Deflasi 4 Bulan Beruntun Tak Lumrah, Ekonomi RI Melemah
Deflasi beruntun biasanya terjadi saat krisis, seperti krisis finansial 1999, krisis keuangan 2008, dan pandemi 2020.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia telah mengalami deflasi selama empat bulan berturut-turut sejak Mei hingga Agustus 2024. Kondisi ini dinilai tidak lumrah mengingat deflasi beruntun yang panjang biasanya terjadi saat krisis. Data teranyar ini mengindikasikan daya beli masyarakat merosot dan kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Senin (2/9/2024) menunjukkan, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Agustus 2024 mengalami deflasi 0,03 persen secara bulanan dan inflasi 2,12 persen secara tahunan.
Deflasi itu disumbangkan oleh komponen bergejolak (volatile food) yang mengalami deflasi 1,24 persen secara bulanan. Sementara komponen diatur pemerintah (administered prices) tetap mengalami inflasi 0,23 persen dan komponen inti mengalami inflasi 0,20 persen.
Baca juga: Inflasi Beras dan Biaya Pendidikan di Tengah Deflasi Bulanan
Ini sudah keempat kalinya secara berturut-turut Indonesia mengalami deflasi secara bulanan. Sebelumnya, pada Mei 2024, deflasi tercatat sebesar 0,03 persen, disusul pada Juni 2024 dengan deflasi 0,08 persen, dan deflasi pada Juli 2024 sebesar 0,18 persen.
Deflasi adalah kondisi penurunan harga barang/jasa dalam satu periode tertentu. Deflasi bisa terjadi karena dua hal, yakni akibat pasokan barang berlebih hingga menurunkan harga di pasaran (sisi supply) atau akibat penurunan permintaan dan daya beli masyarakat (sisi demand) sehingga barang di pasaran tidak terserap dan harganya anjlok.
Secara historis, BPS mencatat fenomena deflasi secara beruntun biasanya terjadi pada masa krisis, misalnya tahun 1999 setelah krisis finansial Asia. Saat itu, Indonesia mengalami deflasi selama tujuh bulan berturut-turut, yaitu Maret-September 1999. Deflasi saat itu disebabkan oleh depresiasi nilai tukar dan penurunan harga beberapa jenis barang.
Deflasi beruntun berikutnya pernah terjadi pada masa krisis finansial global tahun 2008. Saat itu, deflasi terjadi selama dua bulan, yakni Desember 2008 sampai Januari 2009. Penyebabnya adalah penurunan harga minyak dunia dan permintaan domestik yang melemah.
Berikutnya, deflasi selama tiga bulan berturut-turut saat pandemi Covid-19, yakni selama Juli-September 2020. Saat itu, penyebab deflasi adalah penurunan daya beli masyarakat. Deflasi terjadi merata di empat kelompok pengeluaran, yakni makanan-minuman dan tembakau, pakaian dan alas kaki, transportasi, serta informasi komunikasi dan jasa keuangan.
Deflasi yang terjadi tahun ini praktis lebih panjang daripada periode deflasi saat pandemi serta mendekati periode deflasi pada krisis 1998-1999. Lantas, apa yang membuat deflasi kali ini bergulir panjang hingga empat bulan berturut-turut?
Krisis daya beli
Menurut BPS, deflasi kali ini dipicu dari sisi pasokan (supply) akibat penurunan harga pangan bergejolak, seperti produk tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan. Hal itu tampak dari penurunan harga bawang merah, daging ayam ras, tomat, dan telur ayam ras selama Agustus 2024.
Penurunan harga di tingkat konsumen terjadi karena biaya produksi yang menurun. Selain itu, ada pula momen panen raya yang membuat pasokan berlimpah sehingga harga ikut turun.
Baca juga: Jumlah Kelas Menengah Turun, Ketimpangan Kekayaan Makin Lebar
BPS menilai deflasi beruntun kali ini bukan dipicu oleh penurunan permintaan (demand) atau daya beli masyarakat. Untuk menelisik jika terjadi penurunan daya beli akibat menurunnya pendapatan masyarakat di subsektor hortikultura, pertanian dan peternakan, BPS perlu melakukan kajian lebih lanjut.
Meski demikian, sejumlah kalangan menilai, deflasi empat bulan berturut-turut kali ini tidak hanya disebabkan oleh penurunan harga dan pasokan yang berlebih. Di baliknya ada masalah pelemahan daya beli masyarakat yang semakin kentara hingga tecermin pada tingkat deflasi.
Mengutip Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, kondisi deflasi yang empat bulan beruntun ini tidak lumrah terjadi di ekonomi negara berkembang seperti Indonesia, yang pertumbuhan ekonominya rata-rata berada di level 5 persen.
”Biasanya, di negara berkembang yang pertumbuhan ekonominya relatif moderat atau tinggi, akan diikuti juga dengan tingkat inflasi. Jadi, kalau deflasi terjadi sampai berturut-turut, itu tidak lumrah, kecuali ada permasalahan pada ekonomi negara itu,” katanya, Selasa (3/9/2024).
Deflasi bisa terjadi akibat pengendalian harga dan suplai yang melimpah atau akibat turunnya permintaan dan daya beli. Namun, deflasi beruntun yang bergulir panjang ini menunjukkan, deflasi terjadi karena masalah daya beli, bukan hanya karena penurunan harga.
”Suplainya memang ada dan cukup. Namun, yang terjadi, di pasar-pasar itu suplai barangnya ada, tetapi demand-nya yang menurun, sehingga itu yang membuat harga turun,” kata Faisal.
