa. Dari situ aku menjauh. Aku diam, lalu ghosting. Dia enggak terima karena, menurut dia, aku sudah cerita banyak dan flirting, kemudian aku nggak ada rasa,” ucapnya.
Baca juga: Kisah Generasi Muda Saat Pacaran
Tak terima Mawar menghentikan komunikasi, pria itu menghubungi teman sekamar Mawar. Kepada temannya, ia menanyakan kenapa Mawar menghilang begitu saja. Beberapa waktu lalu orang itu sampai datang ke kafe saat Mawar sedang kerja. Mawar merasa sangat terganggu. ”Akhirnya dia aku blok,” kata Mawar.
Awalnya memang kuladeni dia nge-chat segala macam. Aku memang salah, agak flirting gitu, mancing-mancing. Nah, tiba-tiba aku merasa kawan ini sudah terlalu dekat, sementara aku enggak ada rasa apa-apa. Dari situ aku menjauh. Aku diam, lalu ghosting. Dia enggak terima karena, menurut dia, aku sudah cerita banyak dan flirting, kemudian aku enggak ada rasa.
Berjodoh
Berbeda dengan Mawar, karyawan di salah satu lembaga pelatihan di Jakarta, Asih Anggraini (25), justru mendapatkan jodoh di aplikasi Tinder. Keduanya bahkan sudah berencana menikah pada Juni 2021.
Kisah Asih bermula saat ia menggunakan Tinder karena merasa kesepian. Kala itu, Pemerintah Provinsi Jakarta menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat sehingga banyak karyawan bekerja dari rumah, termasuk Asih. Lingkup kehidupan Asih menjadi terbatas. Ditambah lagi dia baru putus dari pasangan sebelumnya.
”I need someone to talk to after breaking up with my last ex,” katanya.
Baca juga: Dari Kencan hingga Judi Daring
Sebelum bertemu dengan pria yang dikenal dari aplikasi jodoh, Asih memeriksa lingkar pertemanan serta konten media sosial teman barunya itu. Ketika pertama bertemu, mereka saling memperlihatkan identitas. ”Ini untuk memastikan kalau dia bukan suami orang,” ujarnya.
Di Tinder, Asih menyeleksi orang baru berdasarkan tema obrolan. Jika obrolan menarik, dia melanjutkan percakapan via fasilitas obrolan di aplikasi itu. Sebaliknya, bila orang itu membosankan, dia menghentikan percakapan.
Selain nyambung apabila diajak ngobrol, Asih juga memperhatikan penampilan teman pria yang baru dikenalnya.
Sebelum bertemu dengan pria yang dikenal dari aplikasi jodoh, Asih memeriksa lingkar pertemanan serta konten media sosial teman barunya itu. Ketika pertama bertemu, mereka saling memperlihatkan identitas. ”Ini untuk memastikan kalau dia bukan suami orang,” ujarnya.
Singkat cerita, Asih berkenalan dengan pria yang memenuhi kriterianya itu. Lantaran merasa cocok, keduanya sepakat melanjutkan hubungan ke jenjang berikutnya.
Setelah mendapat pasangan, Asih tak menggunakan Tinder lagi. ”Aku bangga pernah menjadi manusia kesepian, lalu memasang Tinder. Walaupun sempat dicibir karena main Tinder dan ngucapin hai duluan ke laki-laki,” ujarnya.
Penasaran
Maharani (27), nama samaran, pernah juga memasang Tinder karena penasaran dengan cara kerja aplikasi ini. Dia ingin tahu bagaimana teknologi kecerdasan buatan menemukan jodoh bagi penggunanya.
Selain rasa ingin tahu, dia juga mencari tema obrolan baru. Di tempat kerja, ia berkutat dengan orang-orang yang selalu membicarakan pejabat negara, politik, hingga naik turun harga saham.
”Lumayan juga buat chat di malam hari kalau enggak bisa tidur. Ha-ha-ha. Tapi, ya itu, ngobrol-nya melalui chat saja,” ujarnya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2F7a81993d-5ea7-4625-92b3-957b1c3ae1f0_jpg.jpg)
Foto Ilustrasi. Kehati-hatian tetap dibutuhkan setelah dua orang yang berkenalan lewat media sosial bertemu langsung. Foto diambil di Kuta Lombok, Nusa Tenggara Barat, Minggu (4/8/2019).
