Peningkatan Produksi Beras Dunia dan Fase Krusial Beras Indonesia
FAO memperkirakan produksi beras dunia naik 1,8 juta ton. Sementara Indonesia tengah memasuki fase krusial perberasan.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) merevisi ke atas produksi beras dunia pada 2024/2025. Revisi tersebut mempertimbangkan potensi kenaikan produksi beras di Bangladesh dan Vietnam yang bakal mengimbangi penurunan produksi beras di China dan Indonesia.
Pada Jumat (6/9/2024) sore, FAO merilis, potensi produksi beras dunia pada 2024/2025 sebesar 536,9 juta ton. Volume produksi itu lebih tinggi 1,8 juta ton ketimbang proyeksi FAO pada 7 Juli 2024 yang sebanyak 535,1 juta ton.
Produksi beras pada 2024/2025 itu naik 0,95 persen dibandingkan produksi beras pada 2023/2024 yang sebanyak 531,8 juta ton. FAO menyebut produksi beras dunia pada 2024/2025 itu tertinggi sepanjang masa.
FAO merevisi produksi beras dunia itu lantaran melihat prospek produksi beras di Bangladesh dan Vietnam bakal lebih baik dari proyeksi sebelumnya. ”Revisi ini lebih dari sekadar mengimbangi ekspektasi panen yang sedikit lebih rendah terutama di China dan Indonesia,” sebut FAO dalam laporan itu.
Seiring dengan pertambahan populasi dunia, konsumsi beras dunia juga diperkirakan tumbuh. Bersamaan itu, negara-negara yang mengalami penurunan produksi beras juga bakal meningkatkan permintaan beras.
Potensi produksi beras dunia pada 2024/2025 sebesar 536,9 juta ton, lebih tinggi 1,8 juta ton ketimbang proyeksi FAO pada 7 Juli 2024 yang sebesar 535,1 juta ton.
Oleh karena itu, FAO juga merevisi naik pemanfaatan atau konsumsi beras dunia pada 2024/2025 dari 531,5 juta ton dalam proyeksi 7 Juli 2024 menjadi 532,8 juta ton. Konsumsi beras dunia itu juga diperkirakan meningkat 6,9 juta ton dari tahun lalu yang sebanyak 525,9 juta ton.
“Peningkatan pemanfaatan beras dunia itu juga menuju rekor tertinggi sepanjang masa. Ini tidak lepas dari peningkatan populasi di sejumlah negara, serta percepatan perluasan akses pangan,” sebut FAO.
FAO juga menaikkan perkiraan perdagangan beras dunia pada 2024/2025 dari 53,1 juta ton menjadi 53,3 juta ton. Namun, volume perdagangan beras itu masih lebih rendah dibandingkan 2021/2022 yang mencapai 56,4 juta ton. Sementara stok beras dunia pada 2024/2025 diperkirakan turun tipis sekali dari 204,9 juta ton menjadi 204,8 juta ton.
Baca juga: Swasembada Pangan RI dan Ramalan OECD-FAO (2)
Bersamaan dengan itu, Bank Dunia juga melihat, harga beras dunia mulai turun. Berdasarkan Data Harga Komoditas Bank Dunia (The Pink Sheet) yang dirilis 4 September 2024, harga beras Thailand dan Vietnam dengan kadar pescah 5 persen per Agustus 2024, masing-masing 589 dollar AS per ton dan 535,3 dollar AS per ton.
Harga beras Thailand dan Vietnam itu masing-masing sekitar Rp 9.054 per kilogram (kg) dan 8.228 per kg. Namun, harga beras tersebut masih lebih tinggi dibandingkan harga rerata beras pada 2023 yang sebesar 553,7 dollar AS per ton (sekitar Rp 8.511 per kg) untuk beras Thailand dan 523,7 dollar AS per ton (sekitar Rp 8.050 per kg) untuk beras Vietnam.
Kebutuhan krusial
Bagaimana dengan Indonesia? Kementerian Pertanian (Kementan) memperkirakan produksi beras nasional tahun ini susut sekitar 3,8 juta ton-4 juta ton dari target produksi 32 juta ton. Hal itu tidak terlepas dari dampak El Nino tahun lalu, banjir di awal tahun ini, dan musim kemarau yang berlangsung pada semester II-2024.
