Buru Diskon, Solusi Kelas Menengah Hadapi Tekanan Ekonomi
Krisis daya beli memaksa kelas menengah mengorbankan tabungan dan menyesuaikan prioritas untuk kebutuhan pokok.
Kelas menengah tengah gelisah. Gegabah sedikit saja soal alokasi belanja, seketika mereka bisa terperosok ke kelas bawah. Apalagi, kondisi ekonomi makro juga sedang lesu, dengan inflasi yang tinggi dan perlambatan pertumbuhan. Akhirnya mereka perlu bersiasat jitu agar hidup bisa terus maju.
Akhir Juli lalu, saat hendak mengenakan sepatu hitamnya untuk berangkat kerja, Abidzar (27) baru menyadari ada lubang sebesar sekitar biji jagung di bagian kelingking kaki kanan sepatunya. Untuk menyamarkan lubang tersebut, dia kemudian mengenakan kaus kaki berwarna hitam.
Karyawan pemasaran mobil ini sadar harus segera menutup lubang itu agar tetap tampil rapi dan profesional demi bisa menarik pembeli. Namun, saat pergi ke tukang reparasi sepatu, ongkos perbaikannya mencapai Rp 200.000 atau hampir 50 persen dari harga sepatu baru serupa. Menurut dia, lebih baik dia beli sepatu baru saja kalau begitu.
Irina (26), istrinya, kemudian mengingatkannya agar tidak lantas langsung belanja sepatu baru. Memang saat itu Irina, yang juga karyawan swasta, juga baru gajian. Namun, mereka tidak bisa otomatis beli sepatu baru. Sebab, dalam perhitungannya, gaji mereka berdua sudah pas sekali untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.
”Ada biaya KPR, makan, listrik, internet, bensin kendaraan, pulsa. Itu belum biaya susu dan perlengkapan untuk bayi kami yang baru berusia satu tahun. Semua harus dihitung betul kalau ada biaya tambahan,” ujar Irina, dihubungi Selasa (3/9/2024), saat menceritakan kembali peristiwa sekitar sebulan lalu itu.
Tak patah arang, Irina lalu berselancar di toko daring. Rupanya pada 8 Agustus, hanya sekitar 2 pekan setelah kejadian itu, akan ada periode diskon 8.8 jika membeli via toko daring. Besaran diskonnya pun beragam mulai dari 8 persen hingga 50 persen, tergantung dari produk dan kebijakan setiap penjual.
Setelah berselancar dengan tekun, Irina dan Abidzar kemudian menemukan sepatu yang diinginkan. Sepatu berwarna coklat gelap dari merek lokal itu harganya Rp 400.000 sepasang. Namun, karena ada periode diskon 8.8, mereka memperoleh potongan harga 50 persen sehingga mereka pun bisa membeli sepatu itu seharga Rp 200.000 atau sama dengan biaya reparasi sepatu lamanya.
”Kami menyebutnya ini taktik belanja cerdas,” ujar Irina terkekeh.
Baca juga: Balada Masyarakat ”Mantab”, Makan Tabungan untuk Hidup Sehari-hari
Mengejar potongan harga juga dilakukan Ria (32) dengan belanja bulanan di sebuah pasar swalayan di Pondok Aren, Tangerang Selatan, yang memberikan harga lebih murah 10-30 persen dibandingkan dengan swalayan lainnya. Tak hanya itu, toko tersebut juga kerap memberikan promo beli 1 gratis 1 lagi untuk berbagai produk. Tak heran, hampir setiap hari apalagi akhir pekan pasar swalayan itu selalu disesaki konsumen.
Saking ramainya, Ria dan Beni, suaminya, kerap kali harus mengantre hingga 30 menit hanya untuk mendapatkan parkir mobil. Perjuangan belum berakhir. Setelah parkir mobil, mereka juga harus berebut troli belanja dengan konsumen lainnya.
Sering kali saking ramainya, begitu sampai, Ria meminta suaminya untuk langsung ikut antrean kasir. Sebab, antreannya sudah sangat panjang. Sementara dirinya yang berkeliling untuk belanja dan menaruh belanjanya di troli.
Namun, perjuangan itu terbayar dengan rasa puas. Seusai membayar, mereka melihat struk belanja dan di sana tertera total besaran harga yang berhasil mereka dapatkan.
”Saat membaca tulisan ’Anda telah berhemat Rp 100.000 atau Rp 200.000 atau Rp 300.000’ di struk itu rasanya senang sekali. Memang belanja di sini tidak nyaman. Tapi, pas tahu kami sudah berhemat, rasa lelahnya terbayarkan,” ujar Ria yang merupakan karyawan swasta bidang keuangan.
Baik Ria maupun Irina sama-sama mengatakan, setiap bulan mereka harus bersiasat menganggarkan belanja bulanan. Sebab, mereka merasa kenaikan gaji yang mereka terima tidak secepat kenaikan harga barang dan jasa. Kemampuan menabung mereka pun makin menyusut, kadang pula tidak tersisa uang untuk menabung, bahkan mereka harus mengeluarkan tabungan mereka untuk pengeluaran.
