RI Dorong Kemitraan Multipihak Kembangkan Pendanaan Campuran
Pendanaan campuran dapat memobilisasi pendanaan dari swasta, bahkan aliran FDI global yang tengah tersendat.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Indonesia mendorong kemitraan multipihak global, terutama dunia selatan, untuk mengembangkan pendanaan campuran. Salah satu bentuk pembiayaan inovatif itu diharapkan dapat menjadi solusi di tengah terbatasnya keuangan negara dan kesenjangan investasi asing langsung.
Hal itu mengemuka dalam pertemuan dan sejumlah panel diskusi Forum Tingkat Tinggi Kemitraan Multipihak (HLF MSP) 2024 yang digelar di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (3/9/2024). Forum tersebut, antara lain, menghadirkan perwakilan pemerintah, filantropis, dan perusahaan swasta dari sejumlah negara, serta beberapa lembaga dunia.
Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti, Selasa (3/9/2024), mengatakan, pendanaan campuran merupakan salah satu bentuk pembiayaan inovatif untuk pembangunan dan percepatan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pendanaan campuran itu dapat meringankan beban keuangan negara sekaligus memobilisasi investasi atau pendanaan dari swasta.
”Bentuknya bisa berupa dana tunai atau nontunai, seperti program-program tanggung jawab sosial yang menyasar pembangunan sektor tertentu. Selain itu, juga bisa berupa investasi pengembangan sektor-sektor sasaran SDGs dan pembangunan daerah,” katanya.
Menurut Amalia, RI telah mengadopsi pendanaan campuran itu. Salah satunya adalah dalam pengembangan ekonomi Bali, seturut Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Era Bali Baru.
Agar tidak membebani keuangan pemerintah pusat dan daerah, Bappenas dan Pemerintah Provinsi Bali mendirikan Bali Development Fund (BDF). Salah satu peran BDF adalah mengelola pendanaan campuran.
”Pendanaan campuran yang dikelola BDF itu salah satunya menyasar pembiayaan pembangunan LRT (light rail transit) di Bali,” katanya.
Selain itu, RI juga menginisiasi pembentukan Aliansi Pendanaan Campuran Global (Global Blended Finance Alliance/GBFA) dalam pertemuan G20 di Bali. GBFA tersebut bakal menyasar pembiayaan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan pembangunan sektor-sektor yang menjadi target SDGs.
Utusan Khusus GBFA Mari Elka Pangestu berpendapat, pendanaan campuran menawarkan peluang strategis untuk memobilisasi tambahan pembiayaan swasta. Pendanaan campuran itu memberikan kebebasan modal untuk berinvestasi di bidang yang kekurangan dana. Pendanaan tersebut juga mengatasi tantangan yang sering dihadapi investor yang menganggap keuntungan investasi kerap kali tidak sebanding dengan risikonya.
”Namun, kurangnya platform intermediasi yang dapat diakses menyulitkan donor swasta untuk berpartisipasi dalam pembiayaan campuran. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan platform atau medium yang memudahkan interaksi antara investor swasta dan penyedia modal,” kata Mari.
Pendanaan campuran juga mengatasi tantangan yang sering dihadapi investor yang menganggap keuntungan investasi kerap kali tidak sebanding dengan risikonya.
Mari juga menekankan pentingnya GBFA sebagai terobosan pembiayaan pembangunan multipihak. Platform itu akan menerapkan skema, jalur proyek, dan memenuhi standar persyaratan perbankan. Hal itu penting guna memastikan relevansi, dampak, dan kelayakan kegiatan yang dilakukan, dengan mempertimbangkan kebutuhan swasta dan perspektif filantropi.
”Kami berharap, GBFA akan mengisi kesenjangan pembiayaan dengan memfasilitasi akses yang lebih baik bagi donor swasta dan memastikan aliran modal yang lebih besar ke sektor pembangunan,” kata Mari.
Tantangan
Dalam HLF MSF 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, pembiayaan-pembiayaan inovatif sudah banyak dikembangkan sejumlah negara. Namun, pembiayaan itu menghadirkan tantangan tersendiri terkait akses dan kesetaraan.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB Bidang Ekonomi dan Sosial Li Junhua menjelaskan, lebih dari 20 dana dan inisiatif perubahan iklim, seperti Green Climate Fund dan Global Environment Facility, memiliki mekanisme, badan pelaksana, dan persyaratan yang berbeda. Selain itu, Bantuan Pembangun Resmi (Official Development Assiatence/ODA) dari negara donor ke negara berkembang kerap kali terhambat.
Hal itu lantaran pembiayaan-pembiayaan inovatif itu belum memiliki standar internasional yang menjamin kuantitas dan kualitas pembiayaan yang dijanjikan. Selain itu, kontribusi pembiayaan tersebut terhadap perekonomian negara penerima kerap kali tidak jelas.
”Hal ini juga berlaku untuk produk keuangan inovatif lainnya, di mana setiap produk dilembagakan secara terpisah sehingga sulit untuk diukur secara bersamaan,” ujarnya dalam sesi pararel tematik bertajuk ”Meningkatkan Efektivitas Pendanaan SDGs: Komitmen yang Lebih Kuat, Tindakan yang Lebih Besar”.
Pembiayaan-pembiayaan inovatif itu belum memiliki standar internasional yang menjamin kuantitas dan kualitas pembiayaan yang dijanjikan.
Untuk itu, lanjut Junhua, dibutuhkan empat prinsip pembangunan efektif yang disarankan Kemitraan Global untuk Kerja Sama Pembangunan yang Efektif (GPEDC). Keempat prinsip itu adalah kepemilikan nasional, orientasi hasil, kemitraan inklusif, serta transparansi dan akuntabilitas bersama.
Sementara itu, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menegaskan, pendanaan campuran memang dapat menjadi solusi terhambatnya penanaman modal asing secara langsung (FDI). Saat ini, aliran FDI global tengah tersendat dan justru banyak masuk ke negara-negara maju.
Direktur Promosi Asia Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika BKPM Cahyo Purnomo mengemukakan, World Investment Report 2022 mengungkapkan, negara-negara maju menyediakan dana FDI sekitar 1 triliun dollar AS. Namun, negara-negara berkembang dan kurang berkembang secara kolektif hanya menerima sekitar 400 juta dollar AS.
Tren ini mengindikasikan adanya ketimpangan distribusi investasi asing. Mayoritas aliran FDI masih terkonsentrasi ke negara-negara maju. Di sisi lain, muncul pula tren investasi dari negara-negara berkembang justru mengalir ke negara-negara kuat di selatan atau ke negara-negara maju di utara.
”Situasi itu semakin memperlebar kesenjangan investasi antara dunia selatan dan utara. Oleh karena itu, strategi investasi yang cerdas sangat diperlukan, termasuk menciptakan wadah untuk memobilisasi investasi-investasi tersebut,” kata Cahyo.