Pemerintah Mau Bangun Industri Elpiji, Bagaimana Peluangnya?
Pada 2023, produksi elpiji di Indonesia hanya 1,98 juta ton atau jauh di bawah kebutuhan nasional yang 8,8 juta ton.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Impor energi, seperti pada komoditas minyak mentah, bahan bakar minyak (BBM), dan elpiji menjadi salah satu perhatian Bahlil Lahadalia setelah dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada Senin (19/8/2024). Apabila upaya menekan impor minyak mentah dan BBM amat bergantung pada produksi siap jual (lifting) minyak bumi nasional, bagaimana dengan elpiji?
Elpiji atau liquified petroleum gas (LPG) ialah gas yang dicairkan dengan komponen utama propana (C3H8) dan butana (C4H10). Artinya, diperlukan persentase minimum tertentu dari propana dan butana agar dapat diekstraksi untuk menjadi elpiji. Berbeda dengan gas alam (natural gas/metana) yang diproduksi di lapangan gas, elpiji diperoleh dari lapangan minyak yang juga menghasilkan gas.
Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2023, produksi elpiji di Indonesia hanya 1,98 juta ton atau jauh di bawah kebutuhan nasional yang 8,8 juta ton. Tingginya penggunaan elpiji di Indonesia tidak terlepas dari sifatnya yang praktis karena dapat dikemas dalam tabung. Elpiji 3 kilogram (kg) juga menjadi andalan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan rumah tangga.
Kondisi defisit tersebut mau tidak mau harus diatasi dengan impor. Menjadi komoditas andalan untuk memasak mayoritas warga, volume impor elpiji pun meningkat dari tahun ke tahun, yakni 5,57 juta ton pada 2018; 5,71 juta ton 2019; 6,4 juta ton 2020; 6,34 juta ton 2021; 6,74 juta ton 2022; dan 6,9 juta ton 2023, sebagaimana data Kementerian ESDM.
Atas dasar itu, Kementerian ESDM mulai mendorong dibangunnya industri elpiji nasional. Salah satunya ialah untuk menjaga keseimbangan ekonomi dan mengurangi defisit pada neraca perdagangan dan devisa negara. Pasalnya, menurut laporan Kementerian ESDM, setiap tahun, devisa negara terkuras senilai Rp 450 triliun untuk mengimpor migas, termasuk elpiji di dalamnya.
Pakar migas yang juga Guru Besar Bidang Perminyakan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Topan Herianto, dihubungi Sabtu (14/9/2024), menilai positif rencana pembangunan industri elpiji nasional. Dari aspek kepastian pasar atau konsumen, tak perlu diragukan karena jumlah pengguna elpiji di Indonesia terus meningkat.
Selama ini, pemanfaatan butana dan propana, yang dihasilkan dari lapangan minyak, memang belum optimal. Lantaran terpecah-pecah, pengembangannya kerap dianggap kurang ekonomis. Alhasil, gas yang diproduksi bersama minyak tersebut kerap hanya dibakar (flare) ataupun untuk gas lift atau diinjeksikan guna membantu mengangkat minyak dari sumur.
Apabila serius hendak membangun industri elpiji untuk menekan impor, maka potensi propana dan butana perlu segera diinventarisasi, terutama dari sejumlah lapangan minyak di Indonesia. ”Juga bagaimana due dilligence (penilaian secara menyeluruh dan tuntas) dilakukan. Kebijakan energi penting untuk jangka panjang,” kata Topan.
”Mini plant”
Inventarisasi, imbuh Topan, nantinya dapat dilanjutkan dengan pembuatan LPG plant dengan bahan baku berasal dari lapangan-lapangan minyak yang ada di Indonesia. Pembangunan LP plant, menurut dia, dapat mulai dilakukan dengan skala kecil (mini plant). Apabila terencana dengan matang, optimalisasi propana dan butana di Indonesia dapat menekan impor elpiji.
Mengutip laman PT Pertamina (Persero), masyarakat Indonesia telah diperkenalkan dengan elpiji Pertamina, dengan merek Elpiji, sejak 1968. Awalnya, elpiji dipasarkan Pertamina guna memanfaatkan produk samping pengolahan minyak di kilang. Juga, sebagai bahan bakar alternatif memasak yang lebih bersih ketimbang minyak tanah. Namun, lama-kelamaan elpiji kian digemari karena sifatnya yang praktis.
Sejak 2007, pemerintah resmi menggulirkan program konversi minyak tanah ke elpiji. Saat ini, penyaluran elpiji di Indonesia didominasi tabung 3 kg atau elpiji melon yang disubsidi pemerintah. Tak hanya dimanfaatkan kalangan rumah tangga, elpiji melon, karena praktis untuk dibawa, juga menjadi andalan para pelaku UMKM, termasuk pedagang kaki lima.
Sebelumnya, Bahlil mengemukakan pemanfaatan potensi propana dan butana perlu dilakukan guna menekan impor elpiji. Selama ini, besarnya impor migas, termasuk elpiji, telah berdampak langsung pada neraca perdagangan dan pembayaran negara. Oleh karena itu, pembangunan industri domestik dinilai menjadi solusi tepat untuk mengurangi beban tersebut.
Pengembangan industri elpiji tersebut dibarengi dengan peningkatan infrastruktur pipa gas bumi (gas alam), yang juga bakal mendukung penambahan sambungan jaringan gas perkotaan (jargas). Apabila pipa transmisi gas dari Aceh hingga Jawa Timur tersambung, gas bumi Indonesia dapat lebih dioptimalkan, termasuk untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat.
”Ini sebagai bagian daripada instrumen untuk memediasi ketika gas kita di Jawa lebih banyak, bisa kita kirim ke Aceh atau ke Sumatera. Atau, (saat) gas kita di Sumatera lebih banyak, maka bisa dikirim ke Pulau Jawa,” kata Bahlil, Rabu (11/9/2024).
Akan tetapi, rencana Bahlil melanjutkan pembangunan infrastruktur pipa gas terhambat penganggaran RAPBN 2025. Rencana kerja dan anggaran Kementerian ESDM 2025, sebesar Rp 10,88 triliun untuk 2025, hanya disetujui Rp 3,90 triliun oleh Badan Anggaran DPR RI. Anggaran pipa gas Cirebon-Semarang tahap II dan Dumai-Sei Mangkei di Sumatera, senilai lebih dari Rp 4 triliun, tidak disetujui.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (12/9/2024), Bahlil mengatakan menerima keputusan itu. Namun, ia kesal karena pipa gas penting untuk penyediaan energi untuk masyarakat. Komisi VII DPR dan Bahlil akhirnya sepakat tetap melanjutan proyek pipa gas. Adapun anggaran diusulkan dari instansi pengelola PNBP Minerba (penjualan hasil tambang).
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, dikeluarkannya anggaran untuk pipa transmisi gas Cisem tahap II dan Dumai-Sei Mangkei menjadi indikator infrastruktur energi belum menjadi prioritas. Padahal, ada persoalan ketidakseimbangan supply and demand gas. Misalnya, Jawa Timur yang surplus dan Jawa Barat yang defisit.
Di sisi lain, pembiayaan non APBN sulit diandalkan karena cenderung tak menarik bagi investor. ”Skema KPBU (kerja sama pemerintah dengan badan usaha) juga sulit diharapkan untuk mendorong realisasi pengembangan infrastruktur (energi). Sebab, dukungan pemerintah dalam hal ini sangat terbatas. Keputusan akhir tetap bergantung pada hitugan bisnis pelaku usaha,” kata Pri Agung.