Utak-atik Anggaran Pendidikan demi Ruang Manuver Pemerintahan Baru
Ada potensi alokasi anggaran pendidikan di APBN turun sekitar Rp 125 triliun jika belanja wajib mengacu pada pendapatan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR mengangkat wacana untuk mengubah ketentuan alokasi wajib anggaran pendidikan. Dana pendidikan yang selama ini mengacu pada belanja negara ingin diubah menjadi mengacu pada pendapatan. Implikasinya, nilai anggaran pendidikan dalam APBN berpotensi menjadi lebih kecil.
Wacana itu tiba-tiba mencuat dalam rapat kerja pembahasan Rancangan Anggaran Pendidikan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 antara pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Usulan itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelang akhir rapat. Menurut dia, pemerintah saat ini sedang membahas cara untuk mengantisipasi risiko belanja wajib (mandatory spending), seperti anggaran pendidikan, agar tidak membatasi fleksibilitas ruang gerak fiskal pemerintah.
Baca juga: Anggaran Pendidikan 20 Persen Jangan Lagi Sekadar Akal-akalan
Selama ini, anggaran pendidikan diwajibkan sebesar 20 persen dari total belanja di APBN. Hal itu diatur dalam Pasal 31 Ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Di sana disebutkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Aturan itu diturunkan lagi ke dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengatur bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.
Menurut Sri Mulyani, penggunaan nilai belanja negara sebagai acuan menentukan 20 persen anggaran pendidikan selama ini berpotensi menyulitkan pengelolaan keuangan negara. Sebab, nilai belanja negara berpotensi menjadi fluktuatif atau naik-turun seiring dengan dinamika kondisi perekonomian.
Ketika belanja negara membengkak, anggaran pendidikan juga harus disesuaikan dengan ketentuan porsi 20 persen. ”Kalau anggaran pendidikan 20 persen dari belanja, dalam belanja itu banyak ketidakpastian, sehingga anggaran pendidikan menjadi naik-turun begitu,” katanya.
Ia mencontohkan, ketika terjadi peningkatan harga minyak dunia dan penurunan kurs rupiah pada tahun 2022, anggaran subsidi energi pun membengkak hingga Rp 200 triliun sehingga total belanja negara ikut naik.
Konsekuensinya, anggaran pendidikan pun harus naik demi konsisten dengan aturan 20 persen dari total belanja. ”Ini menyulitkan kita dalam mengelola keuangan negara. Artinya, bagaimana APBN mau tetap terjaga, defisit terjaga di bawah 3 persen, tetapi kepatuhan terhadap aturan 20 persen anggaran pendidikan itu tetap kita jaga,” ucapnya.
Utak-atik anggaran pendidikan oleh pemerintahan Jokowi dalam RAPBN 2025 tidak hanya berhenti di situ. Pemerintah juga memutuskan untuk memakai cadangan anggaran pendidikan di RAPBN 2025 untuk membiayai program unggulan (quick wins) Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Untuk mendanai sejumlah janji kampanye Prabowo itu, pemerintah memakai Cadangan Anggaran Pendidikan sebesar Rp 66,85 triliun dari total Rp 107,86 triliun. Dengan demikian, alokasi Cadangan Anggaran Pendidikan di RAPBN 2025 hanya tersisa Rp 41,01 triliun.
Disambut DPR
Menurut Sri Mulyani, belanja yang bisa sewaktu-waktu membengkak di tengah jalan itu akhirnya membuat anggaran pendidikan sulit dibelanjakan semuanya dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Hal itu tampak dari realisasi anggaran pendidikan di APBN yang selama ini tidak pernah mencapai 100 persen, bahkan terus menurun. Pada tahun 2020, anggaran pendidikan hanya terealisasi 93,09 persen, menurun menjadi 87,2 persen (2021), 77,3 persen (2022), dan 79,56 persen pada (2023).
Baca juga: Pemerintahan Jokowi Pakai Cadangan Belanja untuk Biayai Program Prabowo
Oleh karena itu, pemerintah sedang membahas cara untuk mengelola APBN agar tetap patuh konstitusi dan ketentuan mandatory spending, tanpa harus menaikkan belanja dan memperlebar defisit. Caranya, dengan mengubah acuan penetapan belanja wajib pendidikan dari yang awalnya mengacu ke belanja negara menjadi mengacu ke pendapatan.
Dengan mengacu pada pendapatan, anggaran pendidikan tidak terlalu besar dan tidak berpotensi membengkak di tengah jalan seiring dengan membengkaknya belanja. ”Menurut saya, perlu kita bahas definisi anggaran pendidikan, terutama sumber untuk menghitung 20 persen itu,” kata Sri Mulyani.
