Manufaktur Anjlok Makin Dalam
Manufaktur domestik sedang lesu. Produksi dan pesanan pada Agustus 2024 anjlok, terdalam selama tiga tahun terakhir.
JAKARTA, KOMPAS — Produksi dan pesanan produk manufaktur domestik anjlok pada Agustus 2024. Di periode ini, penurunan produksi dan pesanan paling tajam sejak Agustus 2021.
”Terpuruknya sektor manufaktur Indonesia makin intensif terjadi pada Agustus 2024, ditandai dengan produksi dan pesanan yang mengalami penurunan paling dalam selama tiga tahun terakhir. Tak heran jika perusahaan-perusahaan merespons hal ini dengan mengurangi jumlah pegawai meskipun banyak yang menyadari bahwa hal ini hanya bersifat sementara,”kata Direktur Ekonomi pada Intelijen Pasar Global S&P Paul Smith dalam komentarnya pada rilis terbaru Indeks Manajer Belanja Indonesia, Senin (2/9/2024).
S&P menerbitkan Indeks Manajer Belanja atau Purchasing Manager Index (PMI) Agustus 2024. Indeksasi industri manufaktur yang diterbitkan setiap bulan itu, antara lain, berguna untuk mengukur performa industri manufaktur sekaligus meraba arah pertumbuhan ekonomi. Merujuk S&P, PMI dihasilkan dari jajak pendapat terhadap 20.000 korporasi di 50 negara, termasuk di Indonesia.
Terpuruknya sektor manufaktur Indonesia makin intensif terjadi pada Agustus 2024, ditandai dengan produksi dan pesanan yang mengalami penurunan paling dalam selama tiga tahun terakhir.
PMI Manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 melanjutkan kontraksi yang sudah terjadi sejak Juli 2024. PMI manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 berada pada level 48,9. Angka di bawah 50 menunjukkan kondisi kontraksi. Pada Juli, indeksnya adalah 49,3. Artinya, kontraksi pada Agustus kian dalam.
Padahal, sebelumnya, manufaktur Indonesia dalam posisi ekspansi selama 34 bulan berturut-turut. Terakhir Indonesia dalam posisi kontraksi pada Agustus 2021.
Smith mengatakan, penurunan PMI Manufaktur Indonesia disebabkan oleh penurunan tajam permintaan baru yang berujung pada penurunan produksi. Pasar dalam negeri menunjukkan pelemahan. Demikian pula dengan permintaan ekspor. Ujung-ujungnya, belanja bahan baku pun juga menurun.
Situasi ini kemudian direspons perusahaan dengan mengurangi karyawan. Melemahnya produksi dan permintaan baru menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) di pabrik sektor manufaktur Indonesia.
Namun, Smith menjelaskan, para panelis optimistis masa situasi akan membaik di masa depan. Perusahaan manufaktur secara umum tetap percaya diri bahwa produksi akan naik dari posisi saat ini. Mereka berharap, kondisi ekonomi akan lebih stabil dan mendorong produksi dan permintaan baru.
Baca juga: Alarm Peringatan Melemahnya Manufaktur
Sementara negara tetangga di kawasan Asia Tenggara mencatat kinerja PMI dengan hasil beragam. Malaysia dan Myanmar dalam posisi kontraksi juga pada Agustus. PMI Manufaktur setiap negara adalah 49,7 dan 43,4. Nilai PMI Manufaktur Malaysia pada Agustus tidak berubah dibandingkan dengan Juli. Adapun Myanmar makin terpuruk setelah pada Juli nilai PMI Manufaktur mereka berada pada level 48,4.
Filipina dan Thailand masih dalam posisi ekspansi dengan nilai PMI Manufaktur 51,2 dan 52,0. Nilai PMI Manufaktur Filipina pada Agustus tidak berubah dari posisi Juli. Adapun PMI Manufaktur Thailand sedikit menurun dibandingkan dengan Juli yang pada posisi 52,8.
Sementara itu, China kembali pada posisi ekspansi yang ditandai dengan Caixin China General Manufacture PMI pada Agustus pada level 50,4. Ini meningkat dibandingkan dengan Juli yang masih terkontraksi pada posisi 49,8.
Permintaan menurun
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri mengatakan, PMI menunjukkan seberapa besar level pemesanan bahan baku dari perusahaan manufaktur. Penurunan pemesanan atau belanja bahan baku dari perusahaan manufaktur mengindikasikan penurunan permintaan. Kondisi ini disebut kontraksi.
Yose menjelaskan, perusahaan tidak akan ekspansi dengan belanja bahan baku selama tidak ada permintaan baru yang kuat. Akibat tidak ada permintaan, maka tidak ada produksi. Dengan demikian, perusahaan tidak perlu belanja bahan baku.
Kalau belanja bahan bakunya menyusut, berarti permintaan juga menurun. Dunia manufaktur sedang kontraksi.
”PMI ini juga mengindikasikan tingkat keyakinan atau kepercayaan diri dunia manufaktur dengan kondisi hari ini dan ke depannya. Kalau belanja bahan bakunya menyusut, berarti permintaan juga menurun. Dunia manufaktur sedang kontraksi,” ujarnya.
