Bebunyian Baru Tesla Manaf
Dari gitaris jazz, Tesla Manaf berubah menjadi Kuntari yang bermain di ranah musik eksperimental. Album terbaru ”Last Boy Picked” menyuguhkan pengalaman sonik yang purba. Tesla menolak kemapanan musikalitas.

Musisi dan produser Tesla Manaf alias Kuntari meniup instrumen kornet di studionya di Awiligar, Kota Bandung, Jawa Barat.
Orang bijak berujar, tak ada yang pasti di dunia ini kecuali perubahan. Ketidakpastian itu dijalani produser, penulis lagu, dan musisi Tesla Manaf (35) saat ini. Seperti ular, dia menanggalkan kulit lamanya, mengubah nama panggungnya menjadi Kuntari, dan menemukan arena bermain baru di sini.
”Bosan, ya,” ujar Tesla ketika diminta berpose bersama satu-satunya gitar yang ada di studio rumahnya di sudut gang sempit kawasan Awiligar, Desa Cigadung, Kecamatan Cibeunying Kaler, Kota Bandung, Jawa Barat. Studio itu ada di lantai dua rumah kontrakan yang dia tinggali bersama istri, Asdid Leonitara (mereka menikah September 2021), dan anjing bernama Rakkika yang berumur sembilan tahun.
Dari atap rumah itu, sebagian kelap-kelip Kota Bandung terlihat di malam hari. Hawanya masih dingin, yang membuat pasangan ini tak perlu memasang AC. ”Di bukit sebelah situ (sambil menunjuk arah timur) ada gudang senjata TNI. Aku sering main ke perbatasannya untuk merekam suara alam,” ujar Tesla pada Kamis (7/4/2022) sore yang mendung.
Lantai satu rumah itu adalah tempat kerja Asdid, seorang desainer interior, juga kamar tidur tanpa dinding mereka. Ada juga kamar mandi yang terletak tepat di bawah tangga sehingga atapnya miring. Di dinding kamar mandi itu tertera kutipan dari penulis Rainbow Rowell, yang terjemahan bebasnya, ”Seni tidak harus selalu terlihat indah. Seni semestinya membuatmu mampu merasa”. Coretan di kamar mandi biasanya ungkapan jujur pembuatnya.
Kalimat itu sepertinya yang menjadi mantra bagi Tesla mencurahkan karya musiknya di lantai dua. Hari-hari ini, dia sedang menyiapkan materi untuk proyek musik film dokumenter produksi BBC News sebanyak delapan episode. Tema dan judul filmnya masih dirahasiakan. ”Mereka menemukan musikku dari Spotify, lalu memintaku terlibat mengisi soundtrack untuk dokumenter mereka. Tenggatnya September ini, sih,” kata Tesla.
Lantai itu penuh dengan perangkat keseniannya. Ada seperangkat perkusi, satu set drum yang diciptakan khusus buatnya oleh Harry’s Drum Craft, semeja penuh synthesizer analog, serta komputer dan mixer audio. Ada pula celempung satu oktaf, juga piano tua bermerek Rosler.
Di dinding yang dipasangi ornamen pemecah gaung bikinan sendiri, Tesla menyelipkan kadedek, alat musik tiup dari Kalimantan yang bunyinya seperti akordion. Di lantai, sebuah selo bekas yang dia beli seminggu sebelumnya direbahkan. Gitar merek Moffa ada di sebelah selo itu.
”Cuma gitar itu yang tersisa. Enam lainnya sudah kujual,” kata pria berkacamata minus dua ini. Gitar kehijauan berbodi kecil itu yang paling sering dia bawa tur berkelana ke Eropa, AS, juga Jepang sejak dibeli pada 2012. Foto dia berpose dengan gitar sudah berulang kali dibuat. Makanya, ia enggan mengulanginya.

Tesla Manaf alias Kuntari meniup instrumen kornet di studionya di Awiligar, Kota Bandung.
Gitar adalah instrumen yang dia pelajari sejak kecil. Ayahnya memasukkan dia ke kursus gitar klasik. Pada umur 15 tahun, dia menjuarai festival Yamaha Classical Guitar Fiesta, yang kembali dia rebut setahun berikutnya. Namun, di tempat tongkrongan di Bekasi, Tesla remaja tidak pernah mengaku jago gitar.
