Penurunan Suku Bunga Tidak Otomatis Dongkrak Daya Beli
Turunnya daya beli masyarakat akan membuat tren konsumsi produk ritel ke depan tidak banyak tumbuh.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengamat menilai penurunan suku bunga acuan akhir tahun ini dinilai tidak akan langsung berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat kelas menengah. Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan ekonomi yang lebih menguntungkan agar pertumbuhan konsumsi rumah tangga meningkat.
Menurut Research Analyst Mirae Asset Sekuritas Indonesia Abyan Habib Yuntoharjo, penurunan suku bunga, yang tujuannya melonggarkan biaya pinjaman untuk kegiatan produktif atau konsumtif, tidak akan berdampak langsung pada peningkatan daya beli masyarakat. Kebijakan ini akan memberi efek secara berkala.
”Biasanya ada lagging effect (waktu keterlambatan) karena perbankan harus langsung mengikuti kebijakan dari bank sentral dan efek dominonya terhadap masyarakat kelas atas maupun menengah dan bawah itu dampaknya paling lama sekitar 6 bulan. Itu data secara historis,” tuturnya saat ditemui di Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Indonesia diketahui tengah mengalami tren deflasi dan penurunan jumlah masyarakat kelas menengah. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada Agustus 2024 terjadi deflasi sebesar 0,03 persen secara bulanan. Deflasi bulan itu lebih rendah dibandingkan Juli, dan merupakan deflasi keempat pada 2024.
Deflasi dipicu penurunan daya beli akibat tekanan inflasi berkepanjangan pasca-pandemi Covid-19. Kondisi ini, menurut Abyan, berdampak besar kepada kalangan masyarakat kelas menengah yang tidak tersentuh bantuan pemerintah. Mereka pun kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primer.
”Anggaran belanja mereka yang tadinya, misalkan, di 60 persen berubah jadi 70 persen hanya untuk kebutuhan primer. Jadi, mereka akan mengurangi pembelian durable goods (barang tahan lama) atau discretionary spending (belanja kebutuhan non-primer). Selain mengurangi, mereka juga bisa down trading, misalnya yang tadinya biasa beli daging, sekarang mereka cuma bisa beli tahu dan tempe,” jelasnya.
Kecenderungan ini, di antaranya, terbaca dari data pertumbuhan tabungan yang terus menurun dari bulan ke bulan. Ini terlihat dari tabungan di atas Rp 5 miliar hingga di bawah Rp 100 juta, yang menurut data Bank Indonesia, terus turun dari Mei-Juli 2024. Artinya, masyarakat mulai menguras tabungan untuk keperluan konsumsi. Data aktivitas transaksi kredit dan debit juga menunjukkan perlambatan. Per Juli 2024, misalnya, masing-masing turun 10 persen dan berubah nol persen secara tahunan.
Situasi ini menunjukkan bukti menurunnya jumlah kelas menengah Indonesia. Data BPS mencatat, sepanjang 2024 ini jumlah kelas menengah Indonesia sebanyak 47,85 juta orang atau 17,13 persen dari total penduduk RI. Jumlah ini berkurang drastis dari 57,33 juta orang atau 21,45 persen dari total populasi nasional di 2019. Adapun definisi kelas menengah, menurut BPS, adalah rumah tangga dengan pengeluaran Rp 2 juta-Rp 9,9 juta per bulan.
Turunnya daya beli masyarakat akan membuat tren konsumsi produk ritel ke depan tidak banyak tumbuh. Hal ini kendati di akhir tahun akan ada penyelenggaraan pilkada, musim liburan Natal dan Tahun Baru, yang kemungkinan hanya sedikit mendongkrak saya beli masyarakat kelas menengah.
”Untuk ke depannya, kita melihat memang konsumsi masyarakat akan masih berat hingga di 2025. Pertama, ada efek dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen dan juga efek dari kenaikan upah minimum regional (UMR) yang belum bisa tinggi-tinggi banget dari awal tahun itu,” pungkasnya.
Tantangan dunia ritel
Staf Ahli Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo) Yongky Susilo, saat dihubungi, mengakui, inflasi tinggi yang terjadi di dunia dua tahun terakhir menjadi tantangan bagi konsumen dan pertumbuhan ritel. Ia pun menyayangkan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, di antaranya kenaikan pajak dan tarif yang diterapkan, baik kepada masyarakat maupun pengusaha.
”Kami dari Hippindo meminta kalau bisa pemerintah mempertimbangkan ini. Jangan ada kenaikan-kenaikan tarif lagi, entah itu tarif gula, tarif plastik. Pajak A, B, C semua dipajakin. Tolong, dibatalkan dulu selama 1-2 tahun ke depan,” ujarnya.
Menurut Yongki, Indonesia punya kesempatan besar untuk mengembangkan kelas menengah. Hal itu bisa dilakukan lewat kebijakan hilirisasi di semua bidang, yang akan membuat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional dan PDB per kapita naik. Ia berharap pemerintahan yang baru nanti memiliki kebijakan untuk memulihkan daya beli masyarakat.