Industri Manufaktur Diperkirakan Pulih pada Akhir Tahun 2024
Penyelenggaraan pilkada serentak dan periode libur Natal-Tahun Baru yang secara historis bisa mendongkrak laju ekonomi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Manajer Pembelian atau Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia diperkirakan baru akan kembali ke level ekspansi pada November dan Desember tahun ini. Sebab, pada periode itu ada penyelenggaraan pilkada serentak, serta libur Natal dan Tahun Baru, yang secara historis bisa mendongkrak perekonomian. Namun, PMI Manufaktur Indonesia pada September dan Oktober diperkirakan masih lemah seiring belum terkereknya daya beli masyarakat.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, PMI Manufaktur Indonesia diperkirakan baru akan kembali ke level ekspansi atau melampaui level 50 pada November dan berlanjut di Desember.
Pada November, Indonesia akan menyelenggarakan pilkada serentak di 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Besaran belanja operasional pilkada dan belanja kampanye calon kepala daerah diperkirakan turut menggairahkan dunia manufaktur.
Sektor ekonomi yang bisa menikmati kenaikan belanja pilkada antara lain tekstil dan produk tekstil (TPT), makanan dan minuman, serta percetakan. Sebab, saat pilkada berlangsung, akan ada kenaikan permintaan produk sektor tersebut untuk pembuatan kaus kampanye calon kepala daerah, kaus kampanye partai politik, pembagian makanan-minumanan saat kampanye, alat peraga kampanye, atribut kampanye, dan lain-lain.
Menurut Faisal, dampak pilkada terhadap perekonomian itu sebetulnya tidak terlalu signifikan. Berbagai belanja pilkada memang memberikan dorongan bagi konsumsi domestik. Ini berasal dari pengeluaran belanja pemerintah dan pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT).
Namun, kontribusi belanja pemerintah dan konsumsi LNPRT masih kecil terhadap perekonomian. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi belanja pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) triwulan kedua tahun ini mencapai 7,31 persen. Adapun kontribusi konsumsi LNPRT pada periode yang sama hanya 1,32 persen. Total keduanya hanya berkontribusi sebesar 8,63 persen
”Walau demikian, adanya belanja pilkada ini jadi rangsangan yang cukup positif bagi manufaktur yang kendur karena permintaan yang tengah lesu,” ujar Faisal, Jumat (6/9/2024).
Dengan dorongan pilkada itu, menurut Faisal, PMI Manufaktur Indonesia bisa kembali ke level ekspansi. Hal ini akan dilanjutkan pada Desember. Sebab, pada Desember akan ada momen libur Natal dan Tahun Baru.
Secara historis, periode akhir tahun akan meningkatkan konsumsi masyarakat. Dengan demikian, produksi barang dan jasa manufaktur juga akan ikut terangkat.
Seperti diketahui, PMI Manufaktur Indonesia teranyar, yakni pada periode Agustus berada di level 48,9. Posisi ini melanjutkan tren kontraksi PMI Manufaktur Indonesia yang dimulai Juli yang ada di level 49,3. Angka di bawah 50 menunjukkan kondisi kontraksi, sebaliknya angka di atas 50 menunjukkan ekspansi usaha.
Padahal, sebelumnya, selama 34 bulan berturut-turut manufaktur Indonesia dalam posisi ekspansi. Terakhir Indonesia dalam posisi kontraksi pada Agustus 2021.
Faisal juga menilai penyebab PMI Manufaktur Indonesia dalam posisi kontraksi lantaran lemahnya permintaan akan produk manufaktur baik dari dalam maupun luar negeri. Permintaan yang menurun dari dalam negeri dipicu dari lemahnya daya beli masyarakat. Hal serupa juga terjadi pada permintaan ekspor akibat pelambatan ekonomi global.
Penurunan permintaan itu membuat kegiatan produksi menurun. Maka, belanja para manajer manufaktur akan bahan baku turut berkurang.
Faisal mengatakan, karena penyebab utama PMI Manufaktur terkontraksi adalah daya beli yang lemah, maka untuk membuat PMI Manufaktur ke posisi ekspansi adalah dengan menggencarkan daya beli masyarakat.
Pada September dan Oktober tahun ini, imbuh Faisal, PMI Manufaktur masih akan dalam posisi kontraksi. Sebab, pada dua bulan ke depan belum terlihat adanya kebijakan atau rangsangan yang secara signifikan bisa mengungkit naik daya beli masyarakat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menambahkan, posisi PMI Manufaktur Indonesia yang kontraksi pada Agustus ini adalah anomali. Semestinya, sudah sejak Agustus industri manufaktur dalam periode mempersiapkan produksi dan persediaan untuk belanja masyarakat akhir tahun.
Apalagi mulai akhir September hingga November adalah masa kampanye pilkada serentak di Indonesia. Semestinya, industri manufaktur sudah meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan pilkada serentak dan konsumsi masyarakat di akhir tahun. Namun, lanjut Bhima, manufaktur malah terkontraksi.
”Ini anomali. Artinya, ini mengindikasikan memang terjadi pelemahan permintaan karena lesunya daya beli,” ujarnya.
Masyarakat mengurangi konsumsi produk manufaktur ritel, seperti barang elektronik, suku cadang otomotif, dan rokok. Dalam jangka waktu berikutnya, hal ini bisa kian mengendurkan kinerja industri manufaktur. Padahal, industri manufaktur adalah satu kontributor terbesar perekonomian.
”Jika tren konsumsi melambat dan produksi ikut turun, kami perkirakan perekonomian Indonesia bakal sulit tumbuh menembus 5 persen di tahun-tahun mendatang,” kata Bhima.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani, pemerintah saat ini dan yang akan datang perlu terus mendorong tumbuh kembang industri manufaktur. Sebab, sektor ini tak hanya menjadi kontributor terbesar perekonomian, tetapi juga memberikan lapangan kerja sektor formal bagi masyarakat.
”Dengan industri manufaktur yang bertumbuh dan ekspansi, hasilnya akan dinikmati perekonomian secara luas,” ujar Shinta.