Asia Pasifik, Kawasan Krusial Dekarbonisasi yang Sulit Lepaskan Batubara
Komitmen negara-negara Asia Pasifik untuk dekarbonisasi sesuai target terhadang tingginya ketergantungan pada batubara.
SINGAPURA, KOMPAS — Asia Pasifik menjadi kawasan yang bisa berperan krusial mengurangi dampak buruk perubahan iklim. Emisi karbon yang dihasilkan kawasan ini besar akibat tingginya ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, terutama batubara.
Tantangannya, regulasi dalam mendorong transisi energi menuju energi yang lebih bersih di banyak negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, masih kerap tumpang tindih dan kontradiktif sehingga menghambat tercapainya tujuan iklim sebagaimana menjadi target dalam Kesepakatan Paris.
”Kebergantungan beberapa negara terhadap impor batubara masih sangat tinggi (untuk pembangkit listrik) masih sangat tinggi dan tidak berkurang. Meski kenyataannya menggunakan energi terbarukan saat ini lebih murah dari pada menggunakan batubara,” ujar Energy Transition Lead dari Forum for the Future, Saksham Nijhawan, sebagai pembicara pada Sustainablility Media Academy di Singapura, Rabu (11/9/2024).
Baca Juga: Dekarbonisasi Jauh Panggang dari Api
Saksham menuturkan, produksi energi terbarukan di Asia Timur dan India menunjukkan peningkatan. Komitmen pemerintah di kawasan Asia Tenggara untuk energi terbarukan juga menguat. Namun, di sisi lain, tingkat ketergantungan kawasan ini terhadap batubara masih sangat besar.
Sustainability Media Academy adalah kelas pelatihan bagi jurnalis dan editor berbagai platform media massa untuk memperdalam pemahaman terkait isu-isu pembangunan berkelanjutan.
Kelas ini diselenggarakan oleh EB Impact, sebuah organisasi nonprofit berbasis di Singapura yang bertujuan mengakselerasi tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) khususnya di Singapura dan kawasan ASEAN secara umum.
Pada penyelenggaraan ketiganya, peserta Sustainability Media Academy Season 3 terdiri dari 44 pekerja media dari berbagai negara Asia yang hadir secara luring dan daring. Adapun pembicara yang hadir merupakan praktisi dan aktivis di berbagai bidang berkelanjutan.
Capaian Penurunan Emisi Karbon Sektor Energi di Indonesia
Berdasarkan laporan Badan Energi Internasional (IEA), pembakaran bahan bakar fosil di kawasan Asia-Pasifik pada 1990 menghasilkan 6 gigaton karbon dioksida. Volume ini mewakili sekitar seperempat dari total produksi emisi dunia. Pada 2020 atau selang tiga puluh tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 16,5 gigaton atau 49 persen dari total emisi yang dihasilkan dunia.
Energy Transition Lead dari Forum for the Future, Saksham Nijhawan, mengingatkan, perlu adanya kesimbangan upaya mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil, dengan upaya pengembangan energi terbarukan. Forum for the Future adalah sebuah organisasi nirlaba yang bermitra dengan multi-stakeholders dalam proses peralihan menuju ekosistem berkelanjutan.
Dari 1.002 pembangkit listrik tenaga batubara yang direncanakan atau sedang dibangun di seluruh dunia dalam rentang tahun 2016-2021, sebanyak 865 di antaranya berada di kawasan Asia-Pasifik.
Merujuk laporan organisasi nonprofit yang memantau proyek bahan bakar fosil dan energi terbarukan di seluruh dunia, Global Energy Monitor, dari 1.002 pembangkit listrik tenaga batubara yang direncanakan atau sedang dibangun di seluruh dunia dalam rentang tahun 2016-2021, sebanyak 865 di antaranya berada di kawasan Asia-Pasifik.
Dalam laporan yang sama, kawasan Asia-Pasifik juga menjadi kontributor utama sebagai produsen semen dan baja dalam rantai pasok global. Adapun kebergantungan aktivitas produksi terhadap batubara sangatlah tinggi sehingga kegiatan produksi semen dan baja turut melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang besar.
Pemerintah Indonesia yang menargetkan emisi nol bersih tercapai pada 2060. Jepang dan Korea Selatan berkomitmen mencapai emisi nol bersih pada 2050.
Direktur Climate Policy Initiative Indonesia, Tiza Mafira, menilai, terdapat tren penguatan komitmen pemerintah di negara-negara Asia Pasifik terhadap upaya dekarbonisasi. Pada 2020, Presiden China, Xi Jinping, mengatakan kepada Majelis Umum PBB bahwa negaranya berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060.
Komitmen sama juga disampaikan oleh Pemerintah Indonesia yang menargetkan emisi nol bersih tercapai pada 2060. Jepang dan Korea Selatan berkomitmen mencapai emisi nol bersih pada 2050. Salah satu negara di Asia-Pasifik yang paling ambisius mencapai emisi nol bersih adalah Maladewa, yakni pada 2030.
Komitmen kuat
Secara teori, target-target itu sangat masuk akal bagi Asia, sama seperti di tempat lain. Akademisi di China dan India telah membuat sketsa rencana untuk menurunkan emisi di setiap negara hingga nol selama 30-40 tahun.
Pada akhir 2020, misalnya, 19 lembaga penelitian China menerbitkan jalur potensial untuk menghilangkan emisi bersih negara mereka sepenuhnya pada tahun 2060. Lembaga tersebut memperkirakan pembangkit listrik akan bebas emisi pada 2050, dengan energi terbarukan dan pembangkit nuklir menggantikan batubara dan gas.
Baca Juga: Asia Jadi Pusat Dekarbonisasi Baru
Selanjutnya, emisi negatif yang disediakan dalam kasus ini oleh pembangkit listrik yang membakar biomassa yang baru tumbuh dan menyerap karbon dioksida yang dihasilkan di bawah tanah, serta skema reboisasi, akan mengimbangi emisi residual.
Namun, kuatnya komitmen masih kerap bertolak belakang dengan sejumlah regulasi dan aturan dari pemerintah yang masih terkesan kontradiktif.
Aturan ini justru akan menghambat pengembangan energi terbarukan dalam rencana ketenagalistrikan khususnya energi surya.
Tiza mencontohkan di Indonesia, terdapat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2021, yang membatasi kapasitas pemasangan surya atap hanya 10-15 persen dari kapasitas terpasang. Menurut dia, aturan ini justru akan menghambat pengembangan energi terbarukan dalam rencana ketenagalistrikan khususnya energi surya.
”Otomatis kalau saya rumah dengan kapasitas listrik 1.000 watt, hanya bisa pasang satu solar panel gitu. Apa gunanya itu? Ini malah membuat orang-orang yang mau pasang panel surya di rumah mengurungkan niatnya,” ujanya.
Kontradiksi kebijakan
Tiza menyoroti soal tingkat ketergantungan sektor pembangkit listrik di Indonesia terhadap batubara yang tidak kunjung berkurang. Bahkan, target kewajiban pasokan batubara untuk dalam negeri (domestic market obligation/DMO) pada 2024 meningkat menjadi 220 ton dari tahun sebelumnya 213 ton.
Semula Tiza berasumsi, peningkatan ini terjadi karena pemerintah menjaga sumber penerimaan negara karena Indonesia merupakan negara penghasil batubara. Namun, menghitung besarnya pengeluaran yang perlu dikeluarkan negara untuk subsidi, maka jumlah penerimaan negara dari sektor batubara tidaklah signifikan.
Menghitung besarnya pengeluaran yang perlu dikeluarkan negara untuk subsidi, maka jumlah penerimaan negara dari sektor batubara tidaklah signifikan.
Harga batubara untuk keperluan listrik umum ditetapkan senilai 70 dollar AS per metrik ton. Sementara itu, berdasarkan harga batubara acuan ICE Newcastle kontrak September 2024 mencapai 147,9 dollar AS per metrik ton.
”Saya sempat cek juga penerimaan negara dari batubara sama pengeluaran negara untuk DMO batubara itu mirip-mirip. Jadi, kayak masuk kiri, keluar kanan gitu. Sebenarnya mirip-mirip. Jadi, ini masih menjadi pertanyaan bagi saya, apa untungnya Indonesia menjaga batubara tetap dominan?” ujarnya.