Penangkapan Ikan Terukur Sulit Diterapkan pada 2025
Penerapannya terganjal masalah infrastruktur pelabuhan yang terbatas dan pengawasan di laut yang lemah.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi penangkapan ikan terukur mulai tahun 2025 masih menghadapi sejumlah hambatan. Saat ini, uji coba pelaksanaan penangkapan ikan terukur atau PIT masih dibayangi kesulitan pengawasan dan pelanggaran berupa alih muatan kapal di tengah laut.
Sementara itu, pemerintah menyiapkan pinjaman lunak dari Agence Francaise de Developpment (AFD) senilai 105.000 dollar AS (setara Rp 1,63 miliar) untuk periode 2022-2028, dan pinjaman dari Islamic Development Bank (IsDB) senilai 100.000 euro (setara Rp 1,72 miliar) untuk periode 2023-2027. Pinjaman tersebut untuk membangun pelabuhan perikanan guna menopang penangkapan ikan terukur.
Asisten Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Penangkapan Ikan Terukur Mohammad Abdi Suhufan mengemukakan, pelaksanaan PIT masih membutuhkan sejumlah tahap finalisasi terkait aturan berupa alih muatan kapal di tengah laut (transhipment), pelabuhan domisili, dan kuota tangkapan. Tahapan itu akan diatur dalam revisi peraturan menteri agar pelaksanaan PIT bisa lebih realistis sesuai dengan tingkat kesiapan pemerintah dan pelaku usaha perikanan agar tidak menimbulkan gejolak.
Ia menambahkan, praktik transhipment saat ini masih diperbolehkan sesuai surat edaran yang diterbitkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono tentang diperbolehkannya transhipment dengan syarat tertentu. Namun, kegiatan alih muatan oleh kapal pengangkut terjadi di daerah penangkapan ikan yang sulit diawasi.
”Kami sedang mengevaluasi bagaimana efektivitas dan kebocoran data produksi dari kegiatan transhipment,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Tegal, Jawa Tengah, Riswanto, menilai pelaksanaan PIT masih menghadapi banyak masalah. Dalam kerja sama hulu hilir perikanan tangkap di Kepulauan Aru diperlukan pasar yang mampu menyerap atau membeli ikan hasil tangkapan. Namun, belum ada kesepakatan harga beli ikan di zona 3 (Laut Aru).
”Sarana dan prasarana yang belum memadai untuk perawatan dan perbaikan kapal juga menyebabkan kapal harus kembali ke pelabuhan pangkalan di domisili,” ujarnya saat dihubungi terpisah, Rabu.
Selain itu, imbuh Riswanto, tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) eceran dengan harga resmi pemerintah sampai Rp 4.000 per liter menyebabkan inefisiensi dan lonjakan biaya operasional.
Tidak jujur
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, mengemukakan, uji coba penangkapan ikan terukur saat ini diterapkan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718. Namun, penangkapan ikan di laut masih sulit diawasi lantaran hanya kapal-kapal nelayan yang memasang alat pemantauan saja yang bisa terdeteksi. Ia menengarai masih banyak pelaku industri yang tidak jujur terhadap data atau laporan hasil tangkapan.
Kebijakan PIT mewajibkan seluruh kapal nelayan penangkap ikan memasang alat pemantau, baik itu kapal nelayan industri maupun kapal nelayan kecil. ”Saya berharap pada pemerintahan yang akan datang, hal itu (pemasangan alat pemantau) dapat diaplikasikan di semua jenis kapal nelayan,” ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI, Senin (2/9/2024).
Anggota Komisi IV DPR RI, Saadiah Uluputty dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, menyoroti kelanjutan program penangkapan ikan terukur pada tahun 2025. Saat ini, WPP 718 menjadi uji coba dan basis penangkapan ikan terukur. Namun, pelaksanaannya masih mengandalkan pelabuhan perikanan milik swasta.
Ia menilai pengawasan perairan dan sumber daya ikan yang belum optimal menyebabkan pemerintah masih kesulitan mengawasi aktivitas kapal-kapal swasta di pelabuhan perikanan milik pemerintah. Jika porsi besar penerapan PIT diberikan untuk pelabuhan perikanan swasta, dikhawatirkan semakin menyulitkan pemerintah dalam pengawasan.
Saat ini, petugas pengawasan sumber daya ikan KKP hanya memiliki jam operasional kurang dari 100 hari dalam setahun. ”Jangan sampai (pemerintah) memberikan porsi yang besar terhadap pangkalan swasta, Kita tahu mengawasi kapal-kapal swasta di pangkalan pemerintah saja sulit, apalagi kapal swasta di pelabuhan swasta. Bagaimana mengukurnya (pengawasan)?” katanya.
Trenggono menambahkan, penangkapan ikan terukur membutuhkan pelabuhan. Pemerintah sudah mencari pinjaman lunak untuk pembangunan pelabuhan pangkalan, tetapi belum dieksekusi. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai tidak memadai untuk membangun pelabuhan baru.
Beberapa pinjaman lunak yang sudah dijajaki adalah dari IsDB dam AFD. Setelah pelabuhan dibangun dan berjalan baik, pengembalian pinjaman harus jelas. ”Sekarang, prosesnya di Kementerian Keuangan untuk dieksekusi. Tanggung 1,5 bulan lagi kalau kita eksekusi, program itu sebaiknya dilanjutkan di pemerintah baru,” katanya.
Abdi menambahkan, pembangunan pelabuhan perikanan dengan dana pinjaman dari AFD meliputi Bitung (Sulawesi Utara), Kendari (Sulawesi Tenggara), Cilacap (Jawa Tengah), dan Belawan (Sumatera Utara). Sementara, pinjaman dari IsDB untuk pelabuhan perikanan di Pengambengan, Kabupaten Jembrana, Bali dan Kejawanan di Cirebon, Jawa Barat.