Kenapa Mixue Sepi Pembeli?
Dulu tiba-tiba menjamur di mana-mana dan ramai pembeli, kini sepi. Apa yang terjadi dengan Mixue?
Sepinya pembeli di gerai es krim dan teh waralaba asal China, Mixue, jadi pembicaraan banyak netizen. Setelah dalam beberapa tahun menempati banyak ruko kosong dan mal di Indonesia, Mixue kini disebut membuat banyak pewaralabanya rugi. Apa yang terjadi?
Akun Twitter @Strategi_Bisnis, misalnya, menulis bahwa banyak pemilik toko yang dulu harus mengeluarkan investasi sekitar Rp 400 juta merugi. ”Tampaknya banyak yang rugi ratusan juta. Penjualannya sepi dan gak nutup biaya sewa dan operasional,” tulis mereka, Minggu (8/9/2024).
Cuitan tersebut ditautkan dengan unggahan lama mereka, pada Januari 2023, yang menyebut gerai Mixue sudah mencapai sekitar 360 toko. Jumlah itu setengah dari jumlah gerai waralaba makanan yang khas dengan menu ayam gorengnya, KFC.
Baca juga: Boba yang Tak Lagi Kenyal di Pasar Saham
Mixue menjajakan produk es krim mulai dari harga Rp 8.000 hingga minuman buah dengan campuran boba di harga Rp 22.000. Setiap toko Mixue sendiri disebut menargetkan penjualan rata-rata 500 gelas dengan harga per gelas Rp 10.000. Artinya, setiap toko diperkirakan bisa menghasilkan omzet Rp 5 juta per hari atau Rp 150 juta per bulan.
Cuitan @Strategi_Bisnis pun dikomentari banyak netizen. Secara umum, mereka melihat merek waralaba yang masuk ke Indonesia pada 2020 itu terlalu luas berekspansi, khususnya di Pulau Jawa. Mixue juga disebut kurang berinovasi sehingga ditinggalkan ketika daya beli masyarakat saat ini melemah.
Mengutip situs resmi Mixue.co.id, jumlah toko Mixue di Indonesia sampai hari ini sudah menyentuh lebih dari 2.400 toko dan menggerakkan hampir 1.400 mitra bisnis yang memulai bisnis (franchise) mereka sendiri. Secara tidak langsung, seluruh toko Mixue di Tanah Air membuka peluang kerja bagi hampir 12.800 masyarakat yang kini menjadi karyawan toko.
FOMO dan jenuh
Peneliti Ekonomi Digital dan UMKM Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nur Komaria mengatakan, ekspansi Mixue yang sangat besar dan lokasi yang berdekatan menyebabkan keramaian di toko Mixue tampak berkurang.
Ekspansi Mixue, menurut dia, juga hanya menumpangi perilaku FOMO (fear of missing out) masyarakat yang tidak ingin ketinggalan dengan fenomena produk baru. ”Ramainya Mixue beberapa tahun lalu karena masyarakat masih FOMO dengan produk Mixue. Diketahui bahwa Mixue memiliki produk yg sangat bervariasi, harga murah, ada di banyak lokasi strategis,” ujarnya kepada Kompas.
Kasus sepi pembeli pada Mixue, antara lain, karena cepat jenuhnya sebuah bisnis.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, saat dihubungi terpisah, berpendapat, kasus sepi pembeli pada Mixue, antara lain, karena cepat jenuhnya sebuah bisnis. Ini dicirikan dari tidak terbatasnya ketersediaan suatu produk yang dilakukan Mixue dengan membuka banyak gerai dalam waktu singkat. Strategi bisnis ini menghasilkan sifat free entry and free exit.
”Bisnis makanan dan minuman ini, kan, mempunyai sifat free entry dan free exit. Ketika boom es krim Mixue, langsung bertebaran toko es krim serupa dan harganya juga bersaing. Bahkan, pemain lain pun membuka produk serupa meskipun bukan core bisnisnya,” ungkapnya.
