Peralihan dari fosil ke energi terbarukan akan dilakukan bertahap demi menjaga target pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menyatakan komitmen beralih dari energi fosil ke energi terbarukan, di antaranya melalui 400 proyek yang disiapkan. Proyek itu termasuk pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU Suralaya di Banten, dan PLTU Cirebon I di Cirebon, Jawa Barat. Namun, peralihan tersebut akan dilakukan bertahap demi menjaga target pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024, di Jakarta, Kamis (5/9/2024), mengatakan, posisi Pemerintah Indonesia sudah jelas, yakni berkomitmen pada transisi energi. Target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) tahun 2060 telah ditetapkan, bahkan dicoba dikejar lebih cepat.
”Sudah ada 400 proyek (terkait transisi energi). Contohnya ialah pengakhiran dini operasi PLTU Suralaya sekitar 2 gigawatt (GW). Juga (PLTU) di Cirebon 660 megawatt (MW). Jadi, ini proyek konkret. Mengenai pendanaannya, kami terus mendiskusikannya,” ujar Luhut.
Akan tetapi, lanjut Luhut, semua juga harus adil melihat transisi energi di Indonesia. Pasalnya, Indonesia harus mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang pada 2023 di atas 5 persen. Dalam 10 tahun ke depan, Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen, dalam rangka menuju negara berpendapatan tinggi, yang masih mungkin untuk dicapai.
Menurut dia, segala upaya peralihan ke energi terbarukan dilakukan bertahap. Sebab, bagaimanapun Indonesia membutuhkan energi pemikul beban dasar (baseload) yang saat ini masih ditopang energi fosil dari batubara. Tanpa energi baseload, maka pertumbuhan ekonomi terancam tersendat.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani menambahkan, negara berkembang seperti Indonesia, memiliki berbagai tantangan dalam transisi energi. Namun, energi terbarukan juga menghadirkan peluang besar yang dapat dioptimalkan. Indonesia, misalnya, yang memiliki potensi energi terbarukan sekitar 3.600 GW, tetapi pemanfaatannya kurang dari 1 persen.
Apabila lebih dioptimalkan, hal itu juga mendukung pengembangan energi terbarukan di kawasan. ”International Energy Agency (IEA) mengestimasi pada 2040, porsi energi terbarukan dalam bauran ketenagalistrikan di Asia Tenggara aken meningkat tiga kali lipat, didorong oleh energi surya dan angin. Indonesia akan lepas dari batubara pada 2050 dan saat ini ada 2-3 PLTU yang akan diterminasi (pengakhiran dini operasi),” kata Rosan.
Ia menambahkan, negara-negara berkembang perlu meningkatkan kerja sama dan bertukar pengalaman terbaik dalam proyek-proyek transisi energi. Pemerintah beserta industri pun perlu lebih lincah dan adaptif menghadapi dinamika perekonomian global. Ia pun berharap negara-negara maju dan institusi finansial untuk mendukung negara terbarukan lewat investasi dan pendanaan, transfer teknologi, dan rantai pasok terintegrasi.
Di sela-sela penyelenggaraan ISF 2024, Royal Golden Eagle (RGE) Group bersama Total Energies bersepakat akan membangun pembangkit listrik tenaga surya untuk dipasok ke Singapura. Kedua perusahaan itu telah membentuk perusahaan patungan Singa Renewables Pte Ltd dan telah mendapat persetujuan dari Energy Market Authority Singapura, Kamis.
Menurut rencana, daya listrik tenaga surya yang akan dipasok ke Singapura mencapai 1 GW. Namun, disebutkan pula bahwa Singa Renewables juga akan memasok listrik tenaga surya ke kompleks industri hijau yang ada di Riau.
Dalam siaran pers, Kamis, Global Head of Renewable Energy RGE Wiliiam Goh menyatakan, proyek tersebut ditujukan untuk menumbuhkan investasi di sektor energi terbarukan di Indonesia. Selain itu, diharapkan pula proyek tersebut mampu menciptakan lapangan kerja baru dan berkontribusi pada pengembangan rantai pasok tenaga surya di Indonesia.
Sementara itu, Senior Vice President Renewables di Total Energies Olivier Jouny menyebutkan, pihaknya berkomitmen menyediakan energi bersih yang andal dengan mengombinasikan sistem penyimpanan tenaga listrik dengan baterai bagi pelanggan korporat. Hal itu nantinya akan terangkum dalam perjanjian jual-beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).
Menurut Minister for Manpower and Second Minister for Trade & Industry Singapura Tan See Leng, di acara yang sama, mengatakan, kerja sama internasional menjadi kunci dalam transisi energi, terutama di Asia Tenggara. Antarnegara bisa saling belajar terlepas dari seberapa besar potensi sumber daya yang dimiliki. ”Interkonektivitas akan membuat transisi ini sukses,” katanya.
Ia menambahkan, saat negara-negara semakin terkoneksi, transisi bisa berjalan lebih jelas, terprediksi, dan transparan. Juga, dibutuhkan kerangka kerja (framework) yang kokoh dalam akselerasi investasi. Pasalnya, saat ini, porsi negara-negara Asia Tenggara hanya 2 persen dari total investasi energi di tingkat global, khususnya energi terbarukan. Artinya, masih ada peluang untuk meningkatkan investasi.
Terkait dukungan transisi energi dari dalam negeri, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengemukakan, pihaknya menjalankan strategi transisi energi guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional serta target NZE 2060. Pertamina mengalokasikan sekitar 15 persen dari total belanja modal untuk mendukung transisi energi dan pengembangan portofolio bisnis rendah karbon. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata perusahaan energi dunia.
Di samping itu, Pertamina juga terus mengembangkan infrastruktur gas sebagai sumber energi andalan dalam mendukung transisi energi. Selain itu, juga pada energi panas bumi yang bisa menjadi opsi terbaik energi ramah lingkungan di Indonesia.
”Pertamina juga telah mengembangkan biofuel penerapan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS), hingga solusi berbasis NBS (nature-based solutions) yang terbukti bisa menurunkan emisi,” kata Nicke.