Menjadikan Transisi Masa Depan yang Menyenangkan
Banyak negara mulai berpikir untuk mengurangi atau bahkan melarang penggunaan bahan bakar diesel dan menyusul berikutnya adalah bensin atau petrol.
Banyak negara mulai berpikir untuk mengurangi atau bahkan melarang penggunaan bahan bakar diesel dan menyusul berikutnya adalah bensin atau petrol. Namun, belum semua menyiapkan bahan bakar pengganti atau sumber tenaga penggerak alternatif untuk mobil.
Kompas bertemu Sudirman, warga Jakarta, saat Pameran Kendaraan Listrik yang digagas Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Balai Kartini beberapa bulan lalu. Melihat-lihat beberapa kendaraan, dia tertarik dengan dua kendaraan listrik yang dialihrupakan, dari semula mesin konvensional (berbahan bakar minyak) ke kendaraan listrik berbasis tenaga baterai. Baginya, harga bukan masalah.
Tetapi, setelah berbincang-bincang dengan dua pemilik kendaraan tersebut, dia berpikir cukup panjang. Terutama soal penyediaan listrik bagi kendaraan miliknya nanti. ”Kalau di rumah mungkin masih bisa. Bagaimana kalau berjalan-jalan? Dalam kota, seperti Jakarta saja, kalau sudah kena macet, apakah ada tempat pengisian listrik khusus? Saya belum melihat cukup banyak infrastruktur untuk pengisian mobil listrik,” katanya.
Tidak mudah mengubah kebiasaan seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) yang sudah sangat bergantung pada sebuah teknologi yang sudah berusia sekitar satu abad. Kenikmatan memakai kendaraan bahan bakar minyak dengan harga yang terjangkau dan mudah didapatkan, termasuk hingga ke daerah pelosok, membuat orang tidak dengan mudah beralih ke teknologi yang baru. Apalagi, dengan infrastruktur yang belum terbangun secara merata.
Semua hibrida
Seakan sadar dengan keterbatasan pemerintahan di berbagai belahan bumi untuk menyediakan stasiun pengisian listrik umum (SPLU), Mercedes-Benz memilih untuk memproduksi kendaraan hibrida pada hampir di seluruh lini produksinya. A-Class hingga S-Class, SUV mewah hingga kendaraan niaga.
Ola Kallenius, pemimpin tertinggi Daimler-AG, induk dari Mercedes-Benz, pada Mercedes-Benz Media Day di Frankfurt Motor Show 2019, September lalu, mengatakan, kebijakan baru mereka adalah mencoba membuat produksi kendaraan seramah mungkin dengan lingkungan sekitar. Rencana aksi ini sebagai bagian dari upaya besar pemerintah negara-negara anggota Uni Eropa untuk mengurangi emisi sebanyak 40 persen di bawah level tahun 1990 pada tahun 2030 mendatang.
Tahap pertama adalah 2022, yaitu mengalihkan seluruh pabrik perakitan mereka di Eropa sebagai pabrik dengan label ”carbon-neutral”. Berikutnya, tahun 2030, yaitu memproduksi mobil dengan konsep ”green-car”, lebih ramah terhadap lingkungan, baik dalam bentuk BEV (battery electric vehicle) ataupun PHEV (plug-in hybrid electric vehicle). Daimler AG menargetkan bahwa pada tahun 2030 nanti, 50 persen produk mereka di pasaran adalah kendaraan listrik berbasis baterai dan PHEV.
Tidak hanya masalah gas buang kendaraan, bersamaan dengan itu, seluruh lini produksi, mulai dari material pendukung komponen otomotif dan industri pendukungnya juga diajak untuk mendukung konsep ini. Dan di tahun 2039 diharapkan seluruh produksi kendaraan di bawah kendali Daimler AG sudah mendapatkan label ”carbon-neutral”.
Langkah masif itu sudah dimulai dengan menambah beberapa model PHEV ke lini produksi Mercedes-Benz dan Daimler AG, selain mengembangkan kendaraan full-EV dan juga mobil berbahan bakar hidrogen. Perluasan pilihan kendaraan yang lebih ramah lingkungan dimulai tahun ini dengan menambah lima mobil PHEV, yang terdiri dari tiga kelas sedan, dua SUV serta mobil niaga untuk konsumen armada (fleet).