Persaingan ini mencapai titik jenuhnya ketika Mixue tidak bisa bersaing dan permintaan turun ke titik normal. Fenomena ini juga terjadi pada jenis waralaba minuman lainnya, seperti toko kopi susu kekinian yang tidak bisa bertahan karena tidak bisa mempertahankan kualitasnya.
”Bayangkan setiap desa ada toko Mixue, konsumsi masyarakat pasti akan mencapai puncak dan titik jenuh. Ketika itu permintaan akan melandai,” katanya.
Baca juga: Buru Diskon, Solusi Kelas Menengah Hadapi Tekanan Ekonomi
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Kuliner Indonesia (Apkulindo) Redia Frisna Rista juga mengakui, produk Mixue mudah ditiru. Faktor ini membuat usaha kuliner cenderung hanya bisa bertahan hanya beberapa tahun.
”Makanan dan minuman yang dapat ditiru itu umurnya cepat. Tetapi, kalau suatu bisnis punya keunikan tersendiri dan layak, itu bisa bertahan lama," ujarnya.
Daya beli
Di samping strategi penjualan yang mudah jenuh, saat ini produk waralaba seperti Mixue juga tergerus penurunan daya beli masyarakat. Redia menangkap, masyarakat kalangan ekonomi menengah bawah telah mulai mengurangi belanja makanan di luar sejak pertengahan 2023.
Kondisi ini menyebabkan gangguan pada penjualan di bisnis kuliner, baik di hulu maupun hilir. ”Ada pengusaha pabrikan yang menyuplai bahan minuman bubuk mengalami penurunan. Secara umum di bisnis kuliner, penurunan penjualan sudah 70-80 persen sejak tahun lalu,” katanya.
Baca juga: Melepas Bayang-bayang Waralaba Global
Kelesuan ini, Redia melanjutkan, banyak dirasakan bisnis yang menargetkan masyarakat menengah bawah. Redia menangkap, saat ini banyak masyarakat kalangan ini yang menjaga uang tunainya dan mengurangi konsumsi jajan yang bukan kebutuhan pokok. Kondisi ini hampir sama dengan pemburukan di masa awal pandemi Covid-19.
”Sebelum pandemi, masyarakat yang bekerja sebagai buruh punya gaji Rp 5 juta masih bisa ajak keluarga mereka jalan-jalan dan jajan. Sekarang, mereka yang dapat uang itu belum tentu mau belanja. Bahkan, mungkin banyak yang kena PHK sehingga enggak ada uang sisa untuk itu,” katanya.
Di sisi lain, Redia melihat pelaku usaha kuliner yang memiliki dana banyak untuk membuka waralaba bagi kelas menengah bawah atau mereka menargetkan kelas masyarakat menengah atas tetap aman di situasi saat ini. ”Yang berat itu kita-kita ini pengusaha menengah dan kecil. Kami berat kalau enggak ada yang beli, modal ke mana?” ujarnya.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro juga menyebut, secara umum memang terjadi pelemahan pola konsumsi kelas menengah, bahkan jika dibandingkan dengan tahun 2023. Kelas menengah saat ini lebih memprioritaskan alokasi untuk kebutuhan primer yang harganya meningkat.
”Dengan cara tersebut, kelas menengah mencoba menjaga level tabungannya dengan lebih fokus pada belanja-belanja utama,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah turun dari 57,33 juta jiwa pada 2019 menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024. Artinya, dalam lima tahun terakhir, 9,48 juta orang merosot keuangannya dari kategori kelas menengah.
Padahal, kelas menengah mencapai 17 persen. Adapun definisi kelas menengah, menurut BPS, adalah rumah tangga dengan pengeluaran Rp 2 juta-Rp 9,9 juta per bulan.
===============
Artikel telah diperbaharui pada Selasa, (10/9/2024) pukul 16.30