Ketidakpastian akibat Pertarungan Politik ”Menyandera” Dunia Usaha
Pertarungan politik yang intens menimbulkan ketidakpastian yang berlarut-larut sehingga menyandera dunia usaha.
Dinamika politik yang intens selama setahun belakangan, mulai dari tahapan pemilihan presiden-wakil presiden pada akhir 2023 hingga pemilihan kepala daerah serentak yang pemungutannya baru digelar 27 November 2024, menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha yang sarat dan panjang. Sementara perekonomian nasional tengah menghadapi tekanan.
Tekanan ekonomi tersebut, antara lain, terlihat dari daya beli masyarakat yang melemah. Salah satu tandanya adalah Indonesia mengalami deflasi berturut-turut sejak Mei sampai Agustus 2024. Deflasi empat bulan berturut-turut secara bulanan ini pertama kali terjadi sejak 1999 atau 25 tahun terakhir.
Baca juga: Ekonomi Triwulan III Lebih Menantang, Antisipasi Pertumbuhan di Bawah 5 Persen
Linier dengan tren itu, industri juga lesu. Indeks Manajer Pembelian atau Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada periode Agustus 2024 berada di level 48,9. Posisi ini melanjutkan tren kontraksi PMI Manufaktur Indonesia yang dimulai Juli yang ada di level 49,3. Angka di bawah 50 menunjukkan kondisi usaha tengah terkontraksi, sebaliknya angka di atas 50 menunjukkan ekspansi usaha.
Di saat permintaan dan pasokan lemah, penyesuaian mau tidak mau dilakukan. Salah satunya adalah efisiensi tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, 32.064 pekerja menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) pada semester I-2024. Jumlah ini naik 21,45 persen dibandingkan periode yang sama pada 2023.
Keadaan ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
PHK terjadi di berbagai provinsi. Angka PHK terbanyak terjadi di Jakarta, yakni 7.469 orang. Menyusul kemudian adalah Banten sebanyak 6.135 orang dan Jawa Barat sebanyak 5.155 orang. Jumlah PHK di Kementerian Ketenagakerjaan terbatas yang dilaporkan. Artinya, jumlah PHK sebenarnya besar kemungkinan lebih banyak.
”Keadaan ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” ujar CEO Wyrsolution, Theodorus Wiryawan, pada Afternoon Tea - Kompas Collaboration Forum (KCF) di Jakarta, Jumat (13/9/2024). Pertemuan itu mengusung tema, "Pemilihan Kepala Daerah dan Kemajuan Pembangunan Daerah".
KCF adalah forum yang diselenggarakan Harian Kompas untuk mengakomodasi kebutuhan informasi para pimpinan perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Afternoon Tea merupakan salah satu forum pertemuan yang mempertemukan para pimpinan perusahaan sebagai anggota KCF dengan narasumber relevan untuk saling berbagi informasi.
Indikator lain yang menunjukkan ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja, menurut Wiryawan, berasal dari data keuangan. Dari 574 juta rekening dengan akumulasi dana mencapai Rp 8.300 triliun, 98 persen di antaranya mengalami penurunan saldo.
Baca juga: Manufaktur Anjlok Makin Dalam
Rasio kredit macet pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) saat ini sudah berkisar 4,7 persen. Defisit transaksi berjalan juga melebar, dari 1,9 miliar dollar AS atau 0,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada triwulan II-2023 menjadi 3 miliar dollar AS atau 0,9 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada triwulan II-2024.
Ia juga menyinggung naiknya rasio kredit macet di sektor properti, terutama untuk rumah di bawah harga Rp 2 miliar. Tekanan juga terjadi pada industri otomotif. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan bahwa penjualan sampai pertengahan 2024 tidak di jalur pencapaian target.
”Memang ada penambahan uang beredar dan konsumsi, tetapi juga ada cost line atau investasi itu jadi tertahan. Itu terjadi bukan hanya pilpres sekarang, semua pilpres cenderung seperti itu,” katanya.
Senafas dengan pasar
Wiryawan berpendapat, perekonomian domestik masih terbilang cukup kuat dan solid dilihat dari kinerja sektor perbankan. Kondisi tersebut pada gilirannya membawa masuk investasi portofolio asing yang akan turut menjadi bantalan bagi perekonomian domestik. Oleh karena itu, ketahanan eksternal harus dijaga.