Ketika ada tawaran bertemu langsung, Maharani memilih mundur. ”Sepertinya ini masalah gue doang yang memang agak resisten sama orang baru. Bisa dibilang takut, insecure, dan belum cukup kenal dekat buat jalan berdua, apalagi dijemput,” katanya.
Seminggu setelah memasang aplikasi ini, Maharani menghapus Tinder dari gawai.
Rasa penasaran juga mendorong FR (28), salah seorang pengacara muda di Jakarta, untuk memasang aplikasi mencari jodoh. Dia mengaku cuma iseng memasang aplikasi ini. Tak ada keinginan untuk mencari pasangan serius.
Dari perkenalan dengan sejumlah perempuan, ia menjalin hubungan singkat saja berdasarkan keinginan kedua belah pihak.
Di aplikasi kencan, FR memasang foto asli. Hanya saja, dia menyamarkan namanya.
Menurut pengalaman DL (32), ibu rumah tangga di Bandung, Jawa Barat, aplikasi kencan tak bisa dijadikan medium untuk mencari pasangan serius. ”Untuk berteman saja oke, tetapi tidak jika ingin serius. Banyak orang aneh di situ,” ucapnya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F463837_getattachmentb59b3b8a-4729-4b0c-882d-bcbc4528d648455224.jpg)
Foto Ilustrasi. Pasangan menghabiskan malam seusai kerja di sebuah kedai kopi di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (18/8). Mereka dipertemukan melalui sebuah aplikasi kencan daring. Mereka berencana menikah tahun depan.
DL menggunakan aplikasi kencan antara 2015 dan 2017. Ini sebelum dia bertemu dengan suaminya kini. Waktu itu, DL merasa bosan. Pacarnya saat itu juga abusive sehingga dia ingin mencari kebahagiaan dengan berjumpa orang-orang baik di dunia maya.
”Ternyata paling banyak malah ketemu sama orang mesum. Jadi, berbahagialah teman-teman yang bisa bertemu pasangan serius. Sebab, pelecehan karena aplikasi kencan ini parah banget,” jelasnya.
Pengaduan
Anggota Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Said Niam, menjelaskan, dari 196 laporan terkait kekerasan jender secara daring, periode Maret-September 2020, beberapa kasus berasal dari aplikasi kencan. Pelapor merupakan perempuan berusia muda dan baru bergabung di aplikasi kencan.
Dia melanjutkan, pelapor dirayu pelaku. Pelaku pun meyakinkan pelapor untuk berhubungan lebih dekat. Komunikasi yang awalnya hanya di aplikasi mulai beralih ke Whatsapp. Hanya dalam hitungan minggu, mereka sudah berstatus pacaran. Bahkan, ada pelapor yang sudah berpacaran saat mereka belum pernah bertemu secara langsung.
Baca juga: Perempuan dalam Jebakan Kejahatan Daring
Dengan status pacaran, pelaku leluasa untuk meminta konten pribadi pelapor. Konten pribadi itu kemudian disimpan oleh pelaku. Dokumentasi itu menjadi dasar pelaku untuk mengeksploitasi pelapor, baik secara seksual maupun ekonomi.
Dia melanjutkan, semua orang yang mengalami kekerasan jender secara daring bisa datang ke LBH APIK. Pelapor cukup mengisi identitas pribadi, lalu menceritakan persoalan yang terjadi. Ada dua solusi yang ditawarkan, yakni litigasi dan nonlitigasi.

Ilustrasi kekerasan.
Selama pandemi Covid-19, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima pengaduan 659 kasus kekerasan berbasis jender secara daring. Kasus itu terdiri dari 341 kasus kekerasan dalam rumah tangga dan 318 kasus di ranah komunitas. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2018 (97 kasus) dan 2019 (281 laporan).