Berdasarkan Kerangka Sampel Area (KSA) Padi per Juli 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi beras nasional pada Januari-Oktober 2024 diperkirakan sebesar 26,93 juta ton. Volume itu lebih rendah dibandingkan produksi beras pada periode sama 2022 dan 2023 yang masing-masing 28,55 juta ton dan 28,35 juta ton.
Untuk mengatasinya, pemerintah menempuh dua cara, yakni mengejar produksi beras dalam negeri dan impor beras. Sejumlah upaya menambal kekurangan beras itu antara lain melalui pompanisasi, mencetak sawah baru, mengoptimalkan lahan rawa, dan menanam padi gogo di sela-sela tanaman perkebunan.
Adapun impor, tahun ini, pemerintah menetapkan kuota sebanyak 3,6 juta ton. Dari jumlah itu, Perum Bulog telah mendatangkan 2,4 juta ton beras impor. Beras itu antara lain berasal dari Thailand, Vietnam, dan Pakistan.
Baca juga: Pertanian Era Jokowi Tumbuh Melambat
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 4 September 2024, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebutkan, cadangan beras pemerintah (CBP) masih terbatas. Padahal, ada sejumlah kebutuhan krusial yang harus dipenuhi hingga awal tahun depan.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menuturkan, saat ini, stok beras di Bulog tinggal 1,3 juta ton. Stok itu akan digunakan untuk menstabilkan harga beras dan bantuan beras bagi 22 juta keluarga berpenghasilan rendah.
Di sisi lain, ada dua momen besar yang bakal mendorong peningkatan konsumsi beras, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 27 November 2024 serta perayaan Natal 2024 dan Tahun Baru 2025.
”Peningkatan kebutuhan itu tidak dibarengi dengan peningkatan produksi, terutama pada tiga bulan terakhir di tahun ini dan dua bulan awal tahun depan. Dalam periode tersebut, Indonesia tengah memasuki musim tanam I padi sehingga produksi beras minim,” tuturnya.
Baca juga: (Berakhirnya) ”Paceklik” Tanaman Pangan
Arief mengatakan telah menyampaikan persoalan tersebut kepada tim presiden terpilih Prabowo Subianto. Pada masa transisi pemerintahan nanti, problem beras tersebut perlu diantisipasi, terutama pada Oktober-Desember 2024 hingga Januari-Februari 2025.
Salah satu caranya, dengan meningkatkan CBP yang dikelola Bulog minimal menjadi 2 juta ton. Namun, saat ini, Bulog tidak bisa menyerap gabah atau beras dari dalam negeri yang produksinya terbatas. Kalau hal itu dilakukan, harga beras berpotensi naik.
”Prioritas kami memang menyerap gabah atau beras dalam negeri. Namun, kalau langkah itu justru akan mendorong kenaikan harga beras, maka dengan sangat terpaksa ditempuh pengadaan beras dari luar negeri,” ucap Arief.
Pada masa transisi pemerintahan nanti, problem beras tersebut perlu diantisipasi, terutama pada Oktober-Desember 2024 hingga Januari-Februari 2025.
Berdasarkan data Panel Harga Pangan Bapanas, per 7 September 2024 pukul 12.00, harga rerata nasional beras medum di tingkat eceran Rp 13.580 per kg. Harga tersebut di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium di tingkat konsumen yang ditetapkan pemerintah Rp 12.500-Rp 13.500 per kg bergantung pada zonasi.
Kenaikan harga beras juga menyebabkan beras mengalami inflasi selama delapan bulan beruntun, sejak Agsutus 2023 hingga Maret 2024. Kemudian, pada April dan Mei 2024, beras mengalami deflasi. Namun, pada Juni-Agustus 2024, beras kembali mengalami inflasi di saat Indonesia mengalami deflasi beruntun pada Mei-Agustus 2024.
Anggaran terbatas
Di tengah melempemnya produksi beras, anggaran institusi pengampu utama produksi pangan, yakni Kementan, justru minim. Pagu anggaran Kementan dalam RAPBN 2025 ditetapkan Rp 7,91 triliun. Oleh karena itu, Kementan mengajukan tambahan anggaran untuk tahun depan senilai Rp 68,92 triliun.