”Ketahanan eksternal harus dijaga. Jadi, kalau pemerintahan politik, berani melawan kecenderungan pasar, itu bahaya. Karena apa? Bukan (pada) daya beli (dampaknya), melainkan investasi,” tuturnya.
Jadi, kalau pemerintahan politik, berani melawan kecenderungan pasar, itu bahaya. Karena apa? Bukan (pada) daya beli (dampaknya), melainkan investasi.
Selama arah kebijakan politik kondusif untuk pasar, Wiryawan menekankan, daya beli masyarakat dapat terungkit kembali. Dengan demikian, titik beratnya bukan pada dinamika pilkada, melainkan arah kebijakan yang akan diambil oleh pemimpin, baik di level daerah maupun pusat.
Garis kebijakan pimpinan politik nasional dan daerah mesti sinkron. Artinya, gagasan presiden terpilih semestinya sampai kepada kepala daerah yang akan dipilih pada pilkada serentak 27 November 2024 mendatang.
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Bob Azam, pada kesempatan sama, menyampaikan, dunia usaha sangat merasakan ketidakpastian. Apalagi, mereka harus menunggu proses pemilu tuntas dari masa pilpres Februari 2024 tetapi baru dilantik Oktober 2024, lalu November 2024 baru dilakukan pilkada serentak yang belum tahu berapa putaran.
”Memberikan stabilitas politik atau tidak itu nanti? Di tengah dinamika politik, kami berharap dari waktu ke waktu ada transformasi politik yang lebih sehat dan situasi kondusif. Karena, kami dari dunia usaha menilai situasi politik bisa menjadi salah satu faktor daya saing (Indonesia dengan negara lain),” tuturnya.
Baca juga: Lemahnya Daya Beli Masyarakat "Mengalir Sampai Jauh"
Tekanan ekonomi yang sekarang terjadi, seperti daya beli melemah dan PMI Manufaktur Indonesia yang merosot, lanjut Bob, butuh aksi solutif segera. Jika dunia usaha harus menunggu dari pemilu ke pelantikan, itu menimbulkan ketidakpastian tinggi.
”(Belum lagi), kita tahu presiden baru mempunyai menteri-menteri dan kebijakan baru. Justru yang kita harapkan kepastian malah ada ketidakpastian. Jadi panjang (efeknya ke industri),” katanya.
Investasi
Presiden Commisioner PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk, Anton Joenoes Supit, kadar ketidakpastian tahun politik semakin intens dengan adanya guncangan-guncangan politik, seperti perubahan kebijakan oleh Mahkamah Konstitusi. Ketidakpastian ini juga membuat investor yang mendukung kegiatan usaha di daerah cenderung wait and see, terlebih pada hasil pilkada yang baru akan diketahui di akhir 2024.
”Investor akan datang ke Indonesia, baru dia memilih, saya mau di Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, atau di Sulawesi. Nah, tentunya tidak kalah penting siapa yang jadi kepala daerah di sana, kan. Ini juga menunggu pilkada, kan,” katanya.
Terhambatnya investasi, menurut Anton, akan berfek domino pada pembukaan lapangan kerja. Situasi ini berakibat pada daya beli masyarakat yang saat ini sudah lemah menjadi makin lemah.
Baca juga: Pengangguran Anak Muda Global Turun, Asia Tenggara Sebaliknya
Terkait kepastian berinvestasi juga menjadi perhatian Presiden Direktur PT Tri Mulia Agung, Johnny Darmawan Danusasmita. Ia menilai, para investor telah merasakan panjangnya ketidakstabilan politik di Indonesia sejak masa pemilu 2024. Apalagi, pada saat bersamaan, investor melihat sejumlah perubahan kebijakan berlangsung cepat.
”Jadi, kalau investor yang sudah masuk, mereka merasakan, kok, banyak sekali kebijakan-kebijakan yang berubah cepat? Pemerintah itu tahu (akan berdampak pada) ketidakpastian, tetapi kenapa, kok, terjadi terus? Peraturan dalam waktu 2-3 bulan bisa berubah,” tuturnya.
Para investor terkemuka, Johnny melanjutkan, tengah menanti peralihan pemerintahan apakah berjalan mulus atau tidak, atau sejauh apa perbedaan gaya kepemimpinan lama dengan yang baru. Tak hanya itu, mereka juga akan menilai susunan kabinet mendatang apakah akan diisi oleh orang-orang kompeten yang mampu mengatasi masalah yang terjadi sekarang ini atau sebatas bagi-bagi kekuasaan.
