Para anggota kartel narkoba memamerkan tumpukan uang, mobil mewah, senapan mesin berlapis emas, panen opium dari buah poppy, dan aksi kejar-kejaran perahu cepat. Ratusan ribu orang ternyata tertarik menontonnya.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para anggota kartel narkoba memamerkan tumpukan uang, mobil mewah, senapan mesin berlapis emas, panen opium dari buah poppy, dan aksi kejar-kejaran perahu cepat. Ratusan ribu orang ternyata tertarik menontonnya.
Dalam beberapa waktu terakhir, ternyata muncul sebuah tren atau genre baru pada platform berbagi video pendek Tiktok bernama Cartel Tiktok atau Tiktok Kartel. Konten dalam kategori ini isinya menggambarkan hal yang berkisar pada kemewahan yang dinikmati para anggota kartel narkoba.
Di balik semua mobil mewah dan tumpukan uang tersebut, Tiktok Kartel dinilai hanya sebuah cara bagi para gembong narkoba ini untuk merekrut anak muda yang mudah tergiur sekaligus menutupi kejamnya dunia kriminal tersebut.
”Ini adalah narco-marketing. Kartel narkoba sudah biasa menggunakan platform media sosial ini untuk publisitas, tetapi kali ini adalah publisitas yang hedonistik,” kata antropolog Universitas Murcia, Spanyol, Alejandra León Olvera.
Pakar budaya digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, mengatakan, secara psikologi komunikasi, para pembuat konten Tiktok Kartel ini ingin membangun sebuah pemahaman bahwa dari narkoba, para pelakunya akan mendapatkan kehidupan yang mudah dan gemerlap, hasilnya banyak dalam waktu singkat.
”Cara yang terbaik untuk memopulerkan sesuatu yang tidak populer adalah dengan menampilkan lifestyle. Orang dibuat merasa ’ketinggalan’ kalau tidak mengikuti suatu gaya hidup. Pendekatan ini untuk pemasaran itu memang ampuh,” kata Firman.
Juru bicara Tiktok mengatakan bahwa Tiktok berkomitmen bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk melawan aktivitas kejahatan terorganisasi. Tiktok juga menegaskan bahwa platform tersebut akan menghapus konten dan akun yang mempromosikan aktivitas ilegal.
Tiktok, agak berbeda dengan media sosial lainnya, cenderung menyodorkan penggunanya konten yang menarik berdasarkan algoritma yang dimilikinya. Berbeda dengan Twitter atau Instagram yang menampilkan konten dari akun-akun yang diikuti pengguna.
Tiktok agak berbeda dengan media sosial lainnya, cenderung menyodorkan penggunanya konten yang menarik berdasarkan algoritma yang dimilikinya. Berbeda dengan Twitter atau Instagram yang menampilkan konten dari akun-akun yang diikuti pengguna.
Jadi, pengguna cenderung memiliki lebih sedikit kontrol terhadap konten yang didapatkannya. Para warganet tampaknya sepakat bahwa kemunculan video kejar-kejaran perahu cepat yang diduga digunakan sejumlah anggota kartel untuk kabur dari kejaran otoritas adalah pintu masuk terhadap Kartel Tiktok.
Setelah pengguna me-like video tersebut, video-video yang kemudian muncul dalam laman For You Page langsung diisi dengan video-video serupa.
Kompas mengecek bahwa memang ada video populer yang menunjukkan seseorang sedang menyadap bunga poppy untuk diambil getah opiumnya. Video tersebut telah ditonton 6 juta kali dan mendapat lebih dari 700.000 likes dan 24.000 komentar.
Lalu ada juga video lain yang menampilkan mobil mewah, anak harimau sebagai peliharaan, dan tumpukan uang yang sudah ditonton 2,9 juta kali. Ada juga video yang menampilkan sebuah mobil SUV mewah dengan kaca antipeluru serta pistol yang disepuh dengan logam mulia.
Dalam sebuah akun yang kini sudah diblokir bernama Badut CJNG (Cartel de Jalisco Nueva Generacion/Kartel Jalisco Generasi Baru) juga terlihat seseorang yang mengenakan pakaian hitam, rompi antipeluru, dan menyandang senapan serbu AR-15 melakukan tarian the floss.
Adapun video unjuk kekuatan dari anggota CJNG yang menampilkan konvoi anggota deretan mobil yang sudah dimodifikasi sehingga berlapis baja bertuliskan inisial CJNG beserta ratusan anggota kartel berpakaian paramiliter.
Analis senior firma think tank International Crisis Group, Falko Ernst, menduga bahwa video-video tersebut dibuat oleh anggota level rendah dari kartel tersebut, kemungkinan besar para pembunuh bayaran—biasa disebut sicario—untuk memamerkan harta-harta yang mereka dapatkan.
Lalu, video tersebut kemudian diunggah ke internet oleh mereka atau mungkin kawan mereka yang memiliki keinginan untuk meraih gaya hidup yang sama.
Firman mengatakan, hal serupa juga terjadi pada beberapa tahun yang lalu ketika Negara Islam Irak dan Suriah berusaha merekrut prajurit dari sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Saat itu, calon anggota diberi iming-iming seperti ditawarkan kegiatan ibadah ziarah gratis dan gaji yang tetap. Untuk kalangan bawah yang tanpa pekerjaan ataupun dengan pekerjaan tidak tetap dan penghasilan sangat kecil, gaji sebesar 300-400 dollar AS memberi daya tarik yang besar, tulis peneliti Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR Poltak Partogi Nainggolan pada tulisannya yang berjudul ”Mengapa Indonesia Sangat Rawan dari ISIS/IS?” (2016).
”Jadi yang bergabung di sana itu targetnya adalah orang-orang yang, antara lain, merasa tidak punya harapan di negaranya, mereka yang kesulitan ekonomi, dan mereka yang memang punya benih-benih fanatisme,” kata Firman.
Firman mengatakan, tidak selamanya bisa menyalahkan persoalan ini kepada tingkat literasi yang rendah pada masyarakat. Menurut dia, platform media sosial memiliki peranan yang lebih besar dalam membatasi penyebaran konten berbahaya.
Hal ini karena secara desain, model bisnis platform media sosial membutuhkan konten dari pengguna sebagai kendaraan untuk bisnis iklan mereka. Oleh karena itu, perlu ada dorongan yang lebih besar kepada perusahaan media sosial untuk lebih tegas mengawasi peredaran konten yang bermasalah.
”Selama ini, asal konten ini bisa menengguk iklan, ya, akan diwadahi platform,” kata Firman. (NYTIMES/REUTERS)