Kelima produk baru PHEV Mercedes-Benz adalah sedan A-Class plug-in hybrid, B-Class plug-in hybrid, dan S-Class plug-in hybrid. Sementara di lini SUV, Mercedes Benz menambah portofolionya dengan GLE 350e 4Matic dan GLC 300e 4Matic. Untuk kelas fleet, yang diperkenalkan adalah Mercedes-Benz EQV.
Sehari sebelum pembukaan Frankfurt Motor Show 2019 atau Internationale Automobili-Austellung (IAA 2019), Kompas mendapat kesempatan untuk mencoba beberapa kendaraan hibrida terbaru milik Mercedes-Benz. Bersama jurnalis Tempo, jurnalis otomotif-vlogger Otodriver dan jurnalis asal China serta Amerika Latin, Kompas berkesempatan mencicipi beberapa kendaraan kendaraan baru berteknologi PHEV, yaitu Mercedes-Benz S 560e L, Mercedes-Benz E 300e dan, Mercedes-Benz A Class Sedan A 250e. Simbol ”e” pada penamaan setiap model melambangkan bahwa produk ini mengandung teknologi elektrik alias kendaraan hibrida.
Baterai yang digunakan untuk mobil hibrida C-Class hingga S-Class adalah baterai generasi ketiga. Pertama kali Mercedes-Benz mengenalkan baterai untuk mobil hibrida pada tahun 2009, ketika meluncurkan sedan S 400. Sementara untuk A-Class dan B-Class, ini adalah untuk pertama kalinya Mercedes-Benz menanamkan baterai untuk penggerak motor listrik pada mobil kompak mereka.
Matthias Klopler, anggota tim pengembangan transmisi hibrida Daimler-AG, menjelaskan, evolusi material penyusun baterai, dari semula Lithium Iron Phosphate menjadi Lithium Nickel Mangan Cobalt, membuat kapasitas yang dihasilkan baterai menjadi lebih besar. Dampaknya juga pada tenaga yang dihasilkan bertambah dan jarak tempuh lebih jauh.
A-Class Sedan PHEV, misalnya, dengan teknologi terbaru tersebut, mampu menempuh jarak hingga 77 kilometer hanya dengan menggunakan tenaga baterai atau motor listrik. Sementara untuk GLE, dengan teknologi baru ini, jarak yang ditempuh kendaraan hanya dengan menggunakan motor listrik bisa mencapai 100 km.
”Hijau”
Membandingkan produk Mercedes-Benz PHEV dan dengan pembakaran internal memang tidak terlalu jauh berbeda. Tetap saja sebuah produk premium. Namun, karena masih menggunakan mesin konvensional (internal combustion engine/ICE), tetap saja terasa getarannya walau minim.
Namun, dalam posisi stand-by atau idle, tenaga yang siap disalurkan murni dari baterai sehingga sama sekali tidak ada getaran mesin ICE. Ini yang membuat Kompas sempat beberapa kali mengira mobil belum siap dijalankan. Dennis Kadaruskan, Department Manager Public Relations PT MBDI mengingatkan bahwa mobil dalam kondisi hidup dan sudah siap berjalan.
Mencicipi A-Class Sedan dengan varian PHEV agak berbeda dengan mengendarai A-Class biasa maupun GLA 200, yang keduanya adalah tipe hatchback dan sudah mengaspal di Indonesia. Jadi, selain soal mengemudi di sisi kiri seusai dengan aturan berkendara di Eropa, tambahan ”buntut” berupa bagasi berukuran 420 liter membuat pengendalian juga agak lebih ekstra.
Klopler menjelaskan, pengembangan desain rangka untuk sedan kompak Mercedes-Benz PHEV ini membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Selain faktor keamanan saat berkendara, yang menjadi hal utama lain adalah faktor kenyamanan.
Tambahan baterai untuk versi PHEV membuat tim desainer harus mengubah desain knalpot. Letak baterai di bawah kursi baris kedua membuat desain knalpot hanya separuh dari panjang knalpot biasa. Lubang knalpotberada di bawah lantai kabin, di batas ruang kabin depan dan belakang.
