Perusahaan Teknologi Akuakultur eFishery Ekspansi Bisnis ke India
Perusahaan eFishery memperluas bisnis perikanan budidaya ke India. Pasar India dinilai besar untuk perikanan air tawar.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan teknologi akuakultur eFishery memulai ekspansi bisnis ke India tahun ini. Setelah melakukan pengurangan karyawan beberapa waktu lalu, perusahaan melakukan penetrasi bisnis perikanan budidaya air tawar dengan membidik pasar India.
Sebelumnya, perusahaan berstatus unicorn ini mengumumkan pemutusan hubungan kerja pada akhir Juli 2024. Dilansir dari laman resmi, ekosistem terintegrasi dari eFishery yang meliputi lokapasar dan platform penjualan produk ikan, udang, serta layanan ke akses finansial telah mendukung lebih dari 100.000 pembudidaya dan petambak di seluruh Indonesia.
CEO and Co-founder eFishery Gibran Huzaifah mengemukakan, ekspansi eFishery ke pasar internasional, khususnya India, telah menunjukkan hasil yang positif. Meskipun baru memasuki tahun pertama, operasi eFishery di India telah berhasil mencapai titik impas (EBITDA positif) serta berhasil menjalin kemitraan dengan lebih dari 100 pembudidaya ikan di India.
”Penetrasi bisnis eFishery ke India membawa dan menawarkan ekosistem komprehensif kepada pembudidaya secara end to end, termasuk teknologi akuakultur yang canggih sambil tetap mengeksplorasi pasar potensial di India,” ujar Kamis (5/9/2024).
Gibran mengemukakan, penetrasi bisnis eFishery ke India akan fokus pada perikanan budidaya air tawar. Usaha di sektor budidaya ikan air tawar itu dinilai tidak memiliki kompetitor di India, sedangkan potensi pasarnya besar dengan jumlah penduduk India yang besar. Kompetitor teknologi perikanan di India lebih banyak masuk ke udang.
Pihaknya tidak memiliki target investasi karena disesuaikan dengan pertumbuhan pasar di India. Target pendapatan (revenue) di India sekitar 5 juta dollar AS atau Rp 85 miliar. ”Hingga saat ini kami sudah memiliki 100 mitra pembudidaya di India,” ujarnya.
Sepanjang semester I (Januari-Juni) 2024, perusahaan mencatat pertumbuhan pendapatan 30 persen secara tahunan. Sampai akhir 2024 pertumbuhan pendapatan ditargetkan 50 persen secara tahunan.
Gibran mengemukakan, fenomena pengurangan karyawan bukan karena tekanan dari situasi eksternal. Akan tetapi, restrukturisasi untuk perubahan strategi bisnis dan memastikan bisnis berkelanjutan dan lebih efisien.
Diversifikasi pasar
Gibran menambahkan, salah satu tantangan pasar yang dihadapi saat ini adalah tuduhan dumping ekspor udang Indonesia ke pasar AS. Sementara AS menjadi pasar tujuan utama komoditas udang dengan kontribusi hampir 80 persen dari total ekspor udang.
Adapun eFishery menggarap ekspor udang ke AS dengan kontribusi pendapatan sekitar 30 persen dari total pendapatan perusahaan. Guna mengantisipasi dampak tuduhan dumping yang dapat berimbas pada pengenaan tarif bea masuk antidumping oleh pasar AS, pihaknya menyiapkan diversifikasi pasar ekspor udang, antara lain ke China, Korea Selatan, dan Timur Tengah.
Ia menambahkan, model bisnis yang inovatif dan berkelanjutan sangat dibutuhkan dan dapat diadopsi dengan baik di berbagai pasar. Di antaranya, solusi teknologi yang efektif bagi para pembudidaya ikan dan petambak udang serta penerapan tata kelola perusahaan yang kuat.
Mazlan Hashim, Vice President of Governance, Risk and Compliance eFishery, mengemukakan, tata kelola perusahaan yang telah berjalan di eFishery dirancang sesuai dengan kerangka kerja global yang berlaku. Pihaknya terus melakukan perbaikan dan pengembangan sistem pengendalian internal untuk memastikan seluruh risiko bisnis terkelola dengan baik.
”Penerapan tata kelola perusahaan yang baik dapat mendorong kinerja perusahaan untuk berfungsi secara efisien sehingga dapat terus memberikan dampak positif bagi ekosistem yang tergabung di dalamnya, termasuk masyarakat,” ujar Mazlan.
Tudingan dumping tidak berdasar
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia Rokhmin Dahuri mengatakan, tuduhan dumping memang akan membawa dampak serius pada keberlanjutan industri udang di Indonesia jika sanksi perdagangan diterapkan. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya akan merusak reputasi eksportir udang Indonesia, tetapi juga berpotensi mengakibatkan dikenakannya bea masuk yang lebih tinggi, yang dapat mengurangi daya saing udang Indonesia di pasar global. Selain itu, tuduhan tersebut berisiko mengganggu keberlanjutan operasi para petambak dan unit pengolah udang yang melibatkan jutaan tenaga kerja.
”Karena itu, KKP bersama Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, dan lembaga negara lainnya perlu segera melakukan perundingan untuk meyakinkan pemerintah dan pengusaha udang Amerika Serikat bahwa Indonesia tidak melakukan praktik dumping komoditas udang. Buktinya, harga jual udang vaname ukuran 40-50 ekor per kilogram di pasar domestik Indonesia berkisar Rp 60.000-Rp 80.000 per kg. Sementara harga di negara-negara tujuan ekspor termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa berkisar 8-10 dollar AS per kg (setara Rp 120.000 hingga Rp 150.000 per kg),” paparnya.
Selain itu, kata Rokhmin, pembudidaya udang di Indonesia tidak menerima subsidi dari pemerintah. Para petambak udang di Indonesia beroperasi secara mandiri tanpa subsidi untuk bahan bakar minyak, benih, ataupun pakan. Harga udang yang kompetitif di pasar ekspor bukanlah hasil dari intervensi pemerintah, melainkan dari efisiensi produksi dan daya saing industri yang telah dibangun oleh pelaku usaha udang Indonesia.
”Dengan upaya diplomasi yang cerdas dan elegan, Indonesia pernah berhasil mematahkan tuduhan dumping udang oleh Amerika Serikat pada 2003,” kata Rokhmin.