Bumi-Manusia Dunia Selatan
IAF dan HLF MSP 2024 membawa Dunia Selatan menjaga dan membangun bumi-manusia melalui perdagangan dan investasi.
Di tengah konflik geopolitik dan geoekonomi, Dunia Selatan justru menggalang solidaritas. Di kala dunia semakin terfragmentasi atau terkotak-kotak, Dunia Selatan malah memperkuat kemitraan berkelanjutan.
Dunia Selatan (Global South), sebutan bagi negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Pasifik Selatan, berupaya menjaga dan membangun tierra humana (bumi-manusia). Spirit Bandung bernapaskan Dasasila Bandung yang terlahir dalam Konferensi Asia Afrika 1955 menjadi dasarnya.
Nuansa itulah yang bergulir dalam Froum Indonesia-Afrika (IAF) Ke-2 dan Forum Tingkat Tinggi Kemitraan Multipihak (HLF MSP) yang digelar di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, pada 1-3 September 2024. IAF mengusung tema ”Spirit Bandung untuk Agenda 2063 Afrika”, sedangkan HLF MSP bertajuk ”Memperkuat Kemitraan Multipihak yang Memiliki Kepentingan Terkait untuk Pembangunan Menuju Perubahan Transformatif”.
Kedua forum itu dibuka Presiden RI Joko Widodo yang didampingi presiden terpilih Prabowo Subianto. Forum itu dihadiri tujuh kepala negara, perwakilan negara-negara selatan, perusahaan swasta dan negara, filantropi, akademisi, serta lembaga multilateral dan finansial.
Froum tersebut mengusung sejumlah keprihatinan global. Beberapa di antaranya adalah konflik geopolitik; tiga krisis planet, yakni polusi, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati; disrupsi perdagangan dan rantai pasok; serta kemiskinan.
Persoalan-persoalan itu menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pascapandemi Covid-19. Target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dunia pun meleset keluar jalur. Hanya terealisasi sekitar 15 persen pada 2023.
Baca juga: Indonesia-Afrika Gaungkan Solidaritas dan Kemitraan Global
Tak heran jika dalam forum itu, Jokowi dan sejumlah kepala negara Afrika menyerukan pentingnya memperkuat solidaritas dan kemitraan. Dalam kondisi sulit itu, solidaritas internasional justru menurun. Semangat multilateralisme semakin dikesampingkan dan fragmentasi antarnegara semakin melebar sehingga negara-negara berkembanglah yang paling terdampak.
Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao bahkan menegaskan, dunia penuh dengan kemiskinan, ketimpangan sosial, krisis lingkungan, dan penderitaan manusia yang meluas. Sekitar 10 orang terkaya di dunia memiliki harta yang jauh lebih banyak ketimbang 3,5 juta orang miskin di dunia. Kala finansial terbatas, negara-negara berkembang justru berjuang keras dan mengeluarkan dana lebih besar untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Kala finansial terbatas, negara-negara berkembang justru berjuang keras dan mengeluarkan dana lebih besar untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Bentuk kemitraan
Oleh karena itu, IAF dan HLF MSP 2024 berupaya mencari solusi bersama atas beragam persoalan bumi-manusia itu. Arahnya tidak hanya pada kemitraan berorientasi bisnis, tetapi juga peningkatan kapasitas, transfer pengetahuan dan teknologi, serta pembiayaan inovatif multipihak.
Dalam forum IAF, RI-Afrika fokus menggarap empat sektor prioritas, yakni ketahanan pangan, energi, kesehatan, dan mineral kritis. Nota kesepahaman (MoU) kerja sama di empat sektor itu senilai total 2,9 miliar dollar AS juga disepakati RI bersama sejumlah negara Afrika.
Baca juga: RI-Afrika Buahkan Sejumlah Langkah Konkret Transformasi Ekonomi
MoU itu, antara lain, berupa transfer teknologi farmasi dan vaksin, pengelolaan energi panas bumi, pembangunan infrastruktur kelistrikan, dan pengolahan pupuk. Sejumlah negara Afrika bahkan tertarik bekerja sama dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan produk turunan, serta hilirisasi tambang mineral kritis.
Sejumlah negara juga berkomitmen menjalin kemitraan membangun sektor pangan yang tahan terhadap perubahan iklim. Hal itu mencakup transfer teknologi pertanian dan benih, serta pembangunan rantai pasok pangan.
