Pemerintahan Jokowi Pakai Cadangan Belanja untuk Biayai Program Prabowo
Program ”titipan” Prabowo menambah kebutuhan belanja Rp 117,87 triliun dalam Rancangan APBN 2025.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintahan Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat mengubah postur Rancangan APBN 2025 untuk mengakomodasi program unggulan presiden terpilih Prabowo Subianto. Penerimaan nonpajak dikerek dan sejumlah pos cadangan belanja digeser untuk membuka ruang anggaran baru sebesar Rp 117,87 triliun.
Perubahan postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 itu diputuskan dalam rapat antara pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Dalam rapat tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, ada empat kluster program unggulan (quick wins) pemerintahan baru yang sudah disetujui oleh Prabowo Subianto. Keempat program yang ”dititipkan” dan ”diarahkan” oleh Prabowo itu membutuhkan total anggaran Rp 113 triliun dalam RAPBN 2025.
Baca juga: Jokowi Alokasikan Rp 632 Triliun di RAPBN 2025 untuk Politik Anggaran Prabowo
Di luar program quick wins, ada pula tambahan kebutuhan Rp 4,87 triliun yang akan dibagikan sebagai tambahan belanja untuk sejumlah lembaga tinggi negara, seperti DPR, MPR, dan DPD. Dengan demikian, secara total, ada tambahan kebutuhan belanja sebesar Rp 117,87 triliun di RAPBN 2025.
”Untuk kenaikan belanja, total dari pemerintah baru (membutuhkan) Rp 117,87 triliun. (Selain untuk quick wins), kita juga akan memberikan tambahan belanja untuk lembaga tinggi negara seperti DPR, MPR, DPD, dengan adanya penambahan anggota dan pimpinan (di periode baru) kita antisipasi (anggarannya),” kata Sri Mulyani.
Adapun keempat program quick wins titipan Prabowo terdiri dari empat kluster program. Pertama, program Makan Bergizi Gratis (MBG) senilai Rp 71 triliun yang akan dijalankan oleh Badan Gizi Nasional. Kedua, program Pemeriksaan Kesehatan Gratis senilai Rp 3,2 triliun serta pembangunan rumah sakit lengkap berkualitas di daerah dengan anggaran Rp 1,8 triliun yang akan dijalankan Kementerian Kesehatan.
Ketiga, program Renovasi Sekolah senilai Rp 20 triliun serta pembangunan Sekolah Unggulan Terintegrasi senilai Rp 2 triliun. Eksekutornya adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), serta Kementerian Agama.
Pemerintah menggeser sejumlah pos cadangan belanja non-K/L demi membuka ruang anggaran bagi program Prabowo.
Keempat, pengadaan Lumbung Pangan Nasional, Daerah, dan Desa yang membutuhkan anggaran Rp 15 triliun dan akan dieksekusi oleh Kementerian PUPR dan Kementerian Pertanian (masing-masing mendapat alokasi Rp 7,5 triliun). Program itu untuk intensifikasi pertanian seluas 80.000 hektar dan ekstensifikasi (cetak sawah) seluas 150.000 hektar.
Sumber tambahan anggaran
Sri Mulyani menjelaskan, ruang anggaran baru untuk program Prabowo itu didapatkan dari dua sumber. Pertama, dengan menambah pendapatan melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai Rp 8,26 triliun. Kedua, dengan menggeser sejumlah cadangan belanja nonkementerian/lembaga (non-K/L) senilai Rp 109,62 triliun.
Ia memaparkan, program Quick Wins Prabowo akan masuk dalam pos belanja pemerintah pusat di bawah belanja K/L. Dengan tambahan Rp 117,87 triliun tersebut, total belanja K/L yang awalnya dialokasikan sebesar Rp 976,79 triliun dalam RAPBN 2025 akhirnya naik menjadi Rp 1.094,6 triliun.
Sementara itu, akibat pergeseran cadangan belanja, total belanja non-KL yang awalnya sebesar Rp 1.716,4 triliun turun menjadi Rp 1.606,78 triliun. ”Ini penting karena program Quick Wins ini memengaruhi alokasi belanja pemerintah pusat dari belanja K/L dan non-K/L serta mengubah postur RAPBN,” katanya.
Baca juga: Jelang Pidato Nota Keuangan: Ambisi Dua Presiden dalam Satu APBN
Sri Mulyani mengatakan, untuk menambah penerimaan lewat PNBP, pemerintah menyasar peningkatan penerimaan dari pos Kekayaan Negara yang Dipisahkan. Sumbernya berasal dari peningkatan kinerja badan usaha milik negara (BUMN) yang akan menghasilkan kenaikan setoran dividen dari BUMN sebesar Rp 4 triliun. Dengan demikian, total target dividen dari BUMN untuk 2025 adalah Rp 90 triliun.
Selain lewat dividen BUMN, setoran PNBP juga akan digenjot lewat sumbangan dari kementerian/lembaga (K/L) penting yang berkontribusi pada PNBP. Totalnya adalah Rp 4,26 triliun.
