Menlu: Indonesia Kejar 3 Prioritas dalam Pembangunan Berkelanjutan
Energi terbarukan adalah bahan bakar untuk masa depan. Energi juga pendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mengejar tiga prioritas untuk mencapai ekonomi rendah karbon, yakni investasi dan pengembangan ekonomi hijau, optimalisasi ekonomi biru, serta penyerapan emisi karbon. Diplomasi dan kolaborasi menjadi jalannya.
Namun, saat ini, investasi transisi energi yang ada belum cukup untuk membawa dunia ada di jalur menuju emisi nol bersih (NZE) pada pertengahan abad ini. Ada tiga hal prioritas guna mengejar target-target pembangunan berkelanjutan.
”Pertama ialah investasi dan pengembangan ekonomi hijau, yang tentu membutuhkan dukungan teknis dan pendanaan. Dalam hal ini, sudah banyak inisiatif yang bersifat inovatif dan berkelanjutan, khususnya terkait pendanaan. Pesan kami sangat jelas, yakni memastikan teknologi hijau menjadi public goods. Melalui IISF, saya harap kerja sama dengan sektor swasta akan semakin erat dalam hal ini,” kata Retno.
Kedua, mengoptimalkan masifnya potensi blue economy atau ekonomi biru berdasarkan riset. Optimalisasi ekonomi biru dapat menghasilkan lebih dari 1,5 triliun dollar AS serta sekitar 30 juta pekerjaan per tahun di dunia.
Indonesia, menurut Retno, juga sudah meluncurkan peta jalan ekonomi biru yang bertujuan mengembangkan sejumlah sektor utama, seperti akuakultur dan hilirisasi perikanan. Itu untuk memastikan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan konservasi laut.
Ketiga, fokus dalam penyerapan karbon. ”Banyak pembicaraan tentang pengurangan emisi. Namun, kadang, pentingnya penyerapan emisi terlupakan. Sebagai negara dengan hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia, Indonesia memiliki kapasitas untuk menyerap emisi dalam jumlah besar. Indonesia ada di jalur yang tepat dalam hal ini,” kata Retno.
Sebagai negara dengan hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia, Indonesia memiliki kapasitas untuk menyerap emisi dalam jumlah besar.
Retno mengatakan, laporan Bloomberg menunjukkan bahwa investasi energi global naik 17 persen pada 2023 dan diperkirakan akan terus meningkat. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa energi terbarukan ialah bahan bakar untuk masa depan.
Perlu dipahami juga, Retno melanjutkan, energi terbarukan tak lagi sebatas komoditas, tetapi pendorong pertumbuhan ekonomi. Indonesia pun ingin menjadi bagian dari peralihan menuju ekonomi rendah karbon.
”Mengejar masa depan yang berkelanjutan adalah tentang berbagi tanggung jawab. Itu melibatkan setiap orang, mulai dari perorangan hingga organisasi besar. Semua yang ada di sini ialah pemangku kepentingan penting dalam mengejar ekonomi rendah karbon untuk memastikan bumi lebih sehat dan ada peningkatan kualitas hidup, baik bagi kita maupun generasi masa depan,” ujarnya.
Bukan pilihan
Pebisnis sekaligus co-author Net Positive, Paul Polman, menuturkan, keterlibatan sektor swasta menjadi sangat penting di tengah berbagai tantangan transisi menuju ekonomi berkelanjutan. Implementasinya memang tak mudah.
Namun, kenyataannya, perusahaan yang menerapkan aspek keberlanjutan dalam bisnis inti mereka pada akhirnya mampu meningkatkan profit hingga 50 persen dibandingkan para pesaing.
Pada akhirnya, dampak buruk yang terjadi ialah emisi global terjadi, ketimpangan semakin parah, dan kenyataannya, 60 persen populasi dunia menjadi lebih miskin.
”Saya pikir, hal itu bisa dilakukan karena adanya kemauan kolektif. Saat ini, jika kita melihat krisis yang ada, berawal dari tidak adanya perhatian terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan. Pada akhirnya, dampak buruk yang terjadi ialah emisi global terjadi, ketimpangan semakin parah, dan kenyataannya, 60 persen populasi dunia menjadi lebih miskin,” katanya.
Paul menambahkan, semua orang memiliki tanggung jawab yang setara untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Perubahan iklim tidak dapat diatasi tanpa adanya pemulihan alam. Sebab, pada akhirnya, seluruh ekonomi di dunia bergantung pada alam.
Deputi Koordinator Bidang Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin mengatakan, transisi energi, sebagai upaya menghadapi perubahan iklim, memang rumit dan membutuhkan waktu. Oleh karena itu, kerja sama kolaboratif antarnegara menjadi salah satu hal penting dalam mewujudkan hal tersebut.
”Perlu ada pendekatan kolaboratif antara negara maju dan negara berkembang, tanpa mengabaikan nilai kemanusiaan. Kolaborasi bukanlah pilihan, melainkan keharusan,” ujarnya.
Rachmat menambahkan, tanpa kolaborasi dan investasi dari negara-negara maju, skala perubahan yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim tidak akan tercapai. Untuk menciptakan kolaborasi, perlu ada pemahaman bersama.
Di sisi lain, transisi bukan sekadar untuk menekan perubahan iklim, melainkan juga kesempatan untuk mengamankan energi terjangkau dan mendorong pertumbuhan ekonomi, tanpa mengorbankan salah satunya.