Judi Daring dan Pinjaman Daring Ilegal, Lingkaran Setan yang Membelit Rakyat
Pinjaman daring ilegal diduga mendukung aktivitas judi daring, memicu masalah ekonomi dan psikologis di masyarakat.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menduga, masih maraknya kemunculan aplikasi pinjaman daring atau online (pinjol) ilegal berkaitan erat dengan konten judi daring (judol) di masyarakat. Sementara di masyarakat, aktivitas literasi digital menyikapi fenomena itu belum menjadi arus utama.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi saat sesi Ngopi (Ngobrol Pintar) Bareng Kominfo, Rabu (11/9/2024), di Jakarta, mengatakan, berdasarkan hasil penelusuran kementerian ditemukan dugaan bahwa pengelola pinjol ilegal juga umumnya pelaku judol.
”Seperti lingkaran setan. Pengguna judol kalah main, tetapi segera muncul tawaran kredit dari pinjol ilegal. Hasil penelusuran kami menunjukkan, ada kemungkinan besar pengelola pinjol ilegal juga pelaku judol,” ujarnya.
Budi mengklaim, maraknya konten judol semestinya juga menjadi momentum bagi pemerintah untuk menata ulang industri teknologi finansial, terutama subsektor pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi.
Lebih jauh, dia melanjutkan, Kemenkominfo telah melakukan berbagai kebijakan untuk menekan penyebaran konten judi daring mulai dari pemutusan akses konten hingga meminta penyelenggara sistem elektronik jasa pembayaran untuk menandatangani pakta integritas pencegahan judol. Dari upaya tersebut, Budi mengklaim, per Juli 2024, akses konten judol turun 50 persen dan jumlah deposit untuk main judol turun lebih dari 30 persen.
Ketua Bidang Hubungan Masyarakat Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia Kuseryansyah menduga, Menkominfo Budi Arie Setiadi lebih memiliki data yang lebih akurat sehingga keluar pernyataan pemilik judol dan pinjol ilegal umumnya sama.
Dia mengakui, tren pinjol ilegal masih marak. Tidak ada statistik resmi yang menunjukkan berapa jumlah aplikasi pinjol ilegal, tetapi jumlah aplikasinya yang ditutup (take down) oleh Kemenkominfo masih berkisar ratusan aplikasi. Dia menduga hal ini dipengaruhi oleh mudahnya membuat dan merilis aplikasi digital.
”OJK membatasi satu orang meminjam di tiga aplikasi pinjaman daring yang legal. Ketentuan ini efektif untuk menekan pinjaman daring resmi juga disalahgunakan untuk aktivitas negatif, seperti judol. Hanya saja, pergerakan orang meminjam kredit di aplikasi pinjaman daring itu sangat dinamis, seperti bisa jadi hari ini lunas lalu segera pindah ke aplikasi lain, dilunasi, terus pindah lagi,” ucapnya.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Pandu Sjahrir menambahkan, industri teknologi finansial (tekfin) memang berkembang pesat dalam mendukung transformasi layanan keuangan dan perbankan. Per Juli 2024, saldo uang pinjaman atau outstanding loan pinjaman daring legal di Indonesia mencapai Rp 66 triliun atau naik 26 persen.
”Judol menjadi tantangan mewujudkan industri tekfin yang sehat. Adanya fenomena memakai pinjol ilegal untuk bermain judol menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pinjol legal,” katanya.
Mengutip data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Pandu menyampaikan, jumlah pemain judol saat ini berkisar 4 juta orang. Sekitar 440.000 orang di antaranya masih berusia 11–20 tahun.
Literasi digital
Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Watch Indriyatno Banyumurti berpendapat, ketersediaan infrastruktur internet semakin merata. Kecepatan akses internet juga semakin cepat. Namun, hal ini tidak diikuti dengan pembekalan kapasitas berinternet yang sehat ke masyarakat.
”Literasi digital belum jadi kegiatan arus utama di masyarakat,” ucapnya.
Berdasarkan pengalaman melakukan literasi digital di kelompok purna pekerja migran Indonesia di Jawa Barat dan Jawa Timur, ICT Watch menemukan ada sejumlah purna pekerja migran ataupun keluarganya yang terjerat pinjol, baik legal maupun ilegal.
Temuan menarik lainnya, ada purna pekerja migran perempuan yang ketagihan bermain judol. Padahal, suami ataupun anggota keluarga pekerja tersebut telah melarang.
”Judol merupakan masalah ekonomi sekaligus psikologi. Dengan demikian, upaya pemberantasan harus dilakukan secara profesional. Berangkat dengan keragaman geografis dan budaya Indonesia, maka langkah pemberantasan judol semestinya tidak tunggal,” ucap Indriyatno.