Kabinet Besar Prabowo dan Implikasinya untuk Ruang Fiskal Pemerintah
Dana cadangan Rp 491 triliun yang tersisa di RAPBN ”diperebutkan”. Anggaran untuk antisipasi guncangan ekonomi menipis.
Satu minggu menjelang disahkannya Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, situasi masih serba tidak pasti. Jumlah kementerian dan lembaga yang belum jelas di era pemerintahan Prabowo Subianto membuat pembahasan anggaran ikut menggantung.
Untuk mengantisipasi potensi bertambahnya jumlah kementerian dan lembaga (K/L) itu, pemerintahan Joko Widodo pun menyiapkan ruang anggaran cadangan dalam pos program pengelolaan belanja lainnya.
Baca juga: Seusai Sri Mulyani Bertemu Prabowo, Belanja Kementerian di RAPBN 2025 Naik Lagi
Dana cadangan itu juga disebut sebagai dana dikresioner (discretionary funds) alias dana yang dapat digunakan untuk kebutuhan tertentu di masa mendatang. Penggunaan dana itu menjadi diskresi pemerintahan baru disertai konsultasi dengan DPR.
Awalnya, dana cadangan yang disediakan dalam RAPBN 2025 itu sebesar Rp 665,1 triliun. Namun, setelah presiden terpilih Prabowo Subianto meminta untuk memprioritaskan anggaran bagi sejumlah program unggulannya (quick win), jumlah dana cadangan itu turun cukup tajam.
Pada perubahan pertama, dana tersebut turun menjadi Rp 556,6 triliun karena terpakai untuk membiayai program unggulan Prabowo. Selang satu minggu, terjadi perubahan lagi. Dana cadangan pun turun jadi Rp 491,2 triliun. Lagi-lagi, dana itu terpakai untuk menambah anggaran sejumlah K/L yang akan menjalankan program unggulan Prabowo.
Dengan demikian, saat ini, dana cadangan yang ada dalam pos belanja lain-lain tersisa Rp 491,2 triliun. Salah satunya untuk mengantisipasi penambahan K/L dan ”koalisi gemuk” di kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran.
Yang penting, anggarannya sudah kami siapkan terlebih dahulu sehingga kalau ada pemisahan K/L atau K/L baru nantinya bisa langsung bekerja.
Seperti kata Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono, ruang anggaran untuk mengantisipasi penambahan K/L-K/L itu sudah disiapkan di RAPBN 2025.
”Semua sudah dikoordinasikan. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan sudah harmonisasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokarsi. Supaya apa pun yang akan diputuskan oleh presiden terpilih nanti akan bisa dilakukan sesuai anggaran,” kata Thomas, Rabu (11/9/2024).
Bertambah signifikan
Belakangan ini, beredar informasi bahwa jumlah kementerian dan lembaga di pemerintahan Prabowo-Gibran akan bertambah menjadi 44 K/L, bahkan menjadi 51 K/L. Dengan demikian, ada potensi penambahan 10-17 K/L baru. Jumlah yang signifikan dan membutuhkan ruang anggaran yang signifikan pula.
Thomas belum bisa memastikan berapa jumlah K/L yang pasti di kementerian Prabowo karena hal itu masih berproses. Namun, ia memastikan ruang fiskal untuk itu sudah tersedia.
”Ini prosesnya masih berlanjut. Kalau tidak salah, minggu depan DPR akan menentukan. Jadi, kita tunggu saja. Tentunya bahasan seputar itu (penambahan K/L) sudah ada dan sudah dikoordinasikan,” katanya.
Baca juga: Pemerintahan Jokowi Pakai Cadangan Belanja untuk Biayai Program Prabowo
Hal senada dikatakan Ketua Badan Anggaran DPR dari Fraksi PDI-P Said Abdullah. Said mengatakan, ruang anggaran dalam pos belanja lain-lain itu sudah disiapkan dan bisa digunakan jika Prabowo kelak memutuskan untuk menambah jumlah K/L di pemerintahannya.
”Yang penting, anggarannya sudah kami siapkan terlebih dahulu sehingga kalau ada pemisahan K/L atau K/L baru nantinya bisa langsung bekerja,” katanya.
Berhubung alokasi anggaran cadangan masuk dalam Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN), bukan di bawah bagian anggaran K/L tertentu, penggunaannya nanti tidak perlu melalui proses pembahasan APBN Perubahan yang panjang dengan DPR.
