Ponsel kelas menengah mulai memiliki fitur-fitur khas ponsel ”flagship”. Ponsel andalan terbaru Google, Pixel 5, bahkan menggunakan cipset kelas menengah. Ponsel kelas menengah kian menemukan relevansi di tengah pandemi.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·5 menit baca
Seri ponsel pintar Pixel milik Google memang tidak sepopuler barisan ponsel Galaxy S milik Samsung ataupun beragam tawaran dari Oppo, Vivo, dan Xiaomi. Namun, Google Pixel tetap menjadi patokan karena bisa dianggap sebagai manifestasi visi Google—sang pengembang Android—mengenai perangkat yang ideal. Bisa dibilang, Google Pixel adalah jawaban Android terhadap Apple iPhone.
Pekan lalu, Google pun meluncurkan ponsel Pixel flagship terbarunya, Pixel 5. Hal yang diluar kebiasaan adalah Pixel 5 tidak menggunakan cipset flagship alias cipset kelas teratas. Alih-alih menggunakan cipset Snapdragon 865 dari Qualcomm yang digunakan oleh ponsel andalan produsen lain, Google memilih cip Snapdragon 765, cipset kelas menengah. Mengapa?
Banderol yang lebih rendah tampaknya menjadi pertimbangan. Vice President Product Management Google Brian Rakowski pun menggunakan kalimat ”5G speeds at affordable prices” atau ”kecepatan 5G pada harga yang terjangkau” saat memperkenalkan Pixel 5 dan Pixel 4a 5G.
Google tampak mengutamakan kapabilitas jaringan 5G ketimbang performa dasar yang dihasilkan oleh cipset CPU dan GPU. Selain itu, sejumlah fitur kapabilitas flagship, seperti kamera yang berkualitas tinggi serta pengisian daya nirkabel (wireless charging) dan reverse charging untuk mengisi daya earphone nirkabel pun tetap tersedia pada Pixel 5.
Efeknya, Pixel 5 diluncurkan dengan harga 699 dollar AS, lebih rendah dibandingkan harga peluncurkan Pixel 4, yakni 799 dollar AS. Atau sesama flagship tahun 2020, seperti Samsung Galaxy S20 5G yang dijual dengan harga 999 dollar AS.
Tren fitur flagship di harga kelas menengah tidak hanya mewujud pada Pixel 5, tetapi juga merek seperti Oppo. Ponsel terbaru Oppo, Reno4 Pro, secara sekilas tampak seperti ponsel flagship mewah dengan layar Superamoled 6,5 inci tanpa bingkai. Oppo menyebutnya sebagai ”3D Curved Screen” mirip ”Edge Display” pada ponsel kelas atas milik Samsung ataupun ”Waterfall Display” Huawei.
Layar Reno4 Pro pun memiliki refresh rate 90 Hz, artinya gerakan dapat ditampilkan lebih cepat dibandingkan layar 60 Hz yang umum digunakan. Apple iPhone 11 Pro bahkan masih menggunakan layar 60 Hz.
Di sisi belakang pun tampak modul kamera dengan empat lensa yang disusun vertikal ke bawah. Fitur kelas atas, seperti super slow-motion hingga 960 fps (frameper second) pun juga ada pada Reno4 Pro meski framerate ini didapatkan dari interpolasi perangkat lunak. Ini semua ternyata dapat dilakukan dengan cipset Qualcomm Snapdragon 720G, sebuah cipset kelas menengah.
Reno4 Pro juga memiliki kapabilitas pengisian daya cepat. SuperVOOC, demikian fitur itu dinamai, memungkinkan mengisi penuh baterai berkapasitas 4.000 mAh hanya dalam waktu 36 menit.
”Oppo, melalui fitur-fitur dalam Oppo Reno4 Pro, berupaya mempersembahkan sebuah kombinasi teknologi inovatif dan gaya hidup yang kami harapkan dapat mendukung generasi muda selalu kreatif dan produktif,” kata Creative Strategic Communications Manager Oppo Indonesia, Livia Setyabrata.
