Ekonom dan Bankir: Penurunan Suku Bunga Acuan Geliatkan Sektor Riil
Pemangkasan suku bunga The Fed dinantikan oleh berbagai pihak, termasuk perbankan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemangkasan suku bunga acuan oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve atau The Fed, yang diperkirakan terjadi pada September 2024 akan mendorong Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuannya. Hal ini diharapkan dapat membuat likuiditas perbankan melimpah dan biaya dana semakin turun sehingga dapat menggerakkan sektor riil.
Senior Economist Standard Chartered Bank Indonesia, Aldian Taloputra, memperkirakan, The Fed akan memangkas suku bunga acuannya sebanyak tiga kali, masing-masing 25 basis poin (bps) pada 2024 dan berlanjut pada tahun depan sebanyak tujuh kali. Pemangkasan suku bunga tersebut akan dimulai pada 17-18 September 2024 saat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) alias Dewan Gubernur Bank Sentral AS atau The Fed.
”Perkiraan pemotongan suku bunga kami lebih lambat dari pada perkiraan pasar yang memperkirakan empat kali pemotongan pada tahun ini. Perkiraan kami berdasarkan data terakhir yang masih menunjukkan soft landing dari pertumbuhan ekonomi AS,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (10/9/2024).
Berdasarkan data ekonomi AS, produk domestik bruto (PDB) AS pada triwulan II-2024 tumbuh 2,8 persen secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 1,4 persen secara tahunan. Di sisi lain, tingkat inflasi AS pada Juli 2024 tercatat 2,9 persen secara tahunan, turun dibandingkan dengan periode Juni 2024 yang sebesar 3 persen.
Sementara itu, Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan, tingkat pengangguran turun dari 4,3 persen pada Juli ke 4,2 persen pada Agustus 2024. Di sisi lain, terdapat 142.000 pekerjaan baru yang tercipta pada Agustus 2024 serta terjadi penguatan rata-rata upah pekerja di atas ekspektasi.
Menurut Aldian, BI akan menyusul pemangkasan suku bunga acuan setelah The Fed melonggarkan kebijakan moneternya. Suku bunga acuan BI (BI Rate) diperkirakan akan turun satu kali pada 2024 pada Oktober dan berlanjut empat kali pada 2025, masing-masing 25 bps.
”Kami melihat risiko BI untuk menurunkan suku bunganya dua kali tahun ini, apabila angka-angka ekonomi AS memburuk lebih dari yang diperkirakan. Masih sehatnya pertumbuhan ekonomi dan terkendalinya inflasi domestik memberikan ruang bagi BI untuk dapat bersabar menunggu kejelasan dari kecepatan penurunan suku bunga The Fed. Kami melihat BI akan menurunkan suku bunga SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) sebelum memotong suku bunga kebijakan,” tuturnya.
Kalau penurunannya cukup drastis, mungkin malah reaksi pasarnya bisa berbeda. Namun, sejauh ini ekspektasi masih 25 bps. Artinya, ke depan itu, market masih berekspektasi bahwa akan terjadi yang kita sering sebut sebagai soft landing. Ekonomi Amerika memang menurun secara gradual, tetapi tidak ada tanda-tanda ke arah resesi, jadi lebih ke arah melambat.
Kendati demikian, ketidakpastian global masih membayang-bayangi ekonomi Indonesia dengan intensitas yang menurun. Meski The Fed telah memberikan sinyal pelonggaran kebijakan moneter dalam waktu dekat, ketidakpastian geopolitik dari pemilu di AS dan konflik di Timur Tengah masih perlu dicermati.
Aldian menambahkan, memburuknya konflik geopolitik di Timur Tengah dan kebijakan tarif yang tinggi AS terhadap produk ekspor China dapat kembali mengganggu stabilitas keuangan global. Kedua faktor risiko tersebut berpotensi mendorong penguatan dollar AS dan memicu arus dana keluar portofolio dari negara berkembang.
Dihubungi terpisah, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan, ekspektasi pasar itu tecermin dari bursa perdagangan berjangka suku bunga The Fed alias Fed Fund Futures dengan probabilitas penurunan pada September 2024 sebesar 100 persen. Sebagian besar berekspektasi The Fed akan mulai memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 bps.
”Kalau penurunannya cukup drastis, mungkin malah reaksi pasarnya bisa berbeda. Namun, sejauh ini ekspektasi masih 25 bps. Artinya, ke depan itu, market masih berekspektasi bahwa akan terjadi yang kita sering sebut sebagai soft landing. Ekonomi Amerika memang menurun secara gradual, tetapi tidak ada tanda-tanda ke arah resesi, jadi lebih ke arah melambat,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
David memperkirakan, BI memang akan cenderung mengikuti arah kebijakan moneter The Fed. Kendati demikian, BI tidak serta-merta langsung akan menurunkan suku bunga acuannya mengingat sejumlah indikator ekonomi domestik masih dinilai stabil.
