”Di depan saya ada… apa itu? Ya Allah, sang Velocipede, sang sepeda, sang kereta angin! (…) Ini yang dinamai kereta angin…Kencang, cepat seperti angin …Lari secepat kuda. Tidak perlu rumput. Tidak perlu kandang…Lebih nyaman daripada kuda…kendaraan ini tidak pernah kentut, tidak butuh minum, tidak buang kotoran.” Demikian tuturan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa (1980) yang menggambarkan keajaiban alat transportasi baru pada akhir abad ke-19. Narasi pada abad ke-20 mengenai teknologi abad ke-19 di Hindia-Belanda.
Donald Angus MacKenzie dan Judy Wajcman dalam The Social Shaping of Technology (Milton Keynes-Philadelphia: Open University Press: 1985) mengonsepsikan ‘teknologi’ dalam tiga lapis pengertian. Pada lapis pertama, teknologi sebagai obyek fisik atau artefak dengan memasukkan sepeda sebagai salah satu contohnya, bersama pesawat radio, televisi, dan komputer.
Sebagai artefak dari teknologi, sejarah keberadaan sepeda pertama di Hindia-Belanda menurut Ahmad Arif dalam Jelajah Sepeda Kompas: Melihat Indonesia Dari Sepeda (Jakarta: Kompas, 2010) cenderung gelap. Hal itu berbeda dengan keberadaan sepeda motor pertama milik John C. Potter yang masuk ke Hindia-Belanda pada 1893 dan mobil pertama di Hindia-Belanda yang mengacu pada sebuah mobil Benz Victoria Phaeton milik Susuhunan Surakarta, Paku Buwono X (1866-1939) pada 1894. Bahkan, Rudolf Mrázek dalam Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony (Princeton University Press, New Jersey, 2002) yang mengulas perkembangan teknologi di Indonesia pada masa kolonial, tidak banyak menyebut tentang sepeda.