Mengemudikan A-Class Sedan ini tak jauh berbeda dengan mengemudikan A-Class hatchback. Yang berbeda tentunya adalah keberadaan bagasi, terutama ketika sedang mencari lokasi parkir pada lokasi yang sempit. Maklum, dari dimensi panjang, A-Class Sedan memiliki panjang 4,549 meter. Sementara A-Class hatchback memiliki panjang sekitar 4,419 meter.
Yang berbeda dari mesin ICE dan PHEV adalah kemampuan jelajah menggunakan tenaga baterai untuk berkendara di dalam kota. Mercedes-Benz menyebutkan bahwa ketika berkendara di dalam kota, mobil ini cukup menggunakan tenaga listrik saja yang membuat penggunaan BBM bisa dihemat. Volume gas buang bila berkendara dengan tenaga listrik pun tidak ada.
Namun, hal itu hanya bisa terjadi bila tidak ada perubahan mendadak dalam pertambahan kecepatan. Meski motor listrik bisa mencapai kecepatan maksimum 140 km per jam, kebutuhan untuk menambah kecepatan secara spontan akan membuat mesin ICE secara otomatis bekerja.
Penggunaan motor listrik untuk meningkatkan kecepatan bisa dilakukan jika percepatannya dilakukan secara bertahap. Peralihan dari motor listrik ke tenaga mesin tidak terasa ketika kita menginjak pedal gas. Begitu juga sebaliknya.
Hal yang sama juga berlaku bagi dua model lainnya, yaitu E 300e dan S 560e L, yang sempat dicoba. Dengan bobot yang lebih berat dibandingkan dengan A-Class Sedan, ditambah baterai 13,5 kwh yang disematkan, E 300e bisa diajak berkeliling hingga lebih kurang 54 km dengan hanya menggunakan motor listrik. Sedangkan pada S 560e L lebih kurang 50 km.
Untuk penggunaan dalam kota atau perjalanan komuter, motor listrik yang digerakkan oleh baterai cukup membantu untuk mengurangi penggunaan BBM. Mercedes-Benz mengklaim, penggunaan BBM rerata (kombinasi antara penggunaan motor listrik dan mesin) pada mobil-mobil PHEV-nya antara 1,5 liter hingga 2,6 liter per 100 km. Itu berarti pada kisaran 50 km per liter. Walaupun angka ini kembali bergantung pada gaya berkendara pengemudinya.
Kekhawatiran Sudirman atau calon pengguna kendaraan listrik berbasis baterai mungkin bisa diatasi dengan kombinasi penggunaan mobil hibrida seperti ini. Selama belum ada SPLU yang memadai, baik di dalam kota maupun ketika berkendara di luar kota, penggunaan mesin bensin atau diesel masih menjadi yang utama.
Di Indonesia, PT Mercedes-Benz Distribution Indonesia baru memasukkan satu model PHEV, yaitu Mercedes-Benz E 300e. Meski hampir semua lini produksi Mercedes-Benz sudah tersedia varian PHEV, Presiden Direktur PT MDBI Choi Duk Jun belum bisa memastikan apakah pihaknya akan memasukkan varian hybrid baru ke dalam pasar Indonesia.
Mercedes-Benz memilih menunggu aturan pemerintah yang lebih detail mengenai kendaraan berbasis tenaga listrik yang kini sedang dikerjakan oleh pemerintah. Pada saat yang sama, PT MBDI bekerja sama dengan beberapa pusat perbelanjaan, menginisiasi SPLU premium bagi produk mereka di gedung parkir.
Kekhawatiran Sudirman mungkin dijawab oleh Mercedes-Benz. Kekhawatiran ketiadaan SPLU saat berkendara ke luar kota membuat Sudirman ataupun calon konsumen lain yang ingin merasakan menggunakan kendaraan berbasis tenaga lisrik dijawab dengan kendaraan berbasis PHEV. Sudirman dan calon konsumen lainnya pun akan merasa lebih siap mengubah kebiasaannya secara gradual, dari menggunakan mesin bensin/diesel ke motor listrik secara bertahap.