Kondisi Dunia Usaha Terpuruk, Penurunan Suku Bunga Acuan Genting
Kinerja sektor riil sedikit terhenti karena perusahaan menahan ekspansi usaha, sedangkan masyarakat menahan konsumsi.
JAKARTA, KOMPAS — Dunia usaha mengharapkan pelonggaran kebijakan moneter seiring arah kebijakan suku bunga global dan mempertimbangkan kondisi ekonomi domestik yang terindikasi melambat. Penurunan suku bunga acuan tersebut pada gilirannya akan mendorong ekspansi dunia usaha dan menggerakkan ekonomi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyampaikan, pernyataan terakhir dari bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), telah mengindikasikan pemangkasan suku bunga acuan pada September 2024. Kondisi tersebut diharapkan turut mendorong Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuannya.
”Jadi, BI pun seharusnya bisa lebih leluasa menurunkan suku bunga pada RDG (Rapat Dewan Gubernur BI) berikutnya. Kami pun sangat mendukung apabila BI dapat segera menurunkan suku bunga acuan karena ini akan sangat positif menstimulasi kinerja sektor riil,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (13/9/2024).
Selama ini, tingginya tingkat suku bunga acuan sangat membebani para pelaku usaha lantaran berpengaruh terhadap kredit usaha dan kredit retail. Selain itu, suku bunga tinggi turut mengakibatkan beban pembiayaan usaha meninggi dan tidak kompetitif.
Sebelum era suku bunga tinggi, suku bunga pinjaman usaha di Indonesia menjadi salah satu yang termahal di antara negara-negara ASEAN-5 sehingga membuat industri nasional kurang kompetitif. Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan era suku bunga acuan tinggi.
”Perusahaan juga banyak yang menahan diri melakukan ekspansi usaha karena khawatir debt repayment-nya akan sulit mengingat beban bunga yang tinggi. Bank juga lebih selektif memberikan pinjaman karena khawatir risiko kredit macetnya meningkat,” kata Shinta.
Ia menambahkan, dari sisi konsumen, tingginya bunga acuan cenderung berdampak negatif terhadap daya beli (penurunan discretional income) karena beban pembayaran utang rumah tangga meningkat. Akibatnya, kinerja ekonomi sektor riil sedikit terhenti karena dari sisi penawaran (supply), perusahaan menahan ekspansi usaha, sedangkan dari sisi permintaan (demand) masyarakat menahan konsumsi.
Masyarakat yang pendapatannya Rp 2 juta-Rp 9 juta itu segmen yang paling suffer sekarang. Padahal, mereka itu yang produktif, yang menggerakkan ekonomi, tetapi ironisnya mereka yang paling kurang mendapatkan bantuan.
Penurunan konsumsi tersebut tecermin dalam Survei Konsumen BI Agustus 2024. Proporsi konsumsi terhadap pendapatan (average propensity to consume ratio) turun 0,3 persen dibandingkan bulan lalu menjadi 73,5 persen, sedangkan proporsi cicilan terhadap pendapatan (debt to income ratio) meningkat 0,2 persen dibandingkan bulan lalu menjadi 10,9 persen.
Terpisah, Vice President Director PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Bob Azam mengatakan, hampir bisa dipastikan BI akan memangkas suku bunga acuan mengikuti langkah The Fed. Lebih daripada itu, melemahnya daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, juga perlu menjadi perhatian.
”Masyarakat yang pendapatannya Rp 2 juta-Rp 9 juta itu segmen yang paling suffer sekarang. Padahal, mereka itu yang produktif, yang menggerakkan ekonomi, tetapi ironisnya mereka yang paling kurang mendapatkan bantuan. Harapannya, kebijakan pemerintah baru lebih memperhatikan mereka,” katanya saat ditemui di Kantor Kompas, Jakarta.
Bob yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo menyebut, daya beli kelas menengah dapat distimulus dengan kebijakan relaksasi sektor-sektor tertentu, seperti sektor perumahan dan otomotif. Kebijakan tersebut, antara lain dengan memberikan suku bunga kredit yang lebih rendah atau dengan memberikan keringanan pajak.
Chief Executive Officer (CEO) Ottodigital Theodorus Wiryawan menambahkan, dunia usaha mengharapkan BI dapat menurunkan suku bunga acuannya. Penurunan tersebut akan membuat bunga pinjaman turun sehingga berdampak positif bagi dunia usaha.
”Kalau suku bunga turun, akan mendorong sedikit perekonomian. Selain itu, penurunan suku bunga juga bagus untuk kelas menengah, artinya suku bunga untuk bayar cicilan tidak naik, terutama untuk kredit sektor properti dan otomotif,” tuturnya saat ditemui di Kantor Kompas, Jakarta.
Baca juga: Daya Beli Kelas Menengah Bisa Semakin Lemah karena Kebijakan Pemerintah
Wiryawan memaparkan, kondisi ekonomi kelas menengah sedang tidak baik-baik saja tampak dari deflasi yang terjadi selama empat bulan terakhir dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, meningkatnya kredit macet (nonperforming loan) sektor properti dan penurunan penjualan mobil turut menjadi indikasi pelemahan daya beli kelas menengah.
