Bisnis Olahraga Elektronik Semakin Dilirik
JAKARTA, KOMPAS — Bisnis olahraga elektronik mulai dilirik karena meraup keuntungan hampir dua kali lipat pada 2017. Keuntungan itu diproyeksikan mencapai 2,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 30 triliun pada 2022.
Berdasarkan laporan SuperData, olahraga elektronik (e-sport) telah menghasilkan keuntungan 1,5 miliar dollar AS sepanjang 2017. Jumlah itu naik dari keuntungan pada 2016 sebesar 900 juta AS.
Keuntungan pada bisnis olahraga elektronik itu diprediksi akan terus naik selama lima tahun ke depan. Adapun perkiraan keuntungan itu 1,6 miliar dollar AS (2018); 1,8 miliar dollar AS (2019); 1,9 miliar dollar AS (2020); 2,1 miliar dollar AS (2021); dan 2,3 miliar dollar AS (2022). Kenaikan itu didorong oleh proyeksi peningkatan penonton sebesar 12 persen setiap tahun.
Olahraga elektronik (e-sport) telah menghasilkan keuntungan 1,5 miliar dollar AS sepanjang 2017. Jumlah itu naik dari keuntungan pada 2016 sebesar 900 juta dollar AS.
Presiden Acer Pan Asia Pasifik Andrew Hou di Jakarta, Jumat (19/1), optimistis perusahaannya akan mengambil bagian penting dari bisnis olahraga elektronik. Menurut dia, meski Acer tergolong terlambat memproduksi laptop dan komputer desktop khusus gaming, perkembangan produk itu cukup pesat. Merek dagang gaming dari Acer baru muncul dua tahun lalu, saat itu sudah banyak kompetitor, antara lain Alienware, Asus, dan MSI.
Andrew melanjutkan, penjualan produk dan keuntungan yang didapat berjalan cepat. Pada November 2017, Acer menguasai 20 persen pangsa pasar penjualan laptop dan komputer desktop gaming di Asia Pasifik. ”Kami menempati posisi pertama di luar China,” ujarnya saat membuka ajang Grand Final Asia Pacific Predator League 2018.
Grand Final Asia Pacific Predator League 2018 sendiri diikuti 40 peserta yang terbagi menjadi delapan tim dari delapan negara, yaitu Indonesia, India, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Singapura, Filipina, dan Sri Lanka. Kedelapan negara itu berhasil lolos dari babak penyisihan yang dilakukan sejak Oktober 2017. Total jumlah peserta pada babak penyisihan adalah 1.197 tim.
Selain menyelenggarakan turnamen gim Defense of The Ancient (DOTA) 2, kata Andrew, pihaknya juga hendak mencari bakat-bakat baru untuk menambah populasi pemain di sektor olahraga elektronik. ”Kami juga akan menyeponsori komunitas-komunitas gim,” ujarnya.
Pilihan profesi
Kapten tim Boom.ID Indonesia Alfi Syahrin Nelphyana (24) mengatakan, pemain profesional DOTA 2 salah satu profesi yang menjanjikan saat ini. Setiap pemain yang direkrut tim profesional mendapatkan penghasilan mulai dari Rp 4 juta hingga Rp 10 juta per bulan. Penghasilan itu akan ditambah hadiah jika menang dalam turnamen.
”Setidaknya setiap bulan ada turnamen yang bisa diikuti, baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Alfi. Ia menambahkan, hadiah turnamen biasanya mencapai ratusan juta rupiah. Asia Pacific Predator League 2018 sendiri menjanjikan total hadiah 150.000 dollar AS atau sekitar Rp 2 miliar.
Boom.ID, kata Alfi, baru terbentuk 1,5 tahun lalu. Meski demikian, tim itu sudah dua kali mewakili Indonesia dalam turnamen tingkat Asia. Turnamen diselenggarakan di Filipina dan Thailand. ”Saat berlaga di Filipina kami tidak mendapatkan apa-apa, tetapi meraih peringkat ketiga ketika di Thailand,” ucapnya.
Pemain tim Signify India, Raunak Sen (20), sepakat dengan Alfi. Menurut dia, penghasilan yang didapat sebagai pemain profesional jauh lebih tinggi ketimbang pekerjaan lain yang bisa dilakukan teman seusianya.
Permainan DOTA 2, kata Sen, tergolong baru diketahui masyarakat India. Akan tetapi, penyebarannya relatif cepat. Masyarakat mulai menerima dan mengakui para pemain DOTA 2 sebagai profesi.
Sen menambahkan, berprofesi sebagai pemain DOTA 2 tidak memberi beban berat karena berdasar pada hobi. ”Saya senang karena dibayar untuk mengerjakan hal yang saya suka,” kata Raunak.
Pemain tim Azure eSport Hong Kong, NG Richard (25), menggandrungi DOTA 2 sejak 10 tahun lalu. Richard mengakui, permainan ini mampu melatih kemampuan membuat strategi dan melatih kerja sama tim.
Sebanyak lima orang dalam tim DOTA 2 dibagi menjadi lima posisi, yaitu carry, midlaner, offlaner, roaming support, dan full support. Mereka bertugas mengoptimalkan peran dan bekerja sama untuk menghancurkan markas lawan.
Selain pemain, DOTA 2 juga membuka peluang bagi profesi manajer dan pelatih. Salah satu yang mengambilnya adalah Jeffrey Hau, manajer sekaligus pelatih Azure eSport.
Hau mengatakan, profesi manajer sekaligus pelatih memiliki tantangan tersendiri ketimbang pemain. Manajer bertugas menganalisis pertandingan, mengatur jadwal latihan, dan mendampingi tim.
Sebelum menjadi manajer, Hau pun pernah menjadi pemain sejak 10 tahun yang lalu. ”Tekanan pekerjaan sebagai manajer lebih kecil ketimbang pemain yang harus fokus pada permainan,” ujarnya.
Pencinta DOTA 2 asal Jakarta Timur, Bagas Aditya (19), mengatakan, menjadi pemain profesional merupakan impian setiap orang yang menggeluti permainan tersebut. Namun, prosesnya membutuhkan waktu lebih dari setidaknya lima tahun. Mereka harus memastikan capaian ranking tinggi agar dipercaya bermain di ajang bergengsi.
”Target saya dua tahun lagi bisa menjadi pemain profesional,” kata Bagas yang telah menggeluti DOTA 2 sejak 2014. Untuk mencapai ranking tinggi, Bagas bermain lima kali dalam sepekan. Setiap bermain, ia menghabiskan waktu paling sedikit lima jam.
E-sport dianggap sebagai konvergensi antara olahraga dan teknologi informasi. Saat Asian Games 2018, (e-sport) akan menjadi cabang ekshibisi.
Cabang olahraga
Peluang pemain DOTA 2 sebagai profesi semakin kuat seiring dengan pengakuan e-sport sebagai cabang olahraga. Hal itu dibenarkan oleh Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto saat dihubungi secara terpisah.
E-sport dianggap sebagai konvergensi antara olahraga dan teknologi informasi. ”Saat Asian Games 2018, (e-sport) akan menjadi cabang ekshibisi,” ujarnya.
Kemenpora juga berencana menggelar kejuaraan nasional untuk cabang baru ini. Akan tetapi, ia belum menjelaskan konsep kejuaraan nasional tersebut. (DD01)