Adapun HLF MSP menghasilkan sejumlah kesepakatan yang mengarah pada kemitraan multipihak dan transformasi Dunia Selatan. Skema kerja sama yang semula berbasis bantuan pelan-pelan akan diubah menjadi berorientasi perdagangan dan investasi yang juga dapat menopang SDGs.
Lembaga Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), South Center, dan lembaga pendanaan multilateral bakal digandeng. Penghapusan pajak ganda, pendanaan campuran multipihak, penggunaan mata uang lokal, dan memobilisasi penanaman modal asing langsung (FDI) akan disasar.
Kemitraan mewujudkan ekonomi sirkular, hijau, dan biru juga diperkuat. Beberapa di antaranya melalui upaya mengatasi kenaikan permukaan laut, memproduksi produk ramah lingkungan, dan memberantas penangkapan ikan ilegal.
RI bahkan memotori pengembangan transportasi udara menggunakan pesawat kecil di sejumlah negara Dunia Selatan. Hal itu seiring dengan dibukukannya kontrak pembelian 5 pesawat N219 produksi PT Dirgantara Indonesia (PT DI) senilai total 66,2 juta dollar AS yang bakal dioperasikan di Kongo.
Kepulauan Salomon juga meminati pesawat itu, tetapi dalam bentuk amfibi atau yang mampu mendarat di air. Kini, PT DI tengah membuat pesawat jenis itu dan diperkirakan bakal kelar dua tahun mendatang.
Baca juga: Indonesia Pasarkan N219 ke Negara-negara Berkembang
Solusi pembiayaan
Baik IAF maupun HLF MSP sama-sama menekankan pentingnya pembiayaan inovatif dan jaminan atas pebiayaan itu. Pembiayaan inovatif bakal dijadikan salah satu solusi terhadap terbatasnya keuangan negara dan rendahnya aliran FDI yang masuk ke negara-negara berkembang.
Salah satu bentuk pembiayaan inovatif yang bakal didorong adalah pendanaan campuran. Pendanaan campuran itu dapat meringankan beban keuangan negara sekaligus memobilisasi investasi atau pendanaan dari swasta.
Bentuknya bisa berupa dana tunai atau nontunai, seperti program-program tanggung jawab sosial yang menyasar pembangunan sektor tertentu. Selain itu, juga bisa berupa investasi pengembangan sektor-sektor sasaran SDGs dan pembangunan daerah.
RI telah menerapkannya di Bali dengan melahirkan Bali Development Fund. Di tingkat global, RI mendorong pengoptimalan peran Aliansi Pendanaan Campuran Global (GBFA). GBFA tersebut diharapkan mampu memobilisasi dana filantropi dan bahkan FDI.
World Investment Report 2022 menunjukkan, negara-negara maju menyediakan dana FDI sekitar 1 triliun dollar AS. Namun, negara-negara berkembang dan kurang berkembang secara kolektif hanya menerima sekitar 400 juta dollar AS.
Tren ini mengindikasikan adanya ketimpangan distribusi investasi asing. Mayoritas aliran FDI masih terkonsentrasi ke negara-negara maju. Di sisi lain, muncul pula tren investasi dari negara-negara berkembang justru mengalir ke negara-negara kuat di selatan atau ke negara-negara maju di utara.
Baca juga: RI Dorong Kemitraan Multipihak Kembangkan Pendanaan Campuran
Konflik kekerasan kerap muncul akibat kurangnya sikap saling menghargai dan penguasa memaksakan keinginan atau visi sendiri.
Mungkin sebuah kebetulan juga, tepat setelah berakhirnya IAF dan HLF MSP 2024, Paus Fransiskus melawat Indonesia. Kala bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, Rabu (4/9/2024), pemimpin umat Katolik sedunia itu menyerukan pentingnya solidaritas dan kerja sama global berbasis persaudaraan dan bela rasa.
Hal itu penting mengingat dunia saat ini memiliki kecenderungan-kecenderungan yang menghalangi perkembangan persaudaraan universal. Konflik kekerasan kerap muncul akibat kurangnya sikap saling menghargai dan penguasa memaksakan keinginan atau visi sendiri.
Dengan kacamata yang lebih kurang senada, hasil-hasil IAF dan HLF MSP 2024 diharapkan dapat mewujudkan transformasi ekonomi Dunia Selatan berbasis solidaritas. Menjaga keberlanjutan Spirit Bandung membangun bumi-manusia Dunia Selatan.