”Di tongkrongan itu enggak ada yang tahu aku bisa main gitar. Kalau ngumpul, biasanya kami nyanyi-nyanyi lagu Padi, Ada Band, Dewa. Aku enggak bisa, tuh, menggenjreng lagu-lagu itu. Jadi, ya, diam-diam saja,” ujar anak bungsu dari dua bersaudara ini.
Di rumah, abangnya mencekoki dia dengan lagu-lagu metal, khususnya gayanu-metal, seperti Korn, Slipknot, Deftones, dan Coal Chamber. Sang ayah lebih sering menyetel lagu rock klasik 1970-an. Ibunya penyuka musik pop lawas. ”Jadi di rumah, setiap kamar punya musiknya sendiri. Pengaruh (musikku) beragam banget,” kata Tesla yang sesekali menyuapkan potongan wafer ke mulut Rakkika.
Bolos demi jazz
Kenyang bermain gitar klasik, dia menjajal main jazz, dan serius mempelajarinya dari kamar kosnya di bilangan Dago. Dia bahkan pernah bolos satu semester dari kampus demi mengulik cara bermain jazz selama sembilan jam sehari. Main gitar terus kerjanya.
Album jazzy perdananya berjudul Grace & Tesla keluar tahun 2010. Dekade ini adalah petualangannya di rimba jazz; bermain di panggung komunitas sampai festival. Label sohor asal New York, Moon June Records, pernah merilis albumnya. Nama Tesla Manaf makin moncer di kancah jazz dalam negeri, dan mulai merambah kancah internasional. Permainan jazznya kerap disebut melebar ke ranah progresif dan world music.
Pada 27 Desember 2017, Tesla manggung di Den Haag, Belanda. Setelah menghasilkan enam album jazz, pentas itu jadi penampilan terakhirnya sebagai gitaris jazz. Sekembalinya ke Tanah Air, 1 Januari 2018, dia memutuskan berhenti main jazz, dan terlebih lagi, berhenti main gitar.

Musisi dan produser Tesla Manaf alias Kuntari di studio musiknya di Awiligar, Kota Bandung.
”Dua puluh tiga tahun main gitar, jenuh juga. Bunyi yang keluar begini-begini lagi. Dari sudut pengaryaan, bunyi gitar enggak ngasih kejutan lagi,” ujar Tesla yang pernah diganjar predikat pendatang baru terbaik versi festival legendaris Jazz Goes to Campus 2015 ini.
Kata dia, banyak gitaris jazz senior yang menyayangkan keputusannya menggantung gitar. Ayahnya juga sempat kecewa. Namun, tekadnya sudah bulat. Tesla mau menjajal kancah musik elektronika. Perangkatnya sudah dia kumpulkan. ”Uangnya (untuk beli perangkat synthesizer dan lain-lain), ya, hasil dari gitar,” kataya terkekeh-kekeh.
Sama seperti ketika mengulik permainan jazz, Tesla menenggelamkan diri mempelajari seluk-beluk musik disko elektronika bergaya breakcore. Album Toija keluaran 2018 adalah jembatan antara genre lama dan barunya.
Di kancah musik yang baru dia tekuni ini, Tesla dapat beasiswa pendidikan musik elektronika di Berlin, Jerman, kota yang jadi kiblat genre ini. Dia sempat main bareng bersama musisi sanjungannya, Tigran Hamasyan dan Arthur Hnatek, di Pop-Kultur Festival 2018. Tesla makin meyakini keputusannya, dan segera memilih nama Kuntari untuk mewakili identitas barunya: musisi elektronik eksperimental.
Kuntari bergaul dengan pelaku bawah tanah, seperti Logic Lost, hingga bintang arus utama, seperti Random Brothers dan Dipha Barus. Selain rajin manggung, Kuntari juga memproduksi album, di antaranya Flex (2018) dan Rotation Plasty (2019).
Setelah merilis album Black Shirt Attracts More Feather (awal 2020) yang kelam dan kurang bersahabat bagi yang rentan serangan panik itu, Tesla semestinya tur ke Inggris dan Australia. Tetapi, pandemi Covid-19 mengurungkan perjalanan itu. ”Sekitar enam bulan pertama pandemi itu aku enggak nyentuh alat musik sama sekali,” katanya.