Mendesak diturunkan
Selain dari dunia usaha, dorongan agar BI memangkas suku bunga acuannya juga disampaikan para ekonom. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, posisi perekonomian akan semakin terkontraksi tidak hanya dari sisi fiskal, tetapi juga dari sisi kebijakan moneter apabila suku bunga acuan terus dipertahankan tinggi.
Selain itu, kebijakan moneter turut membebani fiskal. Kenaikan BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25 persen pada April telah menyebabkan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) naik lebih tinggi. Kenaikan tersebut kemudian membuat beban fiskal meningkat lantaran anggaran yang dialokasikan untuk membayar SBN lebih besar.
”Kebijakan moneter yang dikeluarkan BI bisa berdampak pada beban fiskal. Kebijakan moneter ternyata dapat membuat anggaran fiskal terkontraksi,” katanya dalam diskusi daring bertajuk Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat, Kamis (13/9/2024).
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menambahkan, suku bunga acuan telah menjulang tinggi sejak September 2023. Dengan adanya sinyal kuat penurunan suku bunga dari negara maju, BI memiliki ruang untuk memangkas suku bunga acuannya mengingat penurunan tersebut saat ini dibutuhkan.
Ada tanda-tanda pertumbuhan ekonomi melambat. Triwulan I-2024, ekonomi masih bisa tumbuh 5,1 persen, lalu triwulan II-2024 tumbuh 5,05 persen, ini tanda bahaya, dan triwulan III-2024 jangan sampai terjun di bawah 5 persen. Indef melihat ada tanda-tanda tumbuh di bawah 5 persen.
Selain itu, tensi geopolitik global pun terindikasi mereda meski memang belum stabil. Blackrock Geopolitical Risk Indicator menunjukkan, indeks risiko secara agregat berada di bawah 0,5 selama setahun terakhir.
”Rupiah yang bahkan menguat hingga Rp 15.400 per dollar AS sebetulnya semakin menunjukkan kita perlu merespons secara cepat dan propper dalam memanfaatkan momentum guna menggerakkan perekonomian,” kata Eko
Apalagi hal ini turut didukung dengan cadangan devisa yang per Agustus 2024 telah menembus angka 150 miliar dollar AS atau tertinggi sepanjang sejarah. Dengan demikian, cadangan tersebut dapat menjadi bantalan apabila terjadi fluktuasi ekonomi global.
Eko menegaskan, kebijakan makroprudensial BI belum cukup memberikan stimulus kepada sektor riil. Oleh sebab itu, dibutuhkan relaksasi kebijakan moneter mengingat sektor riil membutuhkan sinyal untuk memulai ekspansi sekaligus memberikan ekspektasi arah ekonomi ke depan.
”Ada tanda-tanda pertumbuhan ekonomi melambat. Triwulan I-2024, ekonomi masih bisa tumbuh 5,1 persen, lalu triwulan II-2024 tumbuh 5,05 persen, ini tanda bahaya, dan triwulan III-2024 jangan sampai terjun di bawah 5 persen. Indef melihat ada tanda-tanda tumbuh di bawah 5 persen,” tuturnya.
Selain itu, kebijakan moneter juga akan memberikan sinyal untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen. Apalagi, di tengah masa transisi pemerintah dan tekanan fiskal, pemangkasan suku bunga dapat menjadi pemanis bagi optimisme perekonomian.
Baca juga: Penurunan Suku Bunga Tidak Otomatis Dongkrak Daya Beli
Terpisah, ekonom senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Ryan Kiryanto mengatakan, ada dua kemungkinan arah kebijakan BI, yakni mempertahankan suku bunga acuan atau menurunkannya 25 bps. Penurunan tersebut mempertimbangkan indikasi perlambatan ekonomi pada semester II-2024.
”Ini terlihat dari empat bulan berturut-turut deflasi, kemudian dua bulan berturut-turut PMI (Indeks Manajer Belanja/Purchasing Manager Index) berada di ambang batas 50, dan pada Juli-Agustus 2024 berada di bawah ambang batas ekspansi. Ketiga, hampir pasti The Fed akan menurunkan suku bunga karena angka pengangguran AS sudah 4,3 persen,” ujar Ryan saat ditemui di Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Menurut dia, beberapa indikator telah menunjukkan sinyal kuat kecenderungan kegiatan konsumsi masyarakat turun atau melemah. Dengan penurunan suku bunga acuan menjadi 6 persen, dunia usaha dan masyarakat akan terstimulus untuk mengajukan kredit.
”Kemarin (BI) sudah pro stability, rupiah menguat, inflasi sudah terkendali, saatnya mungkin BI pro growth. Istilahnya, saatnya BI menyajikan jamu manis,” kata Ryan.
Baca juga: Ekonom dan Bankir: Penurunan Suku Bunga Acuan Geliatkan Sektor Riil