Pasar Ekspor Ikan Hidup: Sarat Tantangan tetapi Bergelimang Cuan
Peluang ekspor ikan hidup terbuka. Namun, peluang ini perlu digarap dengan tetap memastikan isu keberlanjutan.
Pasar ekspor ikan hidup terbuka seiring tren permintaan dunia terhadap komoditas ikan premium. Produk ikan air laut maupun air tawar yang hidup kian digemari dan bernilai tinggi. Indonesia punya potensi menggarap segmen pasar atas tersebut meski upaya menggarap peluang tak semudah membalikkan telapak tangan.
Pendiri dan Direktur PT Mina Jaya Wysia, Udin, mengungkapkan, selama 24 tahun menjalani bisnis pemasaran ikan, muncul tren konsumsi ikan hidup di pasar luar negeri terus meningkat. Pengiriman ekspor ikan hidup sempat tertahan selama masa pandemi Covid-19.
Baca juga: Produksi dan Ekspor Produk Perikanan Cenderung Stagnan
Saat ini, bisnis ini telah berangsur pulih kembali. Ekspor komoditas ikan hidup didominasi lobster konsumsi dengan porsi sekitar 70 persen dari total ekspor. Sisanya terbagi ke ikan jenis lainnya sebanyak 20 persen dan kerang-kerangan sekitar 10 persen.
Setiap hari, Udin mengirim ikan hidup ke luar negeri sebanyak 1-2 ton. Tujuan utamanya meliputi pasar China, Hong Kong, dan Korea Selatan. Beberapa komoditas ikan hidup yang mendominasi pasar ekspor itu meliputi ikan kerapu, udang ronggeng, kerang, sidat, dan lobster. Seluruh komoditas itu merupakan hasil tangkapan alam.
Pasar luar negeri lebih suka ikan hasil tangkapan alam karena tekstur lebih kenyal dan cita rasanya lebih enak.
”Pasar luar negeri lebih suka ikan hasil tangkapan alam karena tekstur lebih kenyal dan cita rasanya lebih enak. Berapa pun (ikan hidup) yang ada kami kirim. Permintaan ekspor bahkan mengikuti stok karena kekurangan pasokan ikan hidup,” ujar Udin saat ditemui, akhir Agustus 2024.
Udin menambahkan, sejumlah komoditas ikan hidup merupakan hasil tangkapan alam karena belum bisa dikembangbiakkan atau dibudidayakan di dalam negeri. Guna memenuhi permintaan pasar ekspor ikan hidup, ia bermitra dengan 160 pengepul ikan dan nelayan dari sejumlah daerah di Indonesia.
Masuk restoran
Sebagian pengiriman ikan-ikan hidup ke luar negeri langsung ditujukan mengisi kebutuhan hotel, restoran, hingga katering. Kegemaran orang menyantap masakan yang bersumber dari ikan hidup telah mendorong kebutuhan restoran untuk menyediakan ikan-ikan hidup.
Pasokan ikan hidup yang terbatas turut mendorong harga jual tinggi. Harga ekspor udang ronggeng misalnya, berkisar Rp 800.000-Rp 1 juta per kilogram. Padahal, bobot setiap ekor udang ronggeng sedikitnya 100 gram atau maksimal 10 ekor per kg.
Harga ikan bawal, misalnya, mencapai Rp 400.000 per kg. Harga ini lima kali lipat dari harga ikan bawal beku di kisaran Rp 60.000-Rp 80.000 per kg.
Permintaan lobster pasir ukuran konsumsi ke pasar China terus mengalir dengan harga lobster hidup itu di kisaran Rp 400.000 per kg atau dua kali lipat dari harga lobster segar di kisaran Rp 200.000 per kg.
Permintaan lobster pasir ukuran konsumsi ke pasar China terus mengalir dengan harga lobster hidup itu di kisaran Rp 400.000 per kg atau dua kali lipat dari harga lobster segar di kisaran Rp 200.000 per kg. Namun, pasokan lobster konsumsi mulai terdampak akibat kebijakan dibukanya ekspor benih bening lobster.
”Seandainya pemerintah menutup ekspor benih bening lobster, fasilitas diperbaiki, dan tidak malah membesarkan negara pesaing, maka Indonesia pasti bisa maju dalam ekspor lobster konsumsi,” katanya.
Berbeda dengan ikan hidup, ikan segar merupakan ikan yang sudah mati dalam kurun tidak lama sejak dipanen atau ditangkap sehingga belum mengalami proses pembekuan. Ikan segar juga biasanya dapat bertahan hanya dalam waktu singkat setelah ditangkap sehingga dianjurkan untuk segera diolah atau disimpan agar tidak membusuk.