Ia menyoroti komponen inflasi inti, yang meski masih mengalami inflasi, trennya menurun sejak 2022. Sebagai perbandingan, pada 2022, tingkat inflasi inti year to date adalah 3,35 persen, turun menjadi 1,78 persen pada 2023, dan menjadi 1,52 persen pada Agustus 2024.
Hal itu semakin memperkuat indikasi terjadinya penurunan permintaan dan daya beli masyarakat. ”Inflasi inti memang masih positif, tetapi jauh di bawah 2022. Kalau daya beli aman, semestinya inflasi inti bisa di 2-3 persen,” katanya.
Indikasi lain
Di luar itu, sudah banyak indikator lain yang menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat, antara lain jumlah penduduk kelas menengah yang menurun. Pada 2024, kelas menengah Indonesia tinggal 47,85 juta orang, terus berkurang dari 48,27 juta orang (2023), 49,51 juta orang (2022), 53,83 juta orang (2021), dan 57,33 juta orang (2019).
Sebagian kelas menengah ”turun kelas” menjadi masyarakat rentan miskin (aspiring middle class) sehingga daya beli mereka turun drastis. ”Di saat yang sama, pertumbuhan rata-rata upah pekerja sangat rendah. Terakhir itu upah riil hanya tumbuh 0,7 persen, padahal ekonomi tumbuh 5 persen,” katanya.
Indikasi penurunan daya beli itu juga terlihat dari melemahnya kinerja industri manufaktur. Data Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur pada Agustus 2024 kembali terkontraksi lebih dalam ke level 48,9, lebih rendah dari kontraksi yang sudah terjadi sejak Juli 2024 di level 49,3.
Pelemahan kinerja manufaktur itu disebabkan oleh penurunan tajam permintaan baru yang berujung pada penurunan produksi. Permintaan turun baik dari pasar dalam negeri maupun ekspor. Ketika permintaan menurun, barang-barang manufaktur pun tidak terserap.
Baca juga: Manufaktur Anjlok Makin Dalam
”Permintaan yang turun itu juga bukan karena masyarakat menahan belanja. Sebab, dana pihak ketiga di perbankan bukannya meningkat, tetapi pertumbuhannya justru melambat dalam beberapa bulan terakhir,” kata Faisal.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, data deflasi beruntun ini menjadi indikasi awal bahwa tengah terjadi pelemahan ekonomi. Menurutnya, jika hanya mengacu pada data-data IHK Agustus 2024, belum bisa diambil kesimpulan bulat bahwa deflasi terjadi karena penurunan daya beli.
Namun, jika melihat indikator lain yang terjadi di saat bersamaan, seperti merosotnya jumlah kelas menengah RI, melemahnya kondisi manufaktur, serta laju konsumsi rumah tangga yang di bawah 5 persen selama tiga triwulan berturut-turut, patut diduga pelemahan daya beli sedang terjadi.
Terlebih, deflasi beruntun ini berlangsung cukup lama sampai empat bulan. "Ada dua dugaan. Pertama, karena sempat ada El Nino yang memengaruhi mundurnya musim panen. Kedua, memang ada penurunan daya beli sehingga saat produksi meningkat, demand-nya terbatas dan harga jadi turun," katanya.
Masalah serius
Ekonom Center of Law and Economics Studies (Celios), Nailul Huda, menilai, pelemahan daya beli saat ini adalah konsekuensi dari rangkaian kebijakan pemerintah. Pascapandemi, ketika semestinya daya beli dijaga dan ekonomi dipulihkan, pemerintah justru mengeluarkan sejumlah kebijakan yang semakin menekan daya beli masyarakat.
Sebut saja kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2022 serta kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 menjadi 11 persen pada tahun yang sama. ”Jadi, memang ini semua saling berkaitan. Didahului oleh daya beli yang sudah melemah selama beberapa tahun terakhir dan kini ditandai dengan deflasi empat bulan berturut-turut,” ujar Huda.
Di tengah kondisi seperti ini, pemerintah perlu fokus meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat melalui perpaduan sejumlah kebijakan fiskal, sektor riil, dan moneter. Dari segi fiskal, jangan sampai ada kebijakan yang kontraproduktif dan menambah beban masyarakat, seperti kembali menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025.
Sementara dari sisi moneter, melihat deflasi yang beruntun dan inflasi inti yang menurun, sudah saatnya Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan BI (BI Rate) tanpa perlu menunggu bank sentral AS, The Federal Reserve, memangkas suku bunga acuannya. ”Isu daya beli ini masalah serius yang perlu jadi fokus pemerintah,” kata Faisal.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menambahkan, jika kondisi penurunan daya beli ini tidak cepat direspons oleh pemerintah, ekonomi Indonesia bisa masuk ke dalam kondisi soft landing. Soft landing merupakan kondisi ketika terjadi perlambatan ekonomi. Meskipun belum sampai pada tahap krisis, sudah ada tanda-tanda ekonomi tumbuh melambat.
Namun, pemerintah masih menganggap kondisi daya beli masyarakat baik-baik saja. Menteri Keuangan Sri Mulyani, misalnya, mengatakan bahwa deflasi selama empat bulan beruntun ini bukan karena daya beli masyarakat melemah. Alasannya, inflasi komponen inti masih mencatatkan inflasi 2,02 persen secara tahunan.
Sementara deflasi yang terjadi akibat penurunan harga pangan bergejolak memang terjadi karena pemerintah melakukan pengendalian harga di pasaran. ”Kalau kita melihat harga makanan yang sumbangannya menurun terhadap inflasi, itu karena kita memang mencoba menggunakan intervensi fiskal untuk menstabilkan harga pangan,” ujarnya.