Mengenang Sosok dan Pemikiran Faisal Basri
Faisal dikenal kritis lewat pemikiran-pemikirannya yang tajam di bidang ekonomi, terutama terkait kebijakan pemerintah.
Pada Kamis (5/9/2024) pukul 03.50, ekonom senior Faisal Basri mengembuskan napas terakhir dalam usia 65 tahun, di RS Mayapada, Jakarta. Bagi koleganya, pemilik nama asli Faisal Batubara itu dikenal sebagai pemikir yang teguh, kritis, konsisten, dan berintegritas. Tak hanya masalah-masalah ekonomi, dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini juga pernah terjun ke dunia politik.
Almarhum dikenal blak-blakan dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Dia juga tak mengenal rasa takut saat memimpin Tim Reformasi Tata Kelola Migas di era kepemimpinan Sudirman Said sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2014-2016. Pada masa itu dikenal istilah mafia migas yang berujung pada pembubaran Petral Ltd, unit usaha milik PT Pertamina (Persero) bidang trading minyak mentah dan bahan bakar minyak.
Saat ditanya mengenai keamanan dirinya tatkala memimpin Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal menjawab tak ada yang perlu ditakutkan. Ia merasa tak ada yang mengincarnya meski ke mana-mana kerap bepergian menggunakan transportasi publik, seperti bus Transjakarta. Penampilannya khas, topi pet dipadu dengan kemeja dan tas punggung.
”Enggak, biasa saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujarnya saat ditanya wartawan.
Baca juga: Faisal Basri, Ekonom Senior nan Kritis Itu Berpulang
Berikut rekam jejak sepak terjang dan pemikiran Faisal Basri yang diambil dari Kompaspedia.
Keponakan Wapres Adam Malik
Faisal Basri lahir di Bandung pada 6 Februari 1959. Memiliki nama lengkap Faisal Batubara, putra berdarah Batak Mandailing dari ayahnya ini lebih dikenal dengan nama Faisal Basri. Nama Basri merupakan nama ayahnya yang digunakan sebagai penghormatan terhadap sang ayah, Hasan Basri Batubara. Ibunya bernama Saidah Nasution. Faisal Basri juga diketahui sebagai salah satu keponakan dari mantan Wakil Presiden RI Adam Malik.
Faisal menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya hingga berusia 6 tahun. Kemudian, ia pindah ke Ibu Kota dan tinggal di kawasan Guntur Halimun, Jakarta Selatan. Pendidikan tingkat sekolah dasar dan menengah ia jalani di dekat rumahnya, lalu menempuh pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 3 Jakarta.
Seusai lulus dari SMA Negeri 3, Faisal kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Ia mengambil jurusan Ekonomi Studi Pembangunan. Saat bersatus mahasiswa FEUI, Faisal aktif di berbagai kegiatan mahasiswa di kampus Salemba. Terlebih ketika di kampus tengah terjadi gejolak melawan Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada era Orde Baru.
Pria asal Medan ini meraih gelar sarjana ekonomi FEUI tahun 1981 dan melanjutkan ke jenjang pendidikan S-2 hingga meraih gelar magister of arts (MA) bidang ekonomi dari Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika Serikat, tahun 1988.
Faisal Basri menikah dengan Syahfitri Nasution. Mereka dikaruniai tiga anak, yaitu Anwar Ibrahim Basri, Siti Nabila Azuraa Basri, dan Muhammad Attar Basri.
Lihat juga: Faisal Basri, Sudirman Said, hingga Sukidi Bicara soal Pemimpin Idola
Karier
Faisal Basri mengawali karier sebagai peneliti dengan pangkat junior research assistant di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) pada 1981. Kariernya terus merangkak naik, hingga 1991 ia diangkat sebagai Wakil Direktur LPEM, dan dua tahun kemudian menjadi Direktur LPEM.
Ia juga mengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI. Mata kuliah yang diajarkannya ialah bidang Ekonomi Politik, Ekonomi Internasional, Ekonomi Pembangunan, dan Sejarah Pemikiran Ekonomi. Selain itu, Faisal juga mengajar di Program Magister Akuntansi (MAKSI), Program Magister Manajemen (MM), Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (PNPM), dan Program Pascasarjana UI sejak 1998.
Di luar kampus UI, Faisal aktif mengajar dan bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi, antara lain sebagai Ketua STIE Perbanas Jakarta (1999-2003), Research Associate dan Koordinator Penelitian Bidang Ekonomi dalam rangka kerja sama penelitian antara Pusat Studi Jepang UI dan University of Tokyo pada 1997-1998.
Ia juga menjadi Koordinator Bidang Ekonomi, Panitia Kerja Sama Kebahasaan Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Babbim). Aktivitas Faisal lainnya ialah menjadi Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas Jakarta tahun 1999–2003, dan sebagai salah satu pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tahun 1995–2000.
Dosen Teladan III UI ini juga aktif di dunia jurnalistik. Ia menjadi Redaktur Ahli Koran Mingguan Metro periode 1999–2000. Pada periode yang sama, ia menjadi Dewan Pengarah Jurnal Otonomi yang diterbitkan oleh Yayasan Pariba. Faisal juga menjadi anggota Dewan Redaksi Majalah Kajian Ekonomi-Bisnis Media Eksekutif, Program Extention FEUI (1996-1998), dan sebagai Guest Editor pada NIPPON (Seri Publikasi Monograf Pusat Studi Jepang UI). Di harian Kompas, Faisal pernah tercatat sebagai anggota Ombudsman Kompas.
