Kalangan pendengar musik jazz belakangan kian beragam. Di kalangan kaum urban, musik ini semakin dinikmati berbagai generasi, baik tua maupun muda.
Oleh
Aditya Diveranta/Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
Ari (62) tidak sabar saat mendengar hingar-bingar suara panggung musik dari lahan parkir Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Langkahnya bergegas saat menyadari acara yang ia tunggu di areal gedung tersebut telah dimulai.
Jumat (28/2/2020) malam itu, areal JIExpo menjadi persinggahan favorit para penikmat musik beraliran jazz. Perhelatan Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2020 malam itu menampilkan ratusan musisi jazz lokal dan mancanegara dalam 11 panggung.
Ari yang warga Malaysia juga tidak ingin melewatkan perhelatan tersebut. Setibanya di lokasi sekitar pukul 18.30, sayup-sayup musik bernuansa elektronik dari kejauhan mencuri perhatiannya dan membawanya menuju Java Jazz Stage.
Anomalie, proyek musik solo Nicolas Dupuis asal Montreal, Kanada, menghibur Ari dan ratusan penonton berbagai kalangan usia di panggung itu. ”Saya terhibur sekali dengan kelincahan jari penampil saat bermain kibor. Permainannya berpadu dengan dentuman beat yang dinamis, membuat saya ikut berjoget kecil sesuai irama musiknya,” kata pebisnis yang rutin ke Jakarta beberapa bulan sekali ini.
Seusai Anomalie, Ari lalu mengincar suguhan musik dari panggung lain, terutama penampil lokal. Bagi dia, penampil dari dalam negeri juga menarik disimak karena kerap memunculkan kejutan.
Hiburan yang dicari Ari dalam musik jazz bukanlah soal selera semata. Ia mengatakan, perhelatan semacam ini dibutuhkan sebagai penyegaran seusai menjalani rutinitas yang pelik.
”Di samping rutinitas yang padat, terutama saat harus bolak-balik Indonesia-Malaysia, sebenarnya cukup menyenangkan untuk sejenak meluangkan waktu ke festival musik seperti ini,” kata Ari.
Pernyataan Ari mungkin mewakili ungkapan sebagian orang. Sebab, perhelatan musik menjadi pilihan eskapisme sebagian warga kota di tengah pembangunan dan problema di kota yang terus berjalan.
Kebutuhan untuk datang ke acara musik seperti ini juga dirasakan Hamdani (28). Pegawai bank di Jakarta Selatan ini menghayati pertunjukan musik layaknya sebuah ibadah. ”Bisa gila, sih, kalau cuma menjalani rutinitas kantor yang begitu-begitu aja. Setiap Sabtu-Minggu pasti gue mencari acara musik yang bisa didatangi,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta Anto Hoed dalam wawancara Agustus 2019 mengatakan, kegemaran sebagian warga mendatangi pertunjukan musik memang kini menjadi fenomena urban. Pertunjukan semacam ini berfungsi sebagai ekosistem yang mempertemukan pelaku dan penikmat musik.
Ia memandang, antusiasme warga terhadap pertunjukan musik turut mencerminkan peradaban warga kota. ”Semakin pintar warganya, semakin beragam musik yang mereka dengarkan. Dalam musik jazz, misalnya, mereka mungkin ingin mengapresiasi musik yang dianggap sebagai selera kalangan menengah ke atas itu,” ucapnya.
Kevin Whitehead dalam Why Jazz? (2011) mengatakan, musik jazz kerap digemari karena tampak sebagai musik yang membebaskan. Hal itu terutama karena musik jazz muncul dengan mengedepankan penampilan improvisasi sang musisi.
Lintas generasi
Berbagai kalangan lintas generasi pun kini menggemari jazz. Hal ini tampak saat Erwin Gutawa tampil memainkan gubahan karya almarhum musisi Chrisye di BNI Hall Java Jazz.
Malam itu, Erwin seakan ”menghidupkan” kembali mendiang Chrisye lewat layar depan panggung. Orang tua, muda, dan anak-anak sama-sama larut dalam penampilan selama hampir 1 jam itu.
”Kita tahu Chrisye punya suara khas. Saya pikir semua orang sepakat kalau suara dia bisa membuat bahagia, hangat, bahkan jatuh cinta. Suara Chrisye mungkin juga telah menemani sebagian kalian sejak tahun 70-an hingga sekarang,” kata Erwin di tengah-tengah pertunjukan.
Momen itu tak ingin disia-siakan Deny (31). Karyawan perusahaan BUMN ini turut membawa dua anaknya saat menonton konser tersebut. Ia ingin mengenalkan musik-musik Chrisye kepada anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 1 tahun.
”Sosok Chrisye seperti hidup kembali. Ada kesan yang sangat menarik saat musiknya digubah menjadi jazz. Dari festival ini, saya ingin memperkenalkan musik jazz kepada anak-anak,” kata Deny.
Rayuan jazz juga membuat Ismi (24) jatuh hati. Karyawan bank ini sebenarnya pengagum musik hip hop. Namun, malam itu, jazz membuatnya melambung.
Menurut dia, jazz adalah musik yang easy listening sehingga spektrum penikmatnya luas. Ia yang cukup jarang mendengarkan jazz pun sampai terbuai. Nostalgia lagu-lagu Chrisye rasanya jadi semakin syahdu.
”Saya sebenarnya bukan penggemar jazz. Tetapi, pertunjukan ini bagus sekali. Rasanya seperti nostalgia masa kecil. Saya mengenal Chrisye karena beliau adalah idola orangtua saya,” kata Ismi.
Sebagian pemuda juga menyenangi tembang lawas yang dibawakan penyanyi kawakan Reza Artamevia. Sebagian besar lagu dari album lama miliknya digandrungi anak-anak muda saat ini.
Acha (25) dan Jeje (32) mengaku mengenal lagu-lagu Reza dari tayangan di MTV beberapa tahun silam. Walaupun berbeda generasi dengan Reza, Acha dan Jeje tetap kepincut dengan karya sang penyanyi. Lagunya dinilai bagus dengan nada dan lirik yang bikin meleleh.
”Reza itu legend banget buatku. Lagu-lagunya melekat terus di ingatan dan bisa dinikmati oleh semua generasi,” kata Acha.
Terlepas dari jazz yang kini menjadi cerminan selera musik kaum urban, musisi
jazz senior, Benny Likumahuwa, berharap musik ini semakin dicintai berbagai generasi. Menurut dia, acara jazz juga perlu lebih sering hadir sebagai acara publik. Hal ini juga sebagai ajang para musisi jazz kembali berkumpul.
”Perkembangan jazz saat ini sudah semakin baik dan lebih banyak bakat muda yang bermunculan dibandingkan tahun 60-70an. Saya hanya berharap agar wadah bagi musisi dan penikmat jazz tidak terbatas pada festival-festival besar saja,” ucap Benny.