Dalam rapat kerja di Komisi IV DPR, Jumat (6/9/2024), Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, anggaran senilai Rp 7,91 triliun tidak akan cukup untuk meningkatkan produksi pangan pada 2025. Apalagi, Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo Subianto nanti berencana merealisasikan swasembada pangan, terutama beras.
Untuk itu, Kementan mengajukan tambahan anggaran Rp 68,92 triliun. Tambahan anggaran itu akan dimanfaatkan untuk beberapa program, mulai dari swasembada pangan, lumbung pangan daerah, cetak sawah, hingga penyediaan bahan baku Makan Siang Bergizi Gratis yang juga mencakup penyediaan susu gratis.
Baca juga: Karpet Merah Jokowi untuk Program Pangan Gratis Prabowo-Gibran
Nantinya, lanjut Amran, anggaran tersebut akan masuk ke beberapa direktorat jenderal (ditjen), seperti Tanaman Pangan Rp 7,48 triliun, Hortikultura 1,25 triliun, Perkebunan 2,39 triliun, serta Peternakan dan Kesehatan Hewan 2,4 triliun. Selain itu, ada juga Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian yang dialokasikan senilai Rp 51,68 triliun.
”Dari total anggaran tambahan di Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, senilai Rp 26,29 triliun akan digunakan untuk mencetak 1 juta hektar sawah baru. Per hektar membutuhkan biaya Rp 25 juta-Rp 35 juta,” katanya.
Sebelumnya, Amran juga mengakui anggaran Ketahanan Pangan dalam RAPBN 2025 telah dianggarkan Rp 124,4 triliun. Namun, anggaran tersebut tidak menyasar Kementan secara khusus, tetapi akan digunakan sejumlah kementerian/lembaga terkait ketahanan pangan.
Anggaran ketahanan pangan dalam RAPBN 2025 lebih tinggi dari 2024 yang mencapai Rp 115,3 triliun. Anggaran tersebut menurut rencana akan digunakan untuk membiayai praproduksi, produksi, distribusi, hingga pemasaran pangan.
Dari total anggaran tambahan di Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, senilai Rp 26,29 triliun akan digunakan untuk mencetak 1 juta hektar sawah baru.
Dari sisi praproduksi, anggaran akan digunakan untuk bantuan alat tangkap ikan sebanyak 10.000 unit, subsidi pupuk 8,5 juta-9,5 juta ton, serta bantuan alat dan mesin pertanian 1.012 unit. Anggaran itu juga akan dimanfaatkan untuk bantuan benih ikan 131,6 juta ekor, bantuan benih pangan 2.267 hektar, kredit usaha rakyat (KUR) pertanian, dan subsidi resi gudang.
Dari sisi produksi, anggaran dialokasikan untuk program Food Estate (Lumbung Pangan) di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Kemudian, juga untuk cetak sawah 250.000 hektar, pengembangan kawasan padi 485.000 hektar, kawasan jagung 250.000 hektar, bendungan 12 unit, jaringan irigrasi 17.000 hektar, lahan pertanian pangan produktif 20,4 kilometer persegi, dan asuransi pertanian 1 juta hektar.
Adapun dari sisi distribusi, anggaran digunakan untuk kebutuhan pelabuhan logistik, jalan sepanjang 49.782 kilometer, akses jalan tol, kereta api, finalisasi lima bandara, jalan daerah, gudang berpendingin, serta jalan usaha tani. Selain itu, akan digunakan juga untuk cadangan pangan pemerintah, subsidi cadangan pangan, stabilitas pasokan dan harga pangan, gerakan pangan murah di 39 lokasi, revitalisasi pasar rakyat, serta KUR UMKM.
Di tengah kondisi itu, Indonesia menerima Agricola Medal, penghargaan tertinggi di bidang pangan dan pertanian dari FAO, pada 30 Agustus 2024. Semoga penghargaan itu bisa menjadi pemicu Indonesia melewati fase krusial perberasan menuju swasembada pangan, terutama beras, paling lambat pada 2026.
Baca juga: Presiden Peroleh Penghargaan Tertinggi Ketahanan Pangan FAO