”Harga ikan hidup sangat berfluktuasi dan ditentukan oleh pasar. Kejelian membaca pasar diperlukan untuk mengetahui permintaan komoditas ikan tertentu sedang naik atau turun,” kata Udin.
Pengemasan dan pengiriman ikan hidup disesuaikan dengan jenis ikan dan daya tahan hidup selama waktu pengiriman atau logistik. Sebagai ilustrasi, ikan sidat yang dikemas dengan kantong berisi air dan oksigen mampu bertahan hidup 25-30 jam dalam perjalanan.
Dibatasi
Lobster konsumsi yang dikemas tanpa air dalam kondisi tubuh lemas atau ”pingsan” hanya mampu bertahan maksimal 20 jam perjalanan. Udang ronggeng yang dikemas pada wadah kering beroksigen hanya bertahan hidup dalam 18-20 jam.
Meski demikian, tidak semua ikan hidup untuk konsumsi bebas ditangkap di alam. Ikan sidat marmorata (Anguilla marmorata) yang laris dijual ke pasar China telah mulai dibatasi penangkapannya di alam.
Baca juga: Syarat Ekspor Produk Perikanan Diperketat
Ketentuan ini diterapkan sejak komoditas itu masuk ke dalam kategori jenis ikan yang dilindungi terbatas (Appendix II). Harga ekspor sidat saat ini di kisaran Rp 400.000 per kg.
Pembatasan penangkapan ikan sidat diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Kuota Pengambilan untuk Pemanfaatan jenis Ikan yang Dilindungi Terbatas Berdasarkan Ketentuan Nasional dan Jenis Ikan dalam Appendix II konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES).
Seiring dengan tren permintaan pasar ikan hidup, sejumlah tantangan hulu-hilir masih membayangi. Hambatan itu mulai dari cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan hingga isu jejak karbon yang bertentangan dengan antisipasi dampak perubahan iklim dan keberlanjutan.
Penangkapan ikan hidup kerap dikaitkan dengan cara tangkap menggunakan obat bius sehingga merusak ekosistem perairan dan menurunkan mutu ikan. Sejumlah nelayan ataupun pelaku usaha perikanan tangkap masih mencari jalan pintas penggunaan obat bius untuk menangkap ikan ketimbang menangkap dengan jaring atau pancing.
Penangkapan ikan hidup kerap dikaitkan dengan cara tangkap menggunakan obat bius sehingga merusak ekosistem perairan dan menurunkan mutu ikan.
Penangkapan yang merusak itu telah berlangsung lama, tetapi eksportir ikan hidup dinilai belum seirama dan kompak dalam menyikapi dan menekan perdagangan ikan dari hasil tangkapan yang merusak.
”(Penggunaan obat bius) Ini sangat bahaya. Kualitas ikan juga pasti rusak. Kami kerap menegur dan menolak ikan hasil tangkapan dengan obat bius. Masalahnya, eksportir lain masih tetap membeli,” ujar Udin.
Persoalan logistik
Kendala lain, potensi ikan hidup di berbagai wilayah di Indonesia masih terganjal penanganan di kapal hingga akses transportasi. Produksi ikan yang besar kerap tidak didukung logistik memadai, biaya transportasi mahal, dan waktu pengiriman yang panjang. Akibatnya, banyak ikan yang akhirnya dikirim dalam bentuk beku.
Meski mampu menghasilkan cuan tinggi, perdagangan ikan hidup menyimpan risiko cukup tinggi. Jika cuaca buruk, pesawat bisa gagal terbang dan kembali lagi. Hal itu mengakibatkan kematian ikan hidup bisa mencapai 50 persen.
Selain itu, pengemasan yang kurang baik juga menyebabkan ikan berpotensi mati dalam perjalanan. ”Risiko kematian ikan tetap ada, apalagi prosedur bea cukai di bandara juga membutuhkan waktu lama,” kata Udin.
Baca juga: Mengejar Mimpi Eksportir Utama Perikanan
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Budi Sulistyo menyatakan, jumlah perusahaan eksportir ikan hidup di Indonesia masih sedikit. Padahal, ekspor ikan hidup memiliki pangsa pasar yang potensial.
Ia mengakui, masih ada tantangan untuk mendapatkan bahan baku dari hasil tangkapan. Mitra dalam penanganan ikan hidup wajib tersertifikasi.