Bunyi aneh
Hingga suatu pagi, dia dapat ilham untuk mempelajari alat musik baru yang konon paling susah dipelajari, yaitu trompet. Pilihannya jatuh pada merek Yamaha YTR. Sebenarnya alat itu bernama kornet. Tesla menjelaskan, kornet adalah trompet tanpa ruang nada yang pasti—seperti gitar tanpa fret. Dia memilih itu agar leluasa membelokkan nada dan mendapat suara lebih bulat.
Dia mempelajari dasarnya, tetapi tak mengaplikasikannya dalam karya. Dia mencari bunyi ”aneh” yang justru dihindari peniup trompet kebanyakan. Dia punya ide menggabungkan gaya breakcore dengan instrumen baru ini, tapi menggunakan instrumen organik. Referensinya adalah neoklasikal ala Philip Glass dan hadrah kuntulan banyuwangian.
Gagasan itu dia tuangkan ke dalam abum Last Boy Picked (akhir 2021). Album yang direkam secara maraton dalam waktu tiga hari itu menyeruakkan suara-suara aneh dengan ketukan ritmis. Sesi ketukan dihasilkan dari tiga instrumen: perkusi, drum, dan gitar. Ya, di album ini, gitar dimainkan layaknya alat musik pukul, tak ada not yang dibunyikan.
Trek ”Grey White”, misalnya, dibuka dengan ketukan ritmis bariton dari gitar yang mengingatkan pada gaya permainan bas band nu-metal Korn. Di bagian tengah trek terdengar bunyi jeritan panjang. Jeritan itu bukan dari pita suara manusia atau hewan, melainkan dari kornet.
Album produksi bersama antara Grimloc Records dan Orang Cliff Records ini mendapat respons positif. Dua media arus utama, yakni majalah Tempo dan harian The Jakarta Post, menempatkan Last Boy Picked sebagai salah satu album terbaik tahun 2021. Dari sekian banyak album yang pernah dia bikin, baru di album ke-11 inilah dia mendapat pengakuan masif.

Musisi dan produser Tesla Manaf alias Kuntari di studio musiknya di Awiligar, Kota Bandung.
Namun, pengembaraannya belum berhenti. Pada 20 Maret lalu, Kuntari mengeluarkan single ”Larynx”. Di sini, Tesla mengeluarkan bunyi mengerikan, yang terinspirasi dari berahi hewan, melalui kornet. Bunyi itu dipadukan dengan permainan perkusi yang mengadopsi gaya musik sar ping (pengiring tari barongsai) dan hadrah kuntulan. Lagu ini adalah pratinjau dari album baru yang menurut rencana dikeluarkan tahun ini juga.
”Dalam karya eksperimental, narasi itu penting. Di ’Larynx’, narasinya adalah suara tertahan yang terkait berahi (mating). Berahi itu luar biasa, kadang menghasilkan aksi di luar nalar,” kata Tesla yang terinspirasi berat dari karya Raja Kirik dan Senyawa ini.
Bunyi kornet yang ditiup Tesla memikat komunitas metal di Bandung. Dia tampil di program Extreme Moshpit, program digital rintisan mendiang Ebenz, gitaris Burgerkill. ”Pengaruh (album) Last Boy Picked, Grimloc Records membuka peluang ke banyak hal, sih, kayak di kancah metal ini. Sepertinya, bakal main di salah satu rangkaian festival metal besar, nih,” kata Tesla bahagia.
Bagi Tesla, atau Kuntari, perubahan punya arti. Perubahan membuatnya bahagia, layaknya anak kecil yang keranjingan mainan baru. Seperti kutipan di kamar mandinya, karya baru Tesla mungkin tak terdengar indah buat sebagian orang, tetapi dia bisa merasakan kesenangan di kancah baru ini.
Biodata
Tesla Manaf Effendi
Lahir: Jakarta, 29 Agustus 1987
Pendidikan: Jurusan Bisnis FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung
Diskografi:
- Grace and Tesla (2010)
- Ivan & Tesla (2011)
- Tesla Manaf feat Mahagotra Ganesha (2011)
- A Man’s Relationship with His Fragile Area (2014)
- Rembah Pribumi (2016)
- Toija (2018)
- Flex (2018)
- Rotation Plasty (2019)
- Black Shirt Attracts More Feather (2020)
- Last Boy Picked (2021)
- Rural (2022)
- Pararatronic (2022)