Ekonomi Sawit di Persimpangan Jalan
Menurunnya kinerja industri sawit bisa berdampak pada devisa, penerimaan, dan ketahanan eksternal ekonomi Indonesia.
Sawit adalah salah satu penyumbang utama devisa dan penerimaan negara. Namun, kinerjanya belakangan menurun serta ”digempur” dari berbagai sisi. Kondisi ini menjadi ujian bagi masa depan ekonomi Indonesia yang masih sangat bergantung pada komoditas sawit.
Matahari bersinar terik pada Rabu (28/8/2024) siang di lokasi perkebunan kelapa sawit milik PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Tbk, Belitung Timur. Sudah satu tahun terakhir produktivitas di perkebunan sawit itu menurun akibat musim kering berkepanjangan.
Semestinya, 1 hektar kebun dengan sekitar 140 pokok pohon kelapa sawit bisa menghasilkan total 40 ton tandan buah segar (TBS) untuk diolah menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Namun, belakangan, jumlah itu turun cukup signifikan.
Baca juga: Agar Sawit Tak Redup Seperti Komoditas Perkebunan Lainnya
”Potensi (produksi) kami sebetulnya 40 ton TBS per hektar. Tetapi, berdasarkan pengalaman, untuk bisa sampai rata-rata 30 ton saja sudah jago. Otomatis, CPO yang dihasilkan juga turun,” kata Estate Manajer PT ANJ Franky Setiawan, di sela kunjungan ke lokasi perkebunan.
Di sekitarnya, pekerja berlalu-lalang memanen tandan buah kelapa sawit yang sudah matang dari pohon-pohon sawit muda yang tingginya sekitar 3 meter. PT ANJ memiliki perkebunan sawit dengan luas 50.000 hektar. Sekitar 70 persen tanaman sawitnya masih berusia muda di rata-rata 13 tahun, sehingga belum membutuhkan penanaman ulang (replanting).
Artinya, dari segi usia, pohon sawit di perkebunan itu semestinya masih dalam kondisi yang produktif. Biasanya, sawit terhitung tidak produktif setelah usia 25-30 tahun atau jika tingginya sudah berpuluh-puluh meter hingga sulit dipanen.
Pada titik itu, dibutuhkan peremajaan atau replanting. Pohon ditebang, dikeruk sampai ke akarnya, untuk kemudian ditanami pokok sawit yang baru. Di PT ANJ, dengan mayoritas tanaman muda, replanting dilakukan bertahap sekitar 1.000 hektar per tahun sampai 2030.
”Masalah produksi yang kami hadapi memang karena kekeringan. Tumbuhan, kan, butuh air, sehingga produksi pasti turun,” tutur Franky.
Secara umum, produksi sudah stagnan dan cenderung menurun sejak lima tahun terakhir.
Penurunan produksi di PT ANJ itu juga terjadi di berbagai daerah penghasil sawit di Indonesia. Tren cuaca kering dan curah hujan rendah diperkirakan masih akan bertahan pada tahun 2024, membuat produksi CPO berpotensi turun hingga 5 persen dibandingkan tahun 2023.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produksi CPO pada Juni 2024 adalah 3,7 juta ton, turun 5 persen dari produksi Mei 2024 yang sebesar 3,9 juta ton. Sementara secara tahunan, produksi CPO juga turun 4,07 persen dari Juni 2023. Secara umum, produksi sudah stagnan dan cenderung menurun sejak lima tahun terakhir.
Selain cuaca kering di berbagai daerah penghasil sawit, ada pula faktor tanaman sawit yang sudah tua dan program peremajaan sawit yang realisasinya masih jauh dari target. Ini biasanya ditemukan di perkebunan sawit milik petani kecil yang usia tanamannya telah melebihi 25 tahun sehingga produktivitasnya jauh lebih rendah.
”Memang kita seharusnya sudah gencar melakukan replanting, utamanya untuk sawit rakyat. Tetapi, kita malah terlambat, akhirnya produktivitas bukannya naik, malah turun terus,” kata Ketua Umum Gapki Eddy Martono dalam diskusi yang digelar Kementerian Keuangan.
Baca juga: Industri Sawit Tertekan dari Dalam dan Luar Negeri
Kalah saing dan digempur
Selain dari sisi produksi, kinerja ekspor sawit juga sedang lesu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor CPO Indonesia pada Juli 2024 turun 36,37 persen secara bulanan dari 2,18 miliar dollar AS menjadi 1,39 miliar dollar AS. Secara tahunan, ekspor CPO juga turun 39,22 persen dari Juli 2023 yang sebesar 2,28 miliar dollar AS.
Volume ekspor CPO juga menurun secara bulanan dari 2,67 juta ton pada Juni 2024 menjadi hanya 1,62 juta ton pada Juli 2024. Sementara, secara tahunan, volume ekspor turun dari 2,75 juta ton pada Juli 2023.
Hal itu tentu berdampak pada sisi penerimaan dan devisa negara, mengingat CPO masih menjadi penyumbang devisa terbesar ketiga selain batubara dan besi baja. Berdasarkan Data Gapki, industri sawit Indonesia baru bisa memberikan kontribusi 9,78 miliar dollar AS hingga Mei 2024 atau setara dengan 10,01 persen dari ekspor nonmigas Indonesia.
