Mengapa Industri Manufaktur Terpuruk dan Apa Dampaknya bagi Perekonomian Indonesia?
Industri manufaktur terpuruk. Apa yang terjadi? Apa pentingnya manufaktur bagi perekonomian nasional?
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, ANTONIUS PURWANTO
·3 menit baca
Tema terpuruknya manufaktur di Tanah Air menjadi salah satu pemberitaan media massa pekan ini. Hal ini berawal dari rilis S&P tentang Purchasing Manager Indeks (PMI) Indonesia periode Agustus 2024 pada 2 September 2024.
Intinya, indeks Indonesia terpuruk makin dalam di bawah batas minimal indikasi ekspansi. Namun, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa demikian? Dan apa urgensinya bagi perekonomian nasional?
Apa yang dapat Anda pelajari dari artikel ini?
1. Apa yang terjadi dengan industri manufaktur di Indonesia?
2. Apa konsekuensi terpuruknya industri manufaktur bagi buruh?
3. Apa pentingnya industri manufaktur bagi perekonomian Indonesia?
1. Apa yang terjadi dengan industri manufaktur di Indonesia?
PMI Indonesia pada Agustus 2024 melanjutkan kontraksi yang sudah terjadi sejak Juli 2024. PMI manufaktur Indonesia di periode ini anjlok ke 48,9. Angka di bawah 50 menunjukkan kondisi kontraksi.
Pada Juli, indeksnya adalah 49,3. Artinya, kontraksi pada Agustus kian dalam. Padahal, sebelumnya, manufaktur Indonesia dalam posisi ekspansi selama 34 bulan berturut-turut. Terakhir Indonesia dalam posisi kontraksi pada Agustus 2021.
Produksi dan pesanan produk manufaktur domestik anjlok pada Agustus 2024. Di periode ini, penurunan produksi dan pesanan paling tajam sejak Agustus 2021.
”Terpuruknya sektor manufaktur Indonesia makin intensif terjadi pada Agustus 2024, ditandai dengan produksi dan pesanan yang mengalami penurunan paling dalam selama tiga tahun terakhir. Tak heran jika perusahaan-perusahaan merespons hal ini dengan mengurangi jumlah pegawai meskipun banyak yang menyadari bahwa hal ini hanya bersifat sementara,” kata Direktur Ekonomi pada Intelijen Pasar Global S&P Paul Smith dalam komentarnya pada rilis terbaru Indeks Manajer Belanja Indonesia, Senin (2/9/2024).
Smith mengatakan, penurunan PMI Manufaktur Indonesia disebabkan oleh penurunan tajam permintaan baru yang berujung pada penurunan produksi. Pasar dalam negeri menunjukkan pelemahan. Demikian pula dengan permintaan ekspor. Ujung-ujungnya, belanja bahan baku pun juga menurun.
2. Apa konsekuensi terpuruknya industri manufaktur bagi buruh?
Lesunya manufaktur direspons sejumlah perusahaan dengan mengurangi karyawan. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat, Kamis (20/6/2024), mengatakan, pemutusan tenaga kerja atau PHK yang sudah berlangsung sejak 2023 masih bakal terjadi pada 2024. Bahkan, ada kemungkinan angkanya akan naik. PHK terjadi hampir di semua sektor industri.
Dunia usaha, ia melanjutkan, benar-benar lesu. Penyebabnya antara lain nilai tukar rupiah yang sempat melemah lama. Padahal, masih banyak sektor industri dalam negeri yang mengandalkan bahan baku impor.
Kompas mencatat, permintaan dari negara tujuan ekspor juga masih lemah. Demikian pula permintaan dari dalam negeri.
Salah satu industri yang terdampak adalah tekstil. Merujuk catatan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), sebanyak 20-30 pabrik berhenti beroperasi dengan mem-PHK pekerja hingga mencapai 10.800 orang selama Januari-Mei 2024.
Pada awal Juni 2024, enam pabrik menutup operasinya. Pabrik itu meliputi PT S Dupantex di Jawa Tengah (PHK 700 pekerja), PT Alenatex di Jawa Barat (PHK 700 pekerja), PT Kusumahadi Santosa di Jawa Tengah (PHK 500 pekerja), PT Kusumaputra Santosa di Jawa Tengah (PHK 400 pekerja), PT Pamor Spinning Mills di Jawa Tengah (PHK 700 pekerja), dan PT Sai Apparel di Jawa Tengah (PHK 8.000 pekerja).
3. Apa pentingnya industri manufaktur bagi perekonomian nasional?
Indonesia, seperti halnya semua bangsa di dunia, ingin menjadi negara maju alias berpendapatan atas. Namun, saat ini, hanya 83 dari 193 negara anggota PBB yang dalam kategori Bank Dunia masuk ke kasta itu. Selebihnya, masih di level pendapatan rendah dan menengah, termasuk Indonesia.
Sejarah peradaban dunia sejak abad ke-18, membuktikan, adalah industrialisasi berbasis manufaktur yang efektif mengantar sejumlah bangsa mencapai status maju. Sudah banyak kajian mempelajari dampak industrialisasi berbasis manufaktur terhadap pembangunan ekonomi suatu negara.
Nicholas Kaldor, ekonom Universitas Cambridge, dalam bukunya (1967) yang berjudul, Faktor-faktor Strategis dalam Pembangunan Ekonomi, berpendapat, sektor industrilah yang berperan sebagai mesin pertumbuhan pada proses pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Alasannya, potensi pertumbuhan produktivitas paling tinggi pada sektor ini. Ketika industri dapat menggerakkan perekonomian dengan kebijakan yang tepat, sektor ini akan mentransformasi dan mendorong kebangkitan ekonomi.