Diharapkan, pemerintahan baru kelak bisa memiliki ruang fiskal yang fleksibel untuk bermanuver. ”Kami usulkan agar menteri keuangan selanjutnya sebagai bendahara negara punya ruang untuk bermanuver, tetapi tetap transparan dan patuh konstitusi. Sebab, APBN itu kalau kita tetapkan hari ini, minggu depan saja asumsinya sudah bisa bergerak. Tidak mungkin semua dikunci, pasti akan crack,” ujarnya.
DPR pun sepandangan dengan pemerintah. Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan, DPR akan menindaklanjuti wacana revisi UU Sisdiknas jika pemerintah ingin mengubah ketentuan belanja wajib (mandatory spending) pendidikan di APBN.
”Banggar selanjutnya akan mengambil peran untuk bersurat kepada DPR agar DPR meneruskan ke Baleg untuk melakukan revisi UU Pendidikan,” kata Said.
Anggaran jadi mengecil
Meski demikian, perubahan definisi anggaran pendidikan itu bisa berdampak pada nilai total anggaran pendidikan yang lebih kecil. Sebab, dengan model keuangan negara yang defisit, besaran pendapatan sejatinya lebih kecil daripada belanja. Otomatis, nilai anggaran pendidikan juga bisa ikut menurun.
Sebagai contoh, dalam RAPBN 2025, anggaran pendidikan telah dialokasikan sebesar Rp 722,6 triliun sesuai dengan aturan 20 persen dari total belanja Rp 3.613,06 triliun. Sementara itu, jika penetapannya kelak mengacu 20 persen pada pendapatan, alokasi anggaran pendidikan turun menjadi Rp 599,3 triliun.
Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai, selama ini pemerintah memang kesulitan bermanuver mengelola keuangan negara karena adanya aturan kewajiban anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari belanja. Hasilnya, anggaran pendidikan dalam APBN memang nyaris tidak pernah terealisasi sepenuhnya dalam beberapa tahun terakhir.
”Ini sudah terjadi 3-4 tahun terakhir. Realisasinya jauh dari 20 persen belanja. Kemungkinan karena kesulitan itu terus berulang, sekalian saja diubah menjadi mengacu ke pendapatan. Sebab, dalam praktik beberapa tahun terakhir, memang terpenuhi kalau 20 persen dari pendapatan, mengingat pendapatan nilainya lebih kecil dari belanja,” ujarnya.
Baca juga: Pemerintahan Janji Makan Bergizi Gratis Tak Ganggu Dana Pendidikan Lain
Meski demikian, ia menilai revisi UU demi mengubah acuan ketentuan belanja wajib pendidikan bukan solusi yang tepat. ”Sebab, sebenarnya masalah utama kita adalah pada kualitas belanja, termasuk untuk pendidikan. Jadi, yang perlu segera diperbaiki itu efisiensi dan efektivitasnya,” kata Awalil.
Ekonom Senior Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto bisa memahami adanya keinginan pemerintah untuk mematok mandatory spending pendidikan berdasarkan pendapatan ketimbang belanja, yakni untuk mendorong realisasi atau penyerapan anggaran yang lebih baik.
Meski demikian, ia mengingatkan, langkah itu berpotensi membuat nilai anggaran pendidikan turun cukup signifikan. Ia memperkirakan ada potensi alokasi anggaran pendidikan di APBN bisa turun sekitar Rp 120 triliun-Rp 125 triliun akibat langkah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu hati-hati mengkajinya agar tidak menimbulkan kegaduhan.
”Sebelum diputuskan, keluarkan dulu laporan kajian atau white paper sehingga kebijakan ini bisa diterima dan tidak menimbulkan kegaduhan baru. Sebab, jangan sampai penurunan anggaran itu menurunkan alokasi anggaran untuk pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, menengah dan tinggi,” kata Teguh.
Ia mengingatkan, selama ini, masalah belanja pendidikan di Indonesia bukan bersumber dari nilai anggaran, melainkan kualitas program. Pasalnya, belum ada cetak biru yang jelas mengenai arah reformasi pendidikan di Indonesia sehingga tetap saja ada masalah seputar gaji guru dan output kualitas pendidikan, serta skor PISA yang masih jauh tertinggal.
”Mau pakai acuan pendapatan atau belanja sebenarnya oke saja selama ada terobosan kebijakan yang baru di sektor pendidikan,” ujarnya.