Capaian itu melanjutkan tren penurunan sumbangan devisa dari ekspor CPO yang terjadi sejak 2023. Sebagai perbandingan, pada 2022, industri sawit menyumbangkan devisa 37,7 miliar dollar AS, tetapi turun menjadi 29,54 miliar dollar AS pada 2023.
Eddy Martono menuturkan, permintaan atas ekspor CPO Indonesia secara global terhambat karena harga CPO RI yang kalah saing dengan minyak nabati lain. Ia mencontohkan, China sebagai importir nomor satu produk CPO RI kini beralih ke minyak bunga matahari.
”Saya tanyakan ke Ketua Kadin sana, ternyata karena minyak sawit kita mahal sehingga mereka memilih membeli minyak bunga matahari yang sedang over-supplydan harganya murah. Padahal, mestinya produktivitas minyak bunga matahari itu lebih rendah dari CPO,” tuturnya.
CPO asal RI juga tengah ”digempur ” oleh kebijakan perdagangan negara lain yang bisa membuat produk turunan sawit semakin sulit bersaing.
Contoh lain yang ironis, produk mi instan Indomie asal RI yang dijual di Nigeria bahkan tidak memakai minyak sawit dari Indonesia, melainkan mengimpornya dari Malaysia. ”Waktu saya tanyakan, lagi-lagi ternyata karena minyak sawit kita lebih mahal,” kata Eddy.
Harga CPO RI yang tidak kompetitif itu bukan hanya karena suplai yang lesu, melainkan juga karena berbagai pungutan yang dikenakan, dari Pungutan Ekspor (PE), Bea Keluar (BK), dan pungutan domestic market obligation (DMO). ”Hitungan kami, ada (pungutan) sekitar 138 dollar AS per metrik ton. Terdiri dari PE, BK, dan DMO,” katanya.
Ia berharap, di tengah kondisi produksi yang menurun dan persaingan ekspor yang ketat, pemerintah bisa sedikit melonggarkan kebijakan fiskal.
Apalagi, CPO asal RI juga tengah ”digempur” kebijakan perdagangan negara lain yang bisa membuat produk turunan sawit semakin sulit bersaing. Sebut saja, Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang akan berlaku awal tahun depan, serta rencana penerapan pajak impor CPO dan turunannya oleh India selaku konsumen utama CPO dunia.
”Kami tidak minta tarif pungutan itu dinolkan atau dihilangkan permanen. Tetapi, instrumennya dibuat fleksibel mengikuti situasi, supaya harga kita tidak kalah saing. Misalnya kalau kondisi lagi jelek, (tarif) kita turunkan, kalau kondisi bagus, kita naikkan lagi,” kata Eddy.
Baca juga: Sawit Masih Diandalkan untuk Perekonomian
Masa depan ekonomi
Sebagai negara yang pertumbuhan ekonominya selama ini sangat bergantung pada kinerja ekspor komoditas, kondisi ini menjadi lampu kuning yang perlu diantisipasi pemerintah. Sebab, penurunan kinerja industri sawit bisa berdampak pada devisa, penerimaan, dan ketahanan eksternal ekonomi Indonesia.
”Kita ini produsen sekaligus konsumen minyak sawit terbesar dunia. Kalau tidak dibenahi, bisa berbahaya. Jangan sampai sejarah berulang di mana kita dulu pernah menjadi eksportir terbesar dunia untuk gula, kini malah menjadi salah satu importir gula terbesar,” kata Eddy.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, Indonesia perlu pelan-pelan melepaskan diri dari ketergantungannya yang tinggi pada fluktuasi harga pasar global. Selama ini, ekonomi RI sering disebut mengalami Dutch Disease karena ketergantungannya yang tinggi pada siklus harga komoditas dunia.
Ketika terjadi ledakan harga komoditas seperti CPO, ekonomi RI akan melejit. Namun, ketika harga komoditas dan permintaan anjlok seperti sekarang, ekonomi stagnan bahkan melambat. ”Kata kuncinya memang hilirisasi untuk mendorong peningkatan nilai tambah ekspor, agar kita tidak bergantung pada fluktuasi harga pasar global,” kata Josua.
Selain memperbaiki kinerja sawit dalam negeri, ketergantungan RI yang tinggi pada sawit juga perlu diimbangi dengan mengembangkan hilirisasi komoditas andalan lain. Ia mencontohkan, ada potensi untuk memperkuat kinerja ekspor produk turunan besi dan baja yang saat ini menjadi komoditas ekspor terbesar ketiga RI setelah sawit dan batubara.
Hilirisasi logam dasar merupakan langkah strategi untuk mendiversifikasi komoditas ekspor Indonesia yang selama ini terlalu mengandalkan CPO dan batubara. ”Di saat bersamaan, kita perlu merevitalisasi industri pengolahan kita yang trennya terus melambat. Harapannya, keseimbangan eksternal kita bisa terjaga dan pertumbuhan ekonomi tetap solid,” kata Josua.