Kekerasan berbasis jender daring merupakan tindak kekerasan dengan teknologi digital terkait dengan ketubuhan perempuan sebagai obyek seksual. Bentuknya, antara lain, pendekatan yang memperdaya, pelecehan daring, peretasan, pelanggaran privasi, ancaman distritribusi foto/video pribadi, pencemaran nama baik, pengelabuan, dan perekrutan daring.
Manfaatkan alogaritma
Secara global, Tinder menguasai jagat aplikasi pencarian jodoh. Berdasarkan data firma riset pasar aplikasi App Annie terbaru, secara global Tinder ada di posisi pertama, disusul Bumble, Azar, Badoo, Pairs, Tantan, Grindr, Tapple, Hily, dan Match.com.
Berdasarkan data terbarunya, Tinder mengklaim telah menjodohkan—atau mendapatkan Match—sebanyak 30 miliar Match.
Dalam keterangan resminya, Tinder mengatakan bahwa algoritma yang digunakan adalah rahasia dagang. Namun, tahun lalu Tinder membagikan sedikit bagaimana algoritmanya dalam menentukan profil calon jodoh potensial yang direkomendasikan kepada pengguna.

Salah satu adegan di serial Black Mirror episode ”Hang the DJ”. Episode ini menyinggung penggunaan kecerdasan buatan yang disematkan di aplikasi kencan.
Untuk menemukan jajaran profil anggota yang disodorkan kepada pengguna, Tinder menggunakan algoritma yang melihat bagaimana anggota Tinder mengambil respons terhadap profil si pengguna. Pengguna akan mendapatkan rekomendasi jodoh potensial berdasarkan ”Like” atau ”Nope” yang diterima.
Adapun tingkat aktivitas menggunakan aplikasi disebut sebagai hal utama. Tinder mengatakan, algoritma akan memprioritaskan pengguna yang aktif. ”Kami memprioritaskan jodoh potensial yang aktif. Kami tidak ingin membuang waktu Anda dengan menyampaikan profil dari para anggota yang tidak aktif,” tulisnya.
Tinder menegaskan bahwa aplikasi tersebut hanya meminta data lokasi, jender, usia, jarak, dan preferensi jender. Tinder juga tidak menyimpan dan mengolah data ras, keterangan finansial, dan agama.
Jika algoritma Tinder ditentukan otomatis dengan cara mempelajari perilaku dan interaksi para penggunanya, OKCupid menggunakan sistem yang lebih tradisional. Pengguna OKCupid harus menjawab sejumlah pertanyaan terlebih dulu sebelum dipertemukan dengan anggota yang diperkirakan memiliki kesamaan yang kuat.
Co-founder OKCupid Christian Rudder dalam sebuah sesi TED-ed menjelaskan, setiap pengguna harus menjawab sejumlah pertanyaan dalam tiga parameter, yakni tanggapan personal terhadap pertanyaan tersebut, harapan si calon jodoh menjawab apa, dan relevansi (importance) pertanyaan itu.
Misalnya, jika ada pertanyaan, ”Apakah Anda orang yang rapi?” Pengguna harus menjawab sesuai dengan kondisinya, bagaimana harapan si pengguna terhadap calon jodohnya, dan seberapa penting pertanyaan ini.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F06%2Fef2fe024-5336-4bc3-af36-c2d39ed3c36a_jpg.jpg)
ILUSTRASI. Menyaksikan perayaan pernikahan melalui siaran langsung di media sosial.
Melalui tiga parameter tersebut, jawaban setiap pengguna akan dibandingkan, dan dilihat kecocokan satu sama lain.
”Kemampuan untuk mengambil fenomena dunia nyata dan menerjemahkannya menjadi hal yang dapat dipahami oleh cip komputer mungkin adalah kemampuan terpenting saat ini,” kata Rudder.
Kecerdasan buatan ini membantu orang menemukan jodoh. Di sisi lain, tidak semua niat mendapatkan jodoh bisa terpenuhi dari aplikasi ini. Kewaspadaan tetap dibutuhkan untuk mencegah aneka kemungkinan saat berhubungan dengan orang baru yang dikenal di dunia maya. Seperti membeli kucing dalam karung, kita tak pernah tahu seperti apa orang yang akan ditemui....