”Untuk menggeser (anggaran) itu nanti cukup persetujuan pemerintah dengan mitra kerja di setiap komisi di DPR saja. Jadi, tidak perlu APBN Perubahan, tidak perlu mengubah postur, presiden bisa langsung kerja,” ujarnya.
”Berebut” anggaran
Tantangannya, dana cadangan Rp 491,2 triliun itu sejatinya bukan hanya disisihkan untuk antisipasi kebutuhan anggaran K/L baru. Cadangan di pos belanja lain-lain itu juga dibutuhkan untuk banyak kebutuhan lain.
Misalnya, sebagai ”dana darurat” mengantisipasi jika terjadi bencana, risiko fiskal akibat gejolak ekonomi global, dan kebutuhan lain yang mendesak.
Banyaknya kebutuhan tak terduga di tengah ruang anggaran yang sempit itu membuat dana belanja lain-lain di RAPBN 2025 semakin menipis.
Tak hanya itu, kas cadangan itu bahkan juga dilirik untuk menambah anggaran bagi K/L lain yang sudah ada yang belum puas dengan alokasi anggarannya. Dalam rapat kerja antara Komisi VI DPR dan Kementerian Investasi, Kamis (12/9/2024), misalnya, muncul wacana untuk menggunakan sebagian dana cadangan itu untuk menambah anggaran Kementerian Investasi.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar M Sarmuji untuk menanggapi keluhan Menteri Investasi Rosan Roeslani mengenai alokasi anggaran kementeriannya yang turun signifikan sebesar 44,53 persen.
Pada RAPBN 2025, Kementerian Investasi mendapat alokasi anggaran Rp 681,8 miliar, turun dari anggaran tahun 2024 yang sebesar Rp 1,22 triliun. Rosan pun meminta tambahan senilai Rp 889,3 miliar lagi agar total anggarannya menjadi Rp 1,57 triliun. Sarmuji mengusulkan, tambahan itu bisa diambil dari dana cadangan belanja lain-lain.
”Saya mendengar dari perbincangan informal, ada anggaran yang masih disimpan di dalam BUN (dana cadangan bendahara umum negara) yang memang dialokasikan untuk penyesuaian ke depan,” kata Sarmuji.
Baca juga: Jokowi Alokasikan Rp 632 Triliun di RAPBN 2025 untuk Politik Anggaran Prabowo
APBN jadi rentan
Banyaknya kebutuhan tak terduga di tengah ruang anggaran yang sempit itu membuat dana belanja lain-lain di RAPBN 2025 semakin menipis. Dana cadangan yang seharusnya bisa dipakai untuk mengantisipasi berbagai ketidakpastian ekonomi ke depan akhirnya terpakai untuk perombakan organisasi dan kebutuhan politik rezim baru.
”Anggaran lain-lain dalam RAPBN ini akhirnya sering dimanfaatkan sebagai ruang fleksibel untuk menyembunyikan atau mengalokasikan dana secara terselubung, rentan dipakai untuk memenuhi kepentingan politik pemerintah,” kata Direktur Kebijakan Publik Center of Economics and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar, Jumat (13/9/2024).
Ia khawatir, alokasi dana cadangan di pos belanja lain-lain itu bisa dimanfaatkan untuk memenuhi tuntutan politik, misalnya memperkuat barisan koalisi serta menciptakan kementerian dan badan baru sesuai manuver politik para elite.
”Ini menciptakan ruang bagi potensi inefisiensi dan penggelembungan birokrasi yang bisa membebani anggaran negara tanpa pertanggungjawaban jelas,” katanya.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena situasi ekonomi saat ini sebenarnya sedang penuh ketidakpastian, baik tekanan secara global maupun dalam negeri. Keberadaan dana cadangan yang ada, untuk mengantisipasi situasi darurat, bukan untuk penggelembungan birokrasi dan manuver politik, sangat diperlukan.
”Ketergantungan kita pada guncangan ekonomi global masih sangat tinggi sehingga ketika terjadi shock kita bisa kolaps. Oleh karena itu, idealnya belanja lain-lain itu tetap harus di-breakdown untuk kebutuhan apa saja (agar tidak terkuras untuk urusan nondarurat),” ujar Media.