”Di Indonesia, tidak banyak mitra yang sesuai. Ini perlu peningkatan edukasi. Belum lagi, masalah pengemasan dari hulu, transportasi dan logistik, serta proses di bandara. Seluruh proses terus berusaha diperbaiki dan ditingkatkan karena ekspor ikan hidup merupakan salah satu pendorong masuknya devisa,” ujarnya.
Guna mendorong ekspor perikanan, Budi melanjutkan, pemerintah berupaya membenahi hambatan layanan, seperti dalam hal prosedur sertifikasi dan perizinan. Proses penerbitan sertifikat kelayakan pengolahan (SKP) untuk produk ikan ditargetkan untuk ditekan dari rata-rata dua bulan menjadi lima hari.
Penerbitan SKP juga akan disinkronisasi dengan sertifikasi keamanan pangan (HACCP) untuk memudahkan ekspor produk perikanan.
Komoditas ikan hidup memiliki harga lebih tinggi dengan margin keuntungan lebih bagus. Namun, minat pasar masih terbatas untuk beberapa kategori ikan air tawar dan air laut.
CEO dan Co-founder eFishery Gibran Huzaifah mengatakan, pasar ekspor ikan hidup meningkat. Komoditas ikan hidup memiliki harga lebih tinggi dengan margin keuntungan lebih bagus. Namun, minat pasar masih terbatas untuk beberapa kategori ikan air tawar dan air laut.
Komoditas ikan hidup yang diminati antara lain ikan salmon, kakap putih (barramundi), dan tuna. Sejak bulan lalu, ia mulai mengirimkan produk nila segar berupa irisan daging (fillet).
Isu keberlanjutan
Langkah selanjutnya adalah ekspor nila hidup dengan tujuan pasar Amerika Serikat. Permintaan nila di pasar AS antara lain dipicu oleh kendala pasokan nila dari Honduras dan Meksiko akibat serangan penyakit di kedua negara itu.
Komoditas ikan hidup yang diminati antara lain ikan salmon, kakap putih (barramundi), dan tuna.
Di sisi lain, ekspor ikan hidup juga perlu dicermati terkait isu keberlanjutan. Pengiriman komoditas ikan hidup melalui pesawat dapat memunculkan isu terkait jejak karbon. Apalagi, pasar dan investor kini semakin menghendaki produk perikanan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
”Komoditas ikan hidup masih terbuka pasarnya. Namun, terkait isu keberlanjutan agak lumayan berisiko karena pengiriman dengan pesawat menimbulkan sorotan terkait jejak karbon yang ditimbulkan. Oleh karena itu, kami tidak akan terlalu besar mendorong ekspor ikan hidup,” ujarnya di sela-sela bincang media, pekan lalu.
Penasihat Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (Hibilindo), Effendy Wong, mengemukakan, peluang ekspor ikan hidup lebih banyak terbuka untuk hasil tangkapan alam ketimbang budidaya. Sebab, hasil tangkapan alam memiliki cita rasa berbeda dibandingkan dengan hasil budidaya.
Dicontohkan, masyarakat mapan di China yang makan di restoran premium mengutamakan hasil tangkapan alam. Harga jual ikan hidup memiliki selisih harga 40-50 persen jika dibandingkan ikan segar atau beku.
Aseng menambahkan, permintaan ekspor ikan hidup hasil budidaya yang tinggi hanya pada komoditas lobster. Lobster konsumsi hasil budidaya sangat diminati di pasar China dan Hong Kong. Meski demikian, ekspor lobster asal Indonesia masih didominasi oleh tangkapan alam.
Jika ekspor benih lobster dikunci, dengan serius melarang dan menutup ekspor benih bening lobster, investor dan pembudidaya dari Vietnam akan pindah untuk membudidayakan lobster di Indonesia.
Hal ini karena budidaya lobster di Indonesia belum bisa berkembang seperti Vietnam. Padahal, negara itu bergantung pada pasokan benih bening lobster dari Indonesia untuk dibesarkan dan dijual ke pasar China dengan harga lebih tinggi.
Harga lobster hidup jenis pasir asal Indonesia untuk ukuran konsumsi, contohnya, rata-rata Rp 400.000 per kg. Adapun harga lobster konsumsi asal Vietnam rata-rata Rp 700.000 per kg.
”Indonesia harus ada kebijakan yang bisa memindahkan budidaya lobster di Vietnam ke Indonesia. Jika ekspor benih lobster dikunci, dengan serius melarang dan menutup ekspor benih bening lobster, investor dan pembudidaya dari Vietnam akan pindah untuk membudidayakan lobster di Indonesia. Perlu kemauan dan keberpihakan politik terhadap budidaya lobster,” kata Effendy saat dihubungi, Minggu (8/9/2024).