”Jadi peta jalan ke depan bagaimana untuk mengatasi situasi sekarang sedang terjadi ? Kelas menengah sedang turun, daya beli turun, bagaimana membangkitkan ini karena kalau tak ada pasar, tak ada pembeli. Siapa yang mau masuk ke Indonesia?” katanya.
Baca juga: Pilkada Serentak 2024 Diyakini Bakal Jadi Lokomotif Ekonomi Jatim
Sementara itu, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Franciscus Welirang, menyatakan, masa pilpres disambung pilkada yang panjang membuat pemerintah tidak bisa cepat dan efektif mengatasi masalah ekonomi yang belakangan ini banyak ditimbulkan situasi geopolitik dan ekonomi global. Pemerintahan sekarang juga terkesan sibuk dengan periode transisi.
Situasi geopolitik yang tidak menentu, seperti perang Ukraina-Rusia dan Israel-Hamas, telah berdampak langsung pada perdagangan komoditas yang dibutuhkan pengusaha dalam negeri. ”Ini ada dampaknya ke energi, komoditas, juga logistik lewat laut. Bagi industri, dampaknya kepada kebutuhan bahan baku yang perlu impor,” tuturnya.
Jika pemilu kali ini belum bisa memberikan kepastian, ia menambahkan, pengusaha harus melakukan penyesuaian sendiri untuk memastikan keberlanjutan ekonomi. Kepastian yang dimaksud merujuk pada sosok-sosok yang mengisi kabinet periode 2024-2029 maupun kebijakannya.
Sampai akhir 2024
CEO Sreeya, Sungkono Sadikin, menambahkan, para pengusaha sedang berkonsolidasi menunggu perubahan kebijakan pemerintahan periode 2024-2029. Sikap wait and see pengusaha diperkirakan berlanjut hingga akhir 2024.
Hal terpenting bagi kalangan pengusaha, Sungkono melanjutkan, ialah bukan pada perubahan rezim, melainkan stabilitas dari situasi ekonomi dan politik. Guncangan politik, seperti saat ramai-ramai pembahasan Revisi Undang-Undang Pilkada, menimbulkan sentimen negatif.
”Pada dasarnya, kalau dari pengusaha, perubahan rezim apapun itu bagian dari demokrasi. Kita jalani. Hal terpenting ada kesinambungan antara satu program dengan program sebelumnya. Perubahan itu boleh saja, tetapi jangan sampai menimbulkan gejolak yang mengganggu stabilitas,” tuturnya.
Para pengusaha sedang berkonsolidasi menunggu perubahan kebijakan pemerintahan periode 2024-2029. Sikap wait and see pengusaha diperkirakan berlanjut hingga akhir 2024.
Direktur PT Triputra Agro Persada Tbk, Budiarto Abadi, mengatakan, meski sektor komoditas, seperti kelapa sawit, relatif tidak terlalu terdampak ketidakpastian ekonomi dan politik, industri pengolahan sawit tetap perlu dukungan pemerintah agar tetap tumbuh berkelanjutan. Alasannya, ada jutaan petani menggantungkan hidup dari industri sawit.
Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, yang hadir sebagau salah satu narasumber pada Afternoon Tea KCF, mengatakan bisa memahami persoalan yang disampaikan para pelaku usaha. Rentang waktu dari pelaksanaan pilpres ke pelantikan presiden-wakil presiden selama delapan bulan itu merupakan antisipasi jika terjadi dua putaran pilpres.
”Kalau terkait pilkada, semangat pilkada serentak adalah agar pembangunan linier, mengurangi kegaduhan, dan ongkos. Saya sepakat memang durasinya harus dipercepat supaya ada kepastian hukum/status politik,” kata dia.
Baca juga: Kabinet Besar Prabowo dan Implikasinya untuk Ruang Fiskal Pemerintah
Sementara Wakil Ketua Umum Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzilly menambahkan, pihaknya percaya Presiden terpilih Prabowo Subianto sudah mengetahui kondisi tekanan ekonomi yang dialami industri dan masyarakat. Regulasi dasar telah diletakkan oleh Presiden Joko Widodo, seperti UU Cipta Kerja, sehingga semestinya dapat dilakukan secara konsisten pada pemerintahan mendatang.
”Pasti, beliau (Prabowo Subianto) sangat menyadari. Berbagai regulasi ekonomi dan pemerintahan yang efektif akan dilakukan untuk menggerakkan perekonomian yang stabil,” ucapnya. (MED/AGP/ERK/AVE)