Lihat juga: Faisal Basri Kritisi Pemerintah
Terjun ke dunia politik
Faisal mulai terjun ke dunia politik praktis saat era reformasi. Dirinya menjadi salah satu pendiri Majelis Amanah Rakyat yang menjadi cikal bakal Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan pada 23 Agustus 1998. Faisal sebagai sekretaris jenderal pertama PAN periode 1998–2000.
Pada Januari 2001, Faisal mundur dari PAN, dan tetap aktif di dunia politik. Ia mendirikan organisasi politik Pergerakan Indonesia (PI) dan menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional sejak Kongres I tahun 2004 hingga 2010. Selanjutnya, ia dipercaya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Nasional.
Faisal pernah mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta. Pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, Faisal sebagai calon gubernur menggandeng Biem Benyamin menjadi calon wakil gubernur melalui jalur independen. Namun, ia kalah suara dibandingkan dengan calon lainnya, yaitu Joko Widodo, Fauzi Bowo, dan Hidayat Nur Wahid.
Terkait dengan sepak terjangnya di dunia politik, Sudirman mengaku mendukung penuh Faisal ketika maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Mereka juga pernah sama-sama aktif di lapangan di tengah ramai kasus Cicak vs Buaya yang melibatkan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi dan Markas Besar Polri pada periode 2009.
”Persahabatan saya dengan Bung Faisal berlangsung sejak masa sebelum Reformasi 1998. Bersama-sama kami membuat berbagai inisiatif dan gerakan,” ujar Sudirman, saat dihubungi pada Kamis (5/9/2024).
Baca juga: Asia Pasifik Menjadi Ajang Kompetisi
Cendekiawan berdedikasi
Dedikasi dan sepak terjang Faisal Basri berbuah beragam penghargaan. Di dunia akademik, dosen ekonomi andal ini menyandang gelar Dosen Teladan III Universitas Indonesia pada 1996.
Selain itu, sepak terjangnya kritis dan lantang menyuarakan segala bentuk penyelewengan, penyuapan, dan korupsi telah menyematkan pada dirinya sebuah penghargaan Pejuang Antikorupsi 2003, yang diberikan oleh Masyarakat Profesional Madani (MPM), di Gedung Joang 45, Jakarta, pada 15 Januari 2004.
Faisal juga meraih penghargaan FEUI Award 2005 untuk prestasi, komitmen, dan dedikasinya dalam bidang sosial kemasyarakatan, di kampus UI Depok, pada 17 September 2005. Penghargaan lainnya adalah Lifetime Achievement Kompasiana Award 2015 pada 13 Desember 2015.
Pada 2016, harian Kompas mengganjar Faisal dengan Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi. Penghargaan yang diserahkan langsung pendiri Kompas, Jakob Oetama, itu dalam rangka merayakan dan mensyukuri Hari Ulang Tahun Ke-51 Kompas.
Baca juga: Faisal Basri Merayakan Ulang Tahun di Pantai
Kritik kepada pemerintah
Faisal Basri memberikan pandangannya terkait situasi dan kondisi pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 7 Februari 2024 atau seminggu menjelang Pemilihan Presiden 2024. Ekonom UI ini menarik kesimpulan bahwa apa pun gejolak ekonomi yang terjadi pada tahun ini akan lebih didominasi oleh faktor internal. Beberapa poin yang menjadi sorotan Faisal Basri adalah:
(1) Harga Beras Naik. Tahun lalu Indonesia masih mengimpor 3 juta ton lebih beras, dan kenaikan harga itu dapat menciptakan persoalan bagi RI.
(2) Pertumbuhan Ekonomi Lamban. Menurutnya, selama kepemimpinan Joko Widodo, ekonomi Indonesia terus mengalami perlambatan. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia di periode 2 pemerntahan Jokowi sekitar 4,7 persen.
(3) Angka Pengangguran Indonesia turun, tetapi penciptaan lapangan kerja semakin tidak berkualitas. Makin banyak pekerja informal, ketimpangan makin menjadi-jadi.
(4) Pendidikan Indonesia pada era Jokowi pada kondisi yang hancur lebur. Beberapa dasar pendidikan Indonesia pada 2022 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2000.
(5) Turunnya Angka Harapan Hidup Indonesia. Selama 2 tahun terakhir, rata-rata harapan hidup Indonesia turun menjadi 67,6 tahun. Angka ini lebih rendah dari Timor Leste yang mencapai 67,7 tahun. Berdasarkan data Bank Dunia, Angka Harapan Hidup Indonesia turun dari 70 tahun 2019 menjadi 67 tahun pada 2021. Itu hanya lebih sedikit lebih tinggi daripada Myanmar, bahkan Indonesia kalah dari Timor Leste.
(6) Turunnya Indeks Demokrasi. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun dari yang sebelumnya pada 2022 di peringkat ke-110 menjadi peringkat ke-115 tahun 2023. Begitu pula dengan skornya, yang stagnan pada level 34. Padahal, delapan tahun yang lalu, Indonesia pernah level 38. ”Beriringan dengan merosotnya demokrasi, demokrasi indeks juga turun,” tutur Faisal.
(7) Hilirisasi nikel yang hanya menguntungkan China. Menurut Faisal, pada Agustus 2023, 90 persen dampak hilirisasi nikel hanya menguntungkan China yang menjadi negara tujuan utama ekspor nikel mentah dan produk turunannya.