Firma riset pasar IDC menilai, pengenalan ponsel dengan harga yang lebih terjangkau adalah strategi yang lebih tepat di masa pandemi seperti ini.
Secara umum, segmen ponsel kelas menengah (kisaran harga 400-600 dollar AS) meningkat pangsa pasarnya di dunia, dari hanya sekitar 7 persen menjadi 11,6 persen pada kuartal II-2020 secara tahunan.
”Kondisi ekonomi seperti ini telah memengaruhi pola konsumsi masyarakat untuk memilih produk yang lebih terjangkau. Inilah mengapa, portofolio para vendor cenderung ke arah ponsel kelas rendah dan menengah,” kata analis senior IDC, Sangeetika Srivastava, melalui keterangan tertulis.
Apple pun tahun ini meluncurkan iPhone SE generasi kedua yang memiliki bodi iPhone 8 (2017) tetapi spesifikasi jeroan setara iPhone terbaru, seri 11 maupun 11 Pro. iPhone SE dirilis dengan harga 399 dollar AS pada April 2020 dan dibawa masuk ke Indonesia oleh salah satu distributor dengan harga Rp 8 juta pada awal Oktober 2020.
Perbedaan detail
Akan tetapi, seperti pada banyak hal lainnya, the devil is in the details. Perbedaan antara kelas atas dan menengah berada pada hal-hal kecil yang terkadang menentukan kenyamanan, khususnya pada performa.
Misalnya membandingkan Oppo Reno4 Pro dengan Realme X2 Pro, ponsel flagship tahun lalu. Secara sekilas tampak mirip, terlebih lagi mereka memiliki banderol yang mirip ketika rilis, yakni Rp 7,8 juta-Rp 7,9 juta.
Game Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG) dapat dimainkan dengan lancar dengan kecepatan sekitar 62 fps (high) dan grafis kualitas HD di cipset 720G yang dimiliki Reno4 Pro.
Namun, cipset 855+ pada X2 Pro dapat menjalankan PUBG dengan kecepatan kecepatan hingga 90 fps (extreme) sehingga benar-benar memanfaatkan layar 90hz yang ditawarkan. Memang terasa lebih lancar. Namun, jika pengguna bukan seorang gamer, mungkin ini keunggulan yang tidak terlalu penting.
Kondisi ekonomi seperti ini telah memengaruhi pola konsumsi masyarakat untuk memilih produk yang lebih terjangkau. Inilah mengapa portofolio para vendor cenderung ke arah ponsel kelas rendah dan menengah.
Cipset 855+ pun memungkinkan pengguna untuk menjalankan video beresolusi 8K atau 16 kali lebih tajam dari resolusi full HD 1080p. Jika setiap frame pada video 1080p berukuran sekitar 2 megapiksel, setiap frame dari video 8K berukuran 33 megapiksel.
Kedua ponsel juga dicoba untuk membuka dokumen Microsoft Word (docx) draf RUU Cipta Kerja yang mencapai 1.059 halaman pada Google Drive. Realme X2 Pro membutuhkan waktu sekitar 17 detik dari saat membuka file hingga progress bar, yang menandakan proses loading atau pemuatan, hilang. Di sisi lain, Reno4 Pro membutuhkan waktu 23 detik.
Apabila saat ini sejumlah keunggulan performa tersebut dirasa tidak begitu penting, kelak kelebihan ini bisa bermanfaat dalam wujud futureproofing. Performa tinggi pada saat ini mungkin akan menjadi sekadar memadai di tahun-tahun ke depan.
Di sisi lain, performa yang hanya memadai pada saat ini mungkin dapat menjadi tidak cukup di masa depan ketika beban komputasi yang dimiliki aplikasi akan kian berat.
Namun perlu diingat, kebutuhan bermain media sosial sehari-hari mungkin tidak membutuhkan margin performa yang ditawarkan oleh cipset flagship. Selain itu, fitur mewah khas flagship, seperti layar 90 Hz bergaya Edge sudah bisa didapatkan pada kelas menengah.
Apakah pasar masih membutuhkan margin performa yang ditawarkan flagship? Semua kembali pada kebutuhan sejati konsumen.