Yose mengatakan, penyebab menurunnya permintaan dalam negeri disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Karena daya beli masyarakat menurun, akhirnya belanja dan permintaan pun ikut melemah.
Situasi global pun tengah menunjukkan perlambatan ekonomi. Artinya, permintaan ekspor pun melemah. Ini pula yang menyebabkan berbagai hasil PMI per Agustus di negara lainnya, seperti Malaysia dan Myanmar, masih kontraksi.
Sementara kembalinya China ke level ekspansi menandakan tingkat kepercayaan diri manufaktur di negara itu sedikit menguat. Hal ini, antara lain, menyusul ekspektasi akan kebijakan bank sentral Amerika Serikat yang hendak menurunkan tingkat suku bunga acuannya di tahun ini. Sinyal ini disambut positif oleh manufaktur China.
Baca juga: Daya Beli Menekan Pertumbuhan Ekonomi
Ekonom Senior Samuel Sekuritas, Fithra Faisal Hastiadi, memperkirakan, kondisi manufaktur ke depan masih akan tertekan oleh permintaan yang menurun, daya beli yang melemah, dan perlambatan ekonomi global. Ia memperkirakan, PMI Manufaktur Indonesia masih akan berkisar di level 49-50 hingga akhir triwulan III-2024.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyatakan prihatin atas penurunan PMI manufaktur Indonesia. Kendati ini kabar kurang baik, ia bisa memahami kondisi ini lantaran permintaan akan produk manufaktur dalam negeri sedang lesu karena daya beli pasar yang stagnan sejak awal 2024. Pada saat yang sama, ekspor pun juga melemah.
Kinerja PMI Manufaktur negara-negara Asia Tenggara dan China pun, Shinta melanjutkan, tidak terlalu merangsang manufaktur Indonesia. Padahal, keduanya merupakan mitra dagang yang besar bagi Indonesia.
Infografik Riset Pendapatan Industri Musik Global
PMI Manufaktur China memang meningkat. Namun, Shinta menekankan, permintaan ekspor dari sana belum akan menopang Indonesia. Sebab, ekspor Indonesia ke China kebanyakan bahan baku seperti bisa-baja, bukan barang konsumsi. Jadi, tidak ada korelasi yang kuat untuk peningkatan ekspor Indonesia dalam jangka pendek.
Menanggapi industri manufaktur yang kembali kontraksi, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pihaknya tidak kaget. Ia mengatakan, hal ini salah satunya karena belum sinergisnya kebijakan antarkementerian dan lembaga untuk meningkatkan kinerja industri manufaktur.
Baca juga: Bank Dunia Katrol Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global 2024
”Sekali lagi, kami tidak kaget dengan kontraksi lebih dalam industri manufaktur Indonesia. Penurunan nilai PMI manufaktur pada Agustus 2024 terjadi akibat belum ada kebijakan signifikan dari kementerian/lembaga lain yang mampu meningkatkan kinerja industri manufaktur,” ujar Agus dalam siaran persnya, Senin.
Agus mengatakan, melemahnya penjualan dipengaruhi oleh masuknya barang impor murah dalam jumlah besar ke pasar dalam negeri, terutama sejak bulan Mei 2024. Ini dipicu diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang perubahan ketiga Permendag No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Permendag No 8 Tahun 2024 menghilangkan persyaratan pertimbangan teknis (pertek) dari Kementerian Perindustrian saat importasi. Padahal, pertek digunakan sebagai instrumen untuk menghitung kemampuan dan kebutuhan industri dalam negeri sehingga impor yang masuk bisa terkontrol dan tak berlebih.
”Adanya barang impor murah membuat masyarakat lebih memilih produk-produk tersebut dengan alasan ekonomis. Hal ini dapat menyebabkan industri di dalam negeri semakin menurun penjualan produknya serta utilisasi mesin produksinya,” ujar Agus.
Baca juga: Industri Pengolahan Topang Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2024
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif menambahkan, para pelaku industri mengamati perkembangan penerapan aturan oleh pemerintah. Hal ini dapat berpengaruh pada perlambatan ekspansi pada subsektor industri.
”Misalnya, pada industri makanan dan minuman, para pelaku usaha tampak menahan diri dengan adanya rencana pemberlakuan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan,” katanya.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Agraria, Tata Ruang dan Kawasan, Sanny Iskandar, menyatakan, penurunan angka PMI Manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 menunjukkan bahwa manufaktur Indonesia terus berada dalam fase kontraksi sejak Juli 2024 sampai saat ini.
Pelaku industri manufaktur, Sanny melanjutkan, mengalami situasi yg sangat sulit karena kondisi global yang berdampak ke masalah rantai pasok bahan baku. Oleh sebab itu, ia berharap pemerintah menjaga sinergi kebijakan antar kementerian dan lembaga untuk mendukung kinerja industri manufaktur.
Kebijakan-kebijakan yang justru semakin melemahkan dunia industri, menurut dia, jangan sampai terjadi. "Pelaku usaha industri yakin, apabila pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro industri maka bisa segera mengembalikan PMI manufaktur Indonesia naik lagi pada posisi ekspansi," katanya.