Bertemu di Bali, RI-Afrika Bakal Perkuat Skema Pembiayaan Inovatif
Pembangunan itu tidak bisa hanya mengandalkan keuangan negara. Perlu juga skema pembiayaan inovatif.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dan Afrika akan memperkuat skema-skema pembiayaan inovatif untuk membiayai pembangunan agar tidak membebani keuangan negara. Skema pembiayaan tersebut, antara lain, menyasar pembangunan daerah dan realisasi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs.
Ini menjadi salah satu agenda yang akan digulirkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PNN/Bappenas) dalam Forum Tingkat Tinggi Kemitraan Multipihak (High-Level Forum on Multi-Stakeholder Parternships/HLF MSP) Indonesia-Afrika di Nusa Dua, Bali, 1-3 Sepember 2024.
Baca juga: KTT Indonesia-Afrika Pererat Solidaritas Negara-negara Dunia Selatan
HLF MSP itu mengusung tema ”Memperkuat Kemitraan Multi-Pihak yang Memiliki Kepentingan Terkait untuk Pembangunan: Menuju Perubahan Tranformatif”.
Selain pembiayaan inovatif, ada dua agenda lain yang bakal menjadi fokus pembahasan. Pertama, kemitraan lintas negara yang memperkuat kerja sama Selatan-Selatan dan Triangular. Kedua, peningkatan kesejahteraan dan keberlanjutan melalui ekonomi berkelanjutan.
Skema pembiayaan inovatif itu, antara lain, bisa berupa pendanaan campuran, kerja sama pemerintah dan badan usaha, serta SDGs bond.
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, Jumat (30/8/2024), mengatakan, Indonesia dan negara-negara di Afrika Tengah berupaya menumbuhkan perekonomian melalui pembangunan. Pembangunan itu tidak bisa hanya mengandalkan keuangan negara sehingga perlu skema pembiayaan inovatif.
”Skema pembiayaan inovatif itu, antara lain, bisa berupa pendanaan campuran, kerja sama pemerintah dan badan usaha, serta SDGs bond (sukuk),” ujarnya dalam wawancara dengan Kompas di Jakarta.
Dalam HLF MSP, Indonesia ingin berbagi sekaligus mengajak negara-negara Arika mengembangkan dan mengadopsi skema pembiayaan itu. Indonesia telah menerapkannya, terutama untuk pembangunan daerah dan mencapai target SDGs.
Amalia menjelaskan, dalam pengembangan ekonomi Bali, misalnya, Bappenas telah meluncurkan Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Era Bali Baru pada 2021. Proses tranformasi menuju era Bali baru itu juga membutuhkan dana.
Baca juga: Bali-Kerthi Development Fund Buka Peluang Investasi
Agar tidak membebani keuangan negara, maka dibutuhkan skema pembiayaan inovatif yang salah satunya berupa pendanaan campuran. Untuk itu, Bappenas dan Pemerintah Provinsi Bali mendirikan Bali-Kerthi Development Fund.
”Bali-Kerthi Development Fund berperan sebagai entitas tujuan khusus untuk menyalurkan dan mengelola sumber dana nonpemerintah yang digunakan khusus untuk pembiayaan pembangunan Bali. Salah satu perannya nanti adalah membiayai pembangunan LRT (light rail transit) di Bali,” kata Amalia.
Adapun terkait SDGs, Amalia melanjutkan, RI telah menginisiasi terbentuknya Aliansi Pendanaan Campuran Global (Global Blended Finance Alliance/GBFA) dalam pertemuan G20 di Bali. Salah satu sasaran GBFA adalah mempercepat realisasi target SDGs yang progresnya terhambat akibat dampak pandemi Covid-19.
Pada 18 September 2023, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, baru 15 persen target SDGs yang tercapai secara global. Pencapaian SDGs Indonesia pada 2023 paling progresif di antara negara-negara berpendapatan menengah atas.
Baca juga: Negara Berkembang Bantu G20 Menembus ”Kebuntuan Ukraina”
”Sustainable Develepoment Report 2023 menunjukkan, Indonesia berada di peringkat ke-75, melonjak dari posisi ke-102 pada 2019. Skor RI juga meningkat dari 64,2 pada 2019 menjadi 70,2 pada 2023. Di kancah ASEAN, Indonesia menempati peringkat ke-4,” katanya.
”Untuk itu, Amalia menambahkan, Indonesia ingin mengajak negara-negara di Afrika bersama-sama kembali meningkatkan capaian SDGs. Pembiayan yang selalu menjadi kendala diharapkan dapat diatasi dengan skema pembiayaan alternatif, termasuk GBFA.
Perdagangan dan investasi
Di sela-sela Forum Indonesia-Afrika (IAF) dan HLF MSP itu, Indonesia juga bakal menandatangani Perjanjian Tarif Preferensial dengan Tunisa (IT PTA) pada 3 September 2024. Perjanjian itu tidak hanya meringankan tarif perdagangan kedua negara, tetapi juga membuka peluang penerapan imbal dagang sebagai alternatif mekanisme pembayaran.
Imbal dagang merupakan salah satu mekanisme perdagangan internasional yang tidak mengutamakan mata uang sebagai alat pembayaran. Pembelian barang dibayar atau dibarter dengan barang lain yang dibutuhkan.
Baca juga: Wamenlu Pahala: RI-Afrika Bakal Wujudkan Rantai Pasok Empat Sektor Strategis
Selain dengan Afrika, Indonesia juga memperkuat kerja sama dengan Korea Selatan (Korsel). Salah satunya melalui Forum Kemitraan Ekonomi Indonesia-Korsel bertema, ”Memperkuat Kemitraan Korsel Indonesia untuk Mempromosikan Perdagangan dan Investasi” di Jakarta, 28 Agustus 2024.
Dalam forum itu, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, RI-Korsel dapat memanfaatkan perjanjian kerja sama yang sudah ada untuk memperdalam kolaborasi ekonomi. RI-Korsel sudah memiliki Perjanjiaan Ekonomi Komprehensif (IK CEPA).
”Selain itu, dua perjanjian regional juga dapat dioptimalkan, yakni Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Korsel (AKFTA) dan Perjanjiaan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP),” ujarnya.
RI-Korsel dapat memanfaatkan perjanjian kerja sama yang sudah ada untuk memperdalam kolaborasi ekonomi, seperti IK CEPA, AKFTA, dan RCEP.
Menurut Jerry, melalui perjanjian-perjanjian itu, perdagangan dan investasi di sejumlah sektor strategis dapat terus ditingkatkan. Sejumlah sektor itu adalah pertanian, industri, tekstil, elektronik, dan jasa.
Perjanjian-perjanjian itu membuka jalan bagi bisnis dan industri di RI dan Korsel terus berkembang. Hal itu lantaran ada penghapusan tarif dan upaya mengurangi hambatan dagang.
Baca juga: Tahun Emas Kerja Sama Korea Selatan-Indonesia
Di bidang investasi, Jerry menambahkan, RI-Korsel telah memiliki komitmen bersama di bawah kerangka Kemitraan Strategis Khusus dan Kebijakan Selatan Baru yang disepakati sejak 2017. Dalam kerangka itu, minat perusahaan Korsel untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek strategis di Indonesia cukup besar.
”Khususnya di bidang infrastruktur, energi hijau, perawatan kesehatan dan biofarmasi, kota cerdas, teknologi digital, dan industri makanan,” katanya.
Korsel merupakan negara tujuan ekspor Indonesia terbesar ke-5. Salam lima tahun terakhir (2019-2023), total perdagangan RI-Korsel tumbuh 12,6 persen. Pada 2023, RI membukukan surplus neraca perdagangan atas Korsel senilai 734 juta dollar AS.
Komoditas ekspor utama RI ke Korsel adalah batubara, gas petroleum, bijih tembaga, monitor dan proyektor, serta asam lemak. Adapun komoditas impor utama RI dari Korsel, antara lain batubara tidak diaglomerasi, gas bumi dan gas hidrokarbon lainnya, serta bijih tembaga dan konsentratnya.
Salam lima tahun terakhir (2019-2023), total perdagangan RI-Korsel tumbuh 12,6 persen.
Korsel juga menjadi sumber investasi asing langsung (FDI) ke-7 bagi Indonesia. Pada 2023, nilai FDI Korsel di RI sebesar 2,5 miliar dollar AS, 10,7 persen secara tahunan. Investasi itu mencakup 5.895 proyek di berbagai sektor, antara lain industri mesin dan elektronik; listrik, gas, dan air; industri barang dari kulit dan alas kaki.