”Power Wheeling”, Solusi Energi Terbarukan atau Awal Liberalisasi?
”Power wheeling” dianggap jadi pintu masuk liberalisasi ketenagalistrikan meski meningkatkan bauran energi terbarukan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengesahan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan atau UU EBET masih harus melalui pembahasan lebih lanjut tentang kolaborasi jaringan transmisi ketenagalistrikan ataupower wheeling. Masih ada penolakan perihal skema tersebut karena dianggap berpotensi meningkatkan harga jual listrik di tingkat masyarakat.
Power wheeling ialah penggunaan bersama jaringan transmisi. Dengan skema itu, transfer listrik bisa langsung dari produsen energi terbarukan ke perusahaan/industri yang menggunakannya. Namun, tetap memakai jaringan transmisi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Nantinya, akan ada pembayaran biaya sewa kepada PLN sebagai pemilik jaringan transmisi itu.
Sebelumnya, pihak pemerintah sempat bersikap tak memasukkan power wheeling ke dalam draf RUU EBET. Salah satunya pertimbangan potensi dampak pada keuangan negara ataupun PLN. Namun, seiring dibutuhkannya listrik energi bersih oleh industri-industri, opsi itu dimasukkan kembali. Penerapan skema itu diyakini mampu meningkatkan pemanfaatan energi tebarukan di Indonesia.
Salah satu penolakan penerapan power wheeling datang dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). ”Pandangan PKS konsisten menolak pasal (power wheeling) ini karena dengan itu, pembangkit listrik swasta dapat menjual listrik secara langsung kepada pelanggan,” kata anggota Komisi VII dari Fraksi PKS Mulyanto, Kamis (12/9/2024).
Dengan skema tersebut, imbuh Mulyanto, prinsip monopoli PLN sebagai single buyer, single seller (SBSS) dilanggar. Menurut dia, ada potensi terjadi liberalisasi ketenagalistrikan dengan sistem multi buyer dan multi seller. Akibatnya, harga listrik akan mengikuti mekanisme pasar.
Mulyanto menambahkan, RUU EBET sejatinya telah selesai dari tim perumusan dan tim sinkronisasi DPR dengan pemerintah, terkecuali satu pasal terkait power wheeling. ”Tanggal 18 September 2024 direncanakan rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengambil keputusan tingkat I, termasuk terkait pasal power wheeling,” katanya.
Sementara itu, pengambilan keputusan tingkat II di Rapat Paripurna DPR belum diputuskan. Mulyanto pun belum dapat memastikan apakah pengesahan RUU EBET dapat dilakukan pada periode keanggotaan DPR kali ini atau dilanjutkan di periode berikutnya.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi menuturkan, power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) atau sewa jaringan dalam RUU EBET ditujukan untuk meningkatkan bauran energi terbarukan. Namun, belum sampai pada penjualan listrik dari swasta ke rumah tangga-rumah tangga konsumen PLN.
Dengan skema PBJT, swasta dapat menjadi penyedia listrik energi terbarukan untuk dijual ke wilayah usaha, bukan langsung kepada penduduk. Penjualan listrik energi terbarukan tersebut dilakukan dengan membayar sewa jaringan kepada PLN.
Skema tersebut, pada akhirnya akan membuat harga listrik energi terbarukan menjadi lebih murah. ”Sehingga listrik yang sampai ke masyarakat adalah listrik murah. Di sini, subsidi pemerintah turun. Itu tujuan kami memasukkan (PBJT) ke RUU EBET. Kami memprioritaskan energi terbarukan yang murah ke depan,” kata Eniya, Senin (9/9/2024).
Batasan
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Akmaluddin Rachim menuturkan, skema power wheeling dipandang sebagai pintu masuk sistem liberalisasi dalam bisnis ketenagalistrikan. Skema itu dianggap bisa mereduksi penguasaan negara terhadap listrik serta menghilangkan bentuk proteksi negara terhadap rakyat yang menikmati energi listrik.
Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu mengkaji ulang rencana tersebut. ”Jika tetap diadopsi, ketentuannya perlu dirumuskan dan diatur dalam RUU EBET. Harus tegas dan diberi batasan. Artinya, bukan untuk dijual kepada masyarakat, tetapi kepada pelaku usaha atau industri dengan skala besar, dalam rangka mendukung transisi energi dan dekarbonisasi,” katanya.
Akmaluddin menambahkan, hal lain ialah skema power wheeling dapat diprioritaskan dalam mendukung dan membantu PLN untuk menyediakan listrik di wilayah terluar, terdepan, tertinggal (3T). Juga di wilayah transmigrasi dalam rangka meningkatkan rasio elektrifikasi. ”Yang tentunya tetap dalam kendali penguasaan negara,” lanjutnya.