Pada saat suku bunga acuan AS meningkat dari 0 ke 5,25-5,5 persen, misalnya, BI tidak seagresif The Fed mengerek suku bunga. Meski ujungnya tetap mengikuti The Fed, BI menaikkan suku bunga acuannya secara bertahap hingga kini berada pada level 6,25 persen.
”Seharusnya (penurunan suku bunga BI) tidak secepat Fed juga karena kan kondisi ekonomi domestik relatif baik dan stabil, seperti rupiah yang menguat dan tidak ada tanda-tanda perlambatan secara signifikan. Memang ekonomi tumbuh cenderung flat, tetapi tidak melambat signifikan. Jadi, mungkin BI baru akan mulai menurunkan setelah The Fed juga mulai melonggarkan,” tutur David.
Baca juga: ”September Ceria” Tunggu Langkah The Fed dan BI
Sektor riil
David menambahkan, pelonggaran kebijakan moneter global pada gilirannya dapat mendorong permintaan global mengingat akhir-akhir ini harga komoditas cenderung menurun. Apalagi, pergerakan harga komoditas berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia.
Selain itu, penurunan suku bunga acuan juga diharapkan dapat memberikan angin segar bagi likuiditas sektor perbankan yang selama ini cenderung tertekan. Hal ini antara lain tampak dari loan deposit ratio (LDR) yang sedikit meningkat dan naiknya nonperforming loan (NPL) beberapa segmen, seperti segmen usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, LDR sektor perbankan pada Juli 2024 mencapai 86,51 persen, lebih tinggi dibandingkan Juli 2023 yang mencapai 82,9 persen. Di sisi lain, NPL segmen UMKM pada Juni 2024 tercatat sebesar 4,04 persen. Meski turun dibandingkan Mei 2024 yang sebesar 4,27 persen, NPL segmen UMKM tersebut lebih tinggi dibandingkan Juni 2023 yang mencapai 3,69 persen.
Sementara itu, penyaluran kredit perbankan pada Juli 2024 tumbuh sebesar 12,4 persen secara tahunan menjadi Rp 7.514,6 triliun, ditopang oleh kredit korporasi yang tumbuh sebesar 18,06 persen. Sejalan dengan itu, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sebesar 7,72 persen secara tahunan menjadi Rp 8.686,7 triliun dengan giro menjadi kontributor pertumbuhan terbesar, yakni 10,73 persen secara tahunan.
Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk Lani Darmawan mengatakan, pelaku perbankan mengharapkan suku bunga acuan dapat segera turun agar dapat mengurangi biaya dana (cost of fund/CoF). Sebab, suku bunga acuan yang tinggi dalam jangka waktu yang lama telah mengakibatkan net interest margin (NIM) perbankan tergerus lantaran kenaikan bunga pinjaman tidak secepat biaya dana.
”Kami berharap ada penurunan suku bunga acuan agar cost of fund bisa berangsur turun. Jika CoF bisa menurun, secara bertahap bunga pinjaman bisa turun sehingga kemampuan masyarakat untuk meneruskan usaha bisa lebih baik. Selama ini, suku bunga tinggi berdampak terhadap margin NIM karena bunga pinjaman tidak bisa naik secepat CoF,” kata Lani saat dihubungi dari Jakarta.
Hal senada dikatakan Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja. Ia berharap The Fed akan memangkas suku bunga acuannya sebesar 0,25 persen pada September 2024. Kendati demikian, penurunan suku bunga acuan sebesar 25 bps tersebut kiranya tidak begitu berpengaruh terhadap sektor perbankan.
Survei Orientasi Bisnis Perbankan OJK (SBPO) menunjukkan, 93 bank responden optimistis kinerja perbankan akan semakin baik pada triwulan III-2024. Berdasarkan data Juni 2024, porsi aset 93 bank tersebut mencapai 90,78 persen dari total aset bank umum.
Baca juga: BI Hadapi Dilema Kebijakan Suku Bunga
Optimisme perbankan tecermin dari Indeks Orientasi Bisnis Perbankan (IBP) yang pada triwulan III-2024 tercatat sebesar 68 atau berada pada zona optimis. Hal ini didorong oleh ekspektasi akan membaiknya kondisi makroekonomi, berlanjutnya peningkatan fungsi intermediasi perbankan seiring pengelolaan risiko perbankan dalam kondisi makroekonomi global yang kurang kondusif.
Pada gilirannya, keyakinan terhadap kondisi makroekonomi domestik mendorong Indeks Ekspektasi Kondisi Makroekonomi (IKM) pada triwulan III-2024 berada pada level optimis, yakni sebesar 59. Hal ini terutama disebabkan oleh perkiraan membaiknya ekonomi domestik, menguatnya nilai tukar, dan prediksi BI Rate yang cenderung stabil.