Dihubungi Selasa, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan, kecenderungan konsumen mal saat ini memang menahan belanja, khususnya untuk merek global. Biasanya mereka membeli barang itu saat diskon.
Peritel memang rajin memberikan periode diskon, khususnya di momen-momen tertentu, seperti bulan Ramadhan, Natal-Tahun Baru, dan hari kemerdekaan. Hal itu, lanjutnya, lumrah dan wajar karena untuk menarik konsumen.
Baca juga: Promo dan Diskon, Sentuhan Emosi untuk Gandakan Penjualan di Lebaran 2024
Tergerus
Pasangan Irina-Abidzar dan Ria-Beni adalah gambaran kelas menengah Indonesia yang kini tengah goyah. Kedua pasangan ini bekerja di sektor formal dan sudah memiliki mobil. Artinya, kedua pasangan ini dari kalangan kelas menengah.
Kendati demikian, mereka pun harus bersiasat dalam berbelanja karena daya beli mereka tengah tergerus. Ini tecermin dari berbagai data yang menunjukkan kelas menengah tengah tercekik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah turun dari 57,33 juta jiwa pada 2019 menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024. Artinya, dalam lima tahun terakhir ada 9,48 juta orang yang merosot keuangannya dari kategori kelas menengah. Padahal, kelas menengah itu mencapai 17 persen. Adapun definisi kelas menengah, menurut BPS, adalah rumah tangga dengan pengeluaran Rp 2 juta-Rp 9,9 juta per bulan.
Baca juga: Kelas Menengah yang Gelisah
Fenomena daya beli masyarakat yang menurun ini tecermin dalam Survei Konsumen yang dirilis Bank Indonesia (BI). Menurut Survei Konsumen per Juli 2024, sebesar 73,8 persen dari pendapatan dibelanjakan untuk konsumsi. Angka ini meningkat dibandingkan dengan Juli 2019 yang sebesar 68 persen.
Pada saat yang sama, kemampuan menabung masyarakat pun menurun. Pada Juli 2024, kemampuan menabung mencapai 15,5 persen dari pendapatan, sementara pada Juli 2019 pernah mencapai 18 persen dari pendapatan.
Dua data ini menunjukkan, porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk konsumsi meningkat, sementara kemampuan menabung menurun.
Merosotnya kelas menengah ini menciptakan jurang ketimpangan yang kian tajam. Distribusi kekayaan di Indonesia sangat tidak merata, di mana sebagian besar kapital dikuasai oleh segelintir orang kaya.
Data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan, pada April 2024, dana tabungan masyarakat yang terkumpul mencapai Rp 8.703 triliun. Dari jumlah tersebut, 53,9 persen atau Rp 4.691 triliun dimiliki oleh sekitar 40.000 orang dengan tabungan lebih dari Rp 5 miliar. Ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh kekayaan di republik ini dikuasai oleh kelompok kecil masyarakat.
Ketimpangan ini diperparah oleh kenyataan bahwa tren pertumbuhan nilai simpanan hanya terjadi pada kelompok superkaya. Sementara masyarakat kelas bawah justru mengalami penurunan nilai tabungan. Pada Desember 2017, rata-rata tabungan pada kelompok yang memiliki simpanan kurang dari Rp 100 juta adalah sekitar Rp 3,4 juta per rekening. Namun, pada April 2024, rata-rata tabungan mereka menurun menjadi hanya Rp 1,9 juta per rekening.
Baca juga: Jumlah Kelas Menengah Turun, Ketimpangan Kekayaan Makin Lebar?
Dampak beruntun
Dihubungi Selasa, Ekonom Senior Samuel Sekuritas Fithra Faisal mengatakan, saat ini memang tengah terjadi fenomena tergerus kelas menengah. Padahal, kelas menengah adalah salah satu komponen kekuatan pendorong perekonomian Indonesia dari sisi konsumsi.
Menurut dia, tergerusnya kelas menengah lantaran dampak ganda dari pandemi dan gejala deindustrialisasi. Sebelum pandemi, banyak kelas menengah yang masih bekerja di sektor formal. Namun, karena pandemi, terjadi PHK di mana-mana dan mereka masuk ke sektor informal.
Di saat yang sama, sektor industri yang diharapkan bisa memberikan lapangan kerja formal malah merosot. Ini ditandai dengan kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terus menurun.
Menurut dia, pemerintah perlu fokus mengeluarkan kebijakan memberikan insentif kepada kelas menengah. Pemerintah juga perlu membuka lapangan kerja formal seluas-luasnya agar banyak warga yang bekerja di sektor formal. Caranya dengan mempermudah serta memperbaiki iklim usaha dan investasi.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri mengatakan, mendongkrak kembali daya beli ini bukan masalah mudah yang bisa diselesaikan dalam jangka pendek. Pemerintah perlu pembenahan struktural ekonomi dengan mendorong pertumbuhan industri, investasi, dan membuka lapangan kerja.
Dengan industri dan investasi bertumbuh, maka lapangan kerja akan bertambah. Masyarakat bisa bekerja di sektor formal sehingga bisa mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Pada gilirannya, bisa mendorong perekonomian lebih besar.
Baca juga: Kelas Menengah RI Semakin Rentan, Cita-cita Negara Maju Dipertaruhkan