”Dengan demikian, dari sisi PNBP akan ada kenaikan Rp 8,26 triliun, yaitu dari kekayaan negara yang dipisahkan Rp 4 triliun dan PNBP dari K/L sebesar Rp 4,26 triliun,” kata Sri Mulyani.
Selain menggenjot PNBP, pemerintah juga menggeser sejumlah pos cadangan belanja non-K/L untuk membuka ruang anggaran baru bagi program unggulan Prabowo.
Pos belanja yang digeser itu adalah Cadangan Belanja Negara yang dikurangi Rp 28,39 triliun, Cadangan Anggaran Pendidikan yang berkurang Rp 66,85 triliun, dan Cadangan Transfer ke Daerah (TKD) yang dikurangi Rp 14,38 triliun. Dengan demikian, total nilai cadangan belanja yang digeser untuk program Prabowo adalah Rp 109,62 triliun.
Belanja cadangan di APBN biasanya sengaja disisihkan untuk mengantisipasi keadaan darurat.
Belanja cadangan di APBN biasanya sengaja disisihkan untuk mengantisipasi keadaan darurat. Sebagai contoh, Cadangan Belanja Negara biasanya dipakai ketika terjadi bencana alam. Sementara itu, Cadangan TKD biasanya digunakan untuk membayar Dana Bagi Hasil (DBH) yang kurang bayar.
”Jadi, belanja-belanja cadangan ini juga menjadi buffer (bantalan) untuk APBN sebagai shock absorber (meredam guncangan). Supaya fungsi counter-cyclical APBN itu tetap jalan,” kata Sri Mulyani.
Akan transparan
Ia mengatakan, penyusunan RAPBN 2025 di masa transisi pemerintahan akan dilakukan secara transparan untuk menjaga akuntabilitas APBN. Pemerintah akan menyeimbangkan antara kebutuhan menjaga kehati-hatian fiskal sembari mengakomodasi kebijakan fiskal yang ekspansif.
”Banggar dan pemerintah punya kepentingan sama agar APBN tetap berjalan bagus, ekonomi terjaga, dan counter-cyclical bisa jalan tanpa overshoot (kebablasan). Sebab, kalau overshoot dan (APBN) ekspansi terus-menerus enggak balik lagi, itu bisa krisis,” katanya.
Sementara itu, Ketua Banggar DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan Said Abdullah mengatakan, perubahan postur anggaran itu tetap tidak akan mengganggu disiplin fiskal. Sebab, secara umum, defisit fiskal untuk tahun 2025 tetap Rp 616,19 triliun atau 2,53 persen dari produk domestik bruto (PDB).
”Jadi untuk defisit, kita tetap seperti yang disampaikan oleh Pak Presiden (Jokowi) tanggal 16 Agustus 2024 dalam Nota Keuangan,” kata Said.
Manajemen arus kas
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, dari sisi politik praktis, ikhtiar mewujudkan janji kampanye dengan segera di tahun awal menjabat memang sangat krusial bagi pemerintahan baru. Apalagi, keseriusan Prabowo dalam merealisasikan janji-janji kampanyenya juga dipertanyakan oleh sejumlah kalangan.
Namun, dari sisi politik anggaran, ikhtiar menambah kebutuhan belanja dalam pembahasan RAPBN yang sudah bergulir perlu dilakukan dengan hati-hati. Sebab, langkah itu bisa meningkatkan risiko terhadap keberlanjutan fiskal.
Apalagi, cadangan belanja adalah pos yang semestinya sengaja disisihkan untuk mengantisipasi hal-hal darurat seperti bencana alam, pandemi, krisis ekonomi, atau fluktuasi nilai tukar rupiah. Risiko itu juga meningkat di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian.
”Oleh karena itu, buffer tetap perlu dijaga di level aman. Dalam konteks ini, salah satu alternatif yang bisa ditempuh pemerintah adalah menekan Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang saat ini nilainya mencapai sekitar Rp 600 triliun,” kata Wijayanto.
Hal itu bisa dilakukan dengan perbaikan manajemen arus kas (cash flow). Menurutnya, dalam kondisi normal, SAL cukup Rp 250-300 triliun saja. ”SAL yang besar merupakan indikasi inefisiensi pengelolaan cash flow pemerintah. Padahal, SAL bersumber dari utang yang mahal yang yield-nya mencapai 7 persen per tahun,” ujarnya.
Adapun dalam Nota Keuangan RAPBN 2025, pemerintah tidak menyebut rencana menggunakan SAL untuk menutup kebutuhan pembiayaan anggaran tahun depan. Namun, dana SAL itu tetap akan dimanfaatkan dalam kondisi tertentu, tergantung pada kebutuhan keuangan negara.
Menurut Wijayanto, SAL bisa saja digunakan sebagai bantalan kas cadangan, mengingat pos cadangan belanja sudah terpakai untuk program unggulan Prabowo. Namun, pemanfaatannya tetap harus hati-hati karena tetap bersumber dari utang. ”Secara narasi politik